Liputan6.com, Banyumas – Sebuah pipa berukuran 2,5 inci konstan mengucurkan air bening anak Sungai Logawa, Banyumas, Jawa Tengah, ke kolam yang saling terhubung satu sama lain. Embun belum lagi menguap, ketika tiga remaja itu memulai aktivitasnya.
Ini hari, jadwal kerja mereka adalah membersihkan kolam sidat. Kolam-kolam itu dilapisi dengan terpal untuk mengerem hobi sidat membuat lobang. Tiga kolam berisi sidat remaja. Sementara, satu kolam khusus untuk sidat ukuran konsumsi untuk menyuplai kebutuhan kuliner yang mereka kembangkan.
Meski dikenal resisten terhadap air keruh, sidat muda tak cukup perkasa untuk bertahan dalam air yang dipenuhi amoniak dari sisa makanan dan kotoran mereka sendiri. Sebab itu, secara berkala, kolam harus dikuras dan dibersihkan.
Advertisement
Riyadi, yang badannya paling bongsor, bertugas menguras kolam. Sementara, Dasro sibuk memindah sidat yang kolamnya tengah dibersihkan. Adapun Taufik, membersihkan pipa-pipa pendek yang diletakkan di kolam untuk tempat persembunyian sidat dewasa.
Baca Juga
Riyadi, Dasro, dan Taufik adalah siswa Sekolah Kader Desa Brilian yang tengah menyelesaikan pendidikan Program Paket C di Kampung Sidat, Desa Singasari Kecamatan Karanglewas, Banyumas, Jawa Tengah. Berbeda dengan sekolah konvensional, di tempat ini, kurikulum lebih banyak pada keterampilan hidup atau skill life.
Harapannya, saat mereka lulus kelak, mereka akan mencintai kehidupan pedesaan, sehingga mau tinggal di desanya masing-masing. Itu tentu setelah mereka menyelesaikan program paket C, dan kalau mau, berkuliah.
Itu sangat mungkin dilakukan. Terbukti, saat ini, ada 23 kader Desa Brilian yang berkuliah di beberapa perguruan tinggi, Purwokerto.
Mereka berasal dari daerah yang berbeda. Dasro misalnya, berasal dari Salem, Brebes. Riyadi, Bumiayu. Sementara, Taufik, berasal dari Cipari Kabupaten Cilacap. Sedangkan tujuh kader Desa Brilian lainnya, berasal dari Tegal, Kebumen, hingga Purworejo.
Nasib telah mempertemukan mereka di tempat ini. Mereka adalah pemuda-pemuda yang tak patah arang menaklukkan pendidikan meski terbentur kemiskinan. Tak hanya soal selembar ijazah, mereka bermimpi menguasai seluruh ilmu yang ada di tempat ini, mulai dari budi daya tanaman, memelihara ikan dan sidat, memasak beragam kuliner, hingga cara mengawinkan ikan melem.
"Kalau saya inginnya nanti menguasai ilmu pertanian, perikanan, sama masaknya. Nanti akan mengembangkan sendiri," ucap Riyadi, Kamis, 26 Oktober 2017.
Bersama para pembimbingnya, mereka mengelola kolam pembibitan ikan, pembesaran sidat dan rumah makan khusus sidat. Dari hasil berjualan benih dan rumah makan itu, mereka menghasilkan uang untuk membiayai hidupnya.
Sebab, seluruhnya memang berasal dari keluarga miskin. Beberapa di antaranya, orang tuanya telah bercerai. Ini seperti Dasro dan Taufik.
"Kalau bapak sama ibu sudah pisah. Saya ikut bapak sama adik. Bapak bekerja petani, buruh," kata Dasro.
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Â
Kuliah Dibiayai dari Hasil Usaha Bersama
Kader lelaki tinggal di asrama, yang sebetulnya lebih tepat disebut gubuk dalam area seluas 1.500 meter persegi. Sementara, kader putri dikontrakkan di rumah penduduk. Dari tempat ini, mereka berusaha menggapai mimpi.
Pengelola Sekolah Kader Desa Brilian, Muhamad Adib mengakui, seluruh siswa atau kader Desa Brilian memang berlatar belakang keluarga tak mampu. Mereka berasal dari desa-desa pinggiran hutan yang tersebar mulai dari Brebes dan Cilacap perbatasan Jawa Barat, hingga Purworejo dan Semarang.
"Rata-rata, keluarga miskin yang paling banyak memang berada di desa-desa yang berbatasan dengan hutan," Adib menjelaskan.
Mereka direkomendasikan oleh mitra Sekolah Desa Brilian, yakni Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Mereka terpilih lantaran mau menutut ilmi dengan segala keterbatasan ekonomi. Para kader ini tak bisa ditaklukkan oleh kemiskinan. Adib menegaskan, Desa Brilian akan berupaya agar seluruh kader bergelar S1.
"Yang pertama jelas berusaha berkompetisi mendapat beasiswa. Kedua meminta biaya kuliah gratis. Ketiga meminta keringanan biaya. Keempat meminta pengurangan biaya. Selanjutnya, kami bersama-sama membiayai biaya pendidikan dari hasil usaha bersama," ucapnya.
Salah satu yang telah berkuliah adalah Rosyid (22) yang berasal dari Kebumen. Sebelum mengikuti sekolah paket C, Rofik sempat memburuh sebagai “kuli glondong’ alias pemanggul kayu dan hasil pertanian di tepi hutan selama 2 tahun. Baru, setelah itu dia masuk program paket C dan akhirnya berkuliah.
Meski sudah berkuliah, hampir tiap hari Rosyid pulang ke Kampung Sidat. Ia membimbing adik kelasnya di Sekolah Kader Desa Brilian. Selain itu, dalam naungan komunitas yang sama, Rosyid juga mengajari adik-adiknya di sekolah alam, Madrasah Tsnawiyah (MTs) Pakis, Gunung Lurah.
Adib berharap, seandainya nanti Rosyid telah lulus kuliah, ia tetap memilih tinggal di desanya. Keberadaan kaum terdidik amat penting untuk menggerakkan warga desa untuk maju.
Advertisement