Tak Cuan Sawit, Bawang pun Jadi

Seorang petani di Desa Sadar Jaya, Kabupaten Bengkalis, memilih bertanam bawang dan meninggalkan sawit karena harganya tak menjanjikan lagi.

oleh M Syukur diperbarui 10 Jul 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2019, 15:00 WIB
Kebun bawang siap panen di Desa Bandar Jaya, Kabupaten Bengkalis, setelah pemiliknya meninggalkan sawit.
Kebun bawang siap panen di Desa Bandar Jaya, Kabupaten Bengkalis, setelah pemiliknya meninggalkan sawit. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Bengkalis Perkebunan sawit pernah menjadi primadona di Provinsi Riau. Boomingnya sawit pada medio 2000 membuat warga mengkonversi kebun jeruk, karet dan lainnya, menjadi sawit, meskipun itu di lahan gambut.

Namun kini, harga sawit jatuh ke titik terendahnya. Terkadang harganya sampai Rp 400 per kilogram, sehingga sebagian masyarakat di Bumi Lancang Kuning tak berharap banyak lagi pada pohon asal Afrika ini.

Seperti yang dilakukan Tugiyanto, warga Desa Bandar Jaya, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis. Sudah setahun belakang dia tak menanam lahan gambutnya dengan sawit, melainkan dengan holtikultura seperti bawang, kencur, jahe, tomat, cabai rawit dan seledri.

Khusus untuk bawang, Tugiyanto menyediakan lahan setengah hektare lebih. Sejak beralih itu, sudah dua kali dia panen dengan rata-rata 200 kilogram sekali panen. Jika dirupiahkan, hasil panen bisa membiayai hidupnya lebih dari cukup.

"Kalau sawit sekarang susah diharapkan, bisa tak makan. Makanya saya coba menanam bawang," terang pria yang juga menjabat Ketua Kelompok Masyarakat Sumber Rezeki ini.

Bercocok tanam bawang jenis lokananta di tanah berstruktur gambut terbilang langkah berani. Apalagi selama ini jarang terdengar ada budidaya bawang berhasil di gambut karena tingkat keasamannya sangat tinggi.

Namun untuk bertahan hidup dan kecintaan pada ekosistem gambut, pria paruh baya ini nekat bertanam bawang. Usahanya memang tak menghianati hasil, tanaman bawang kini menjadi tumpuan hidupnya.

Jaga Ekosistem Gambut

Tulisan sebagai bentuk dukungan masyarakat terhadap moratorium izin baru di lahan gambut.
Tulisan sebagai bentuk dukungan masyarakat terhadap moratorium izin baru di lahan gambut. (Liputan6.com/M Syukur)

Menurut Tugiyanto, bawang bisa dipanen jika berusia 70 hari. Siung bawang akan keluar dari tanah sebagai pertanda sudah bisa diambil dan akan membusuk jika dibiarkan.

"Untuk bibit ada yang jual di kampung ini. Kalau pupuk biasanya pupuk kandang, ada juga organik," sebut Tugiyanto.

Untuk sumber air, lahan gambut terbilang susah dan gampang. Susah jika terjadi kemarau dan gampang kalau hujan rutin turun. Sebagai cadangan, dia membuat embung di dekat lahan bawangnya.

"Nanti airnya diambil pakai mesin, lalu dialirkan ke slang, tidak perlu tiap hari disiram," katanya.

Di sisi lain, Tugiyanto sadar pemanfaatan gambut secara besar-besaran tidak bagus untuk ekosistem. Diapun bersama kelompok masyarakat setempat mendukung pemerintah memoratorium izin baru di lahan gambut.

Pria yang pernah menjabat RW ini lalu mengajak pemuda di kampung menanam komoditas ramah gambut. Secara perlahan, usahanya mulai ditiru meski masih banyak yang ragu karena keterbatasan dana.

"Oleh karena itu, kami berharap ada bantuan dari pemerintah karena selama ini semuanya dilakukan secara swadaya," terang Tugiyanto.

Apa yang dilakukan Tugiyanto mendapat perhatian dari Badan Restorasi Gambut (BRG). Nazir Foed sebagai kepala institusi bentukan Presiden Joko Widodo untuk menjaga gambut ini langsung meninjau lahan Tugiyanto.

Revitalisasi Ekonomi Gambut

Sapi bantuan dari Badan Restorasi Gambut untuk masyarakat penjaga kebasahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
Sapi bantuan dari Badan Restorasi Gambut untuk masyarakat penjaga kebasahan gambut di Kabupaten Bengkalis. (Liputan6.com/M Syukur)

Nazir didampingi Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution sempat berbincang-bincang dengan Tugiyanto. Keduanya mendengar motivasi Tugiyanto bertanam bawang, termasuk keluhan harga sawit yang tak bisa diharapkan lagi.

"Terkadang harga sawit sampai Rp 300 per kilo, gak cukuplah buat makan Pak," keluh Tugiyanto.

Sebelumnya, Nazir menyebut menjaga gambut tidak hanya membasahi saja dengan membuat sekat kanal. Namun harus ada keuntungan yang diperoleh masyarakat dengan menanam tanaman holtikultura.

"Ini yang disebut dengan program revitalisasi ekonomi masyarakat di gambut. Biasanya BRG akan bantu, bantuannya sesuai keinginan masyarakat," jelas Nazir.

Selain petani cabai ataupun bawang, BRG di Bengkalis juga memberikan bantuan sapi ke kelompok masyarakat. Khusus di Desa Sadar Jaya, ada 15 sapi betina dan satu jantan diserahkan pada tahun 2018 lalu.

Beberapa sapi disebut kelompok masyarakat penerima tengah bunting. Anaknya nanti diserahkan kepada anggota kelompok masyarakat dan dikembangbiakkan lagi.

"Jadi selain menjaga kebasahan gambut, kelompok masyarakat binaan juga dikasih ternak. Nanti diajarkan cara membuat pakan sapi dari sawit dan pupuk kompos," sebut Nazir.

Pupuk kandang ini juga diberikan kepada kelompok masyarakat lainnya yang bertanam cabai dan bawang, seperti yang dilakukan Tugiyanto. Masyarakat akhirnya saling membantu dalam program revitalisasi ekonomi BRG ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya