Kisah Guru Berbayar Ketela di Sekolah Alam Pinggir Hutan Banyumas

Pada masa daftar ulang, orangtua siswa hanya berkewajiban membayar iuran dengan hasil bumi. Itu pun, dengan jumlah ala kadarnya.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 19 Jul 2019, 02:00 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2019, 02:00 WIB
Isrodin mendampingi siswa MTs Pakis, Cilongok, Banyumas untuk membuat media pendederan bibit tanaman. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Isrodin mendampingi siswa MTs Pakis, Cilongok, Banyumas untuk membuat media pendederan bibit tanaman. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Nama Madrasah Tsanawiyah atau MTs Pakis di Banyumas, Jawa Tengah hanya lamat-lamat terdengar. Hanya segelintir orang yang mengetahui ada sekolah alam didirikan di pinggir hutan lereng Gunung Slamet.

Bagaimana tidak, sekolah ini dibangun jauh dari keramaian. Sekolah yang didirikan pada 2013 lalu itu berlokasi di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, yang benar-benar pelosok.

Lazimnya, sekolah didirikan untuk menampung sebanyak-banyaknya siswa. Sebaliknya, sekolah alam ini justru bertekad menyisir anak-anak pinggir hutan yang tak memiliki kesempatan belajar.

Tak aneh jika jumlah siswanya tak pernah banyak. Tahun 2019 ini misalnya, jumlah siswa mulai kelas VII hingga IX hanya 25 anak. Itu sudah termasuk empat anak yang baru mendaftar pada Penerimaan Peserta Didik Baru PPDB 2019 ini.

"Ya masih tetap empat anak. Yang mendaftar baru empat anak," ucap Isrodin, penanggung jawab MTs Pakis, Kamis malam, 18 Juli 2019.

Tahun 2019 ini pula, MTs Pakis meluluskan tujuh siswa. Tentu ini bukan sekolah biasa. Seandainya MTs Pakis dikelola sama dengan sekolah pada umumnya, tentu cepat bubar.

Tetapi lihat lah. Sejak berdiri enam tahun lampau, sekolah ini masih tegak berdiri. MTs Pakis tetap setia memberi kesempatan kepada anak-anak pinggir hutan untuk bersekolah.

Seluruh anak-anak yang bersekolah di MTs Pakis berasal dari keluarga tak mampu. Oleh karena itu, sekolah alam ini tak pernah menarik iuran atau bayaran sekolah sepeser pun.

Pada masa daftar ulang, orangtua siswa hanya berkewajiban membayar iuran dengan hasil bumi. Itu pun, dengan jumlah ala kadarnya.

Terkadang ada yang membawa dua batang ketela pohon beserta umbinya. Lainnya, membawa empat butir kelapa. Ada juga yang membawa setandan pisang ke sekolah alam ini.

 

Sekolah Gratis Tanpa Iuran

Isrodin, Kepala Sekolah atau Penanggung Jawa MTs Pakis, Cilogok, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Isrodin, Kepala Sekolah atau Penanggung Jawa MTs Pakis, Cilogok, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

"Semuanya gratis. Karena tujuan kami memang memberi kesempatan kepada anak-anak yang berasal dari keluarga miskin," dia mengungkapkan.

Di balik sekolah luar biasa, tentu saja ada orang-orang hebat. Saat ini, ada 10 guru di MTs Pakis. Namun, Isrodin enggan disebut guru. Ia lebih suka disebut sebagai pendamping atau relawan.

Bahkan, jabatannya yang mentereng sebagai kepala sekolah pun tak dipakainya. Ia lebih memilih disebut sebagai penanggung jawab sekolah. Tugasnya macam-macam, mulai dari administrasi, manajemen, hingga mengajar.

"Sama. Status saya juga relawan," ujarnya.

Melihat kondisi sekolah dengan jumlah siswa minim dan tanpa iuran, lantas bagaimana sekolah ini membayar para guru atau relawannya ini?

Isrodin mengaku tak mencari penghidupan dengan mengajar di MTs Pakis. Bagi dia, MTs Pakis adalah kancah pengabdiannya.

Makanya, Isrodin memiliki profesi lain, penambak ikan. Ia juga bertani di tanahnya yang tak sebegitu luas.

Pihak sekolah tak pernah menarik iuran dari orangtua siswa. Beban itu terlampau berat untuk ditanggung. Terpenting, anak-anak bisa bersekolah. "Saya tidak mendapat bayaran dari sekolah," ucapnya.

Meski tak pernah menarik iuran, terkadang ada saja orangtua siswa yang mengirim hasil bumi untuk guru. Mungkin, itu adalah cara orangtua siswa untuk berterima kasih kepada guru yang telah membimbing anak-anak mereka.

 

Status Para Pengajar MTs Pakis

Seluruh siswa MTs Pakis, Cilongok, Banyumas, berasal dari kalangan tak mampu. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Seluruh siswa MTs Pakis, Cilongok, Banyumas, berasal dari kalangan tak mampu. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sejak mengabdi ketika MTs Pakis berdiri, Isrodin juga tanpa status. Ia bukan guru honorer daerah apalagi guru yang memperoleh sertifikasi. Praktis ia mesti bertahan dalam kondisi serba kekurangan.

Padahal, pendidikannya sejalur dengan profesinya saat ini. Isrodin adalah lulusan S1 Manajemen Pendidikan dari IAIN Negeri, bertitel Sarjana Pendidikan Islam atau SPd.I.

Padahal, kebutuhan keluarga Isrodin semakin besar seiring bertambahnya umur dua anaknya. Neisya Ramadhan Aufa Rinjani (10), yang bersekolah di MI Kalisari sudah kelas 4. Anak keduanya, Ibaneza Zhafran Ona Chandrika (5) masuk TK.

Sementara, istrinya, Zuhrotul Latifah hanya bekerja sebagai guru wiyata bakti MI Maarif Kalisari. Honor istrinya, juga ala kadarnya. Bisa dibayangkan, betapa sederhana kehidupan keluarga Isrodin.

Di tengah padatnya jadwal kegiatan mengajar di MTs Pakis, Isrodin juga menjadi pengajar di sekolah Kader Brilian, sebuah sekolah persamaan setingkat SLTA di Desa Singasari, Kecamatan Karanglewas, Banyumas. Sama dengan MTs Pakis, di sekolah ini, Isrodin juga tak dibayar.

"Ya terus terang memang serba terbatas. Anak-anak itu berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang keluarga tidak mampu," dia menerangkan.

Dengan kondisi yang serba terbatas itu, tak mungkin pula bagi Isrodin untuk menarik biaya bulanan tambahan kepada anak-anak miskin ini. Sebab itu, ia pun memutar otak. Ia bertani, memelihara ikan, dan bekerja apa saja untuk menutup defisit keuangan keluarga.

"Perhatian daerah memang sangat minim," dia mengungkapkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya