Liputan6.com, Garut - Bagi masyarakat Garut, Jawa Barat, keberadaan teh hijau sudah begitu mendarah daging. Bahkan, nyaneut atau minum teh bersama yang kini mulai berkembang, konon dimulai beriringan dengan awal mula tanaman itu masuk di kota intan sejak abad 18
Dalam catatan sejarah, tanaman teh hijau pertama kali masuk sekitar 1827. Saat itu, menir Belanda sukses melakukan uji coba menanam teh di kebun percobaan milik mereka di wilayah kecamatan Cisurupan, Garut.
"Nah, sejak itu Belanda kemudian menjadikan Garut salah satu area produksi teh hijau unggulan Belanda," ujar Dasep Badrusalam, penggagas festival Nyaneut dalam obrolan hangatnya dengan Liputan6.com, Kamis (25/7/2019) petang.
Advertisement
Letak geografis Garut yang berada di wilayah dataran tinggi yang dipagari pegunungan vulkanis, memberikan kesempatan terhadap seluruh tanaman perkebunan untuk tumbuh, salah satunya teh.
Tak mengherankan, dalam perjalanan sejarah selanjutnya, teh menjadi salah satu komoditas utama perkebunan Belanda di Indonesia, sebagai penyokong utama produk dagang mereka di dunia.
"Dari Garut sendiri selain teh, terkenal juga dengan kina, kopi, dan cokelatnya," kata dia menjabarkan.
Menurut Dasep, sejak pertama kali sukses diujicobakan di daerah Cisurupan, Belanda kemudian melakukan penanaman besar-besaran tanaman teh di wilayah Bayongbong, Cusurupan hingga wilayah Cikajang saat ini.
Baca Juga
Dengan culture steel yang mereka paksakan, puluhan ribu hektare lahan di ketiga wilayah itu, termasuk ke wilayah Garut selatan, diwajibkan ditanami teh hijau secara menyeluruh.
"Makanya ditemukan juga di wilayah perbatasan Garut-Tasikmalaya (Kawasan Kontrak), termasuk di Cisompet," kata dia.
Namun bersyukur, adanya fenomena itu memunculkan panorama baru, keindahan alam Garut yang dihasilkan dari hamparan hijaunya perkebunan teh saat itu. "Nah sebutan Swiss van Java itu karena keindahan itu," kata dia.
Beberapa petinggi kerajaan Belanda terkesima indahnya Garut, hingga informasi itu dengan cepat menyebar di kalangan pelancong Eropa yang doyan berkeliling dunia.
"Ratu Elizabeth saat datang ke Hotel Papandayan di Cisurupan itu pertama kali disuguhi teh hijau hasil tanaman mereka di wilayah itu," kata dia.
Walhasil, kesenangan Ratu Belanda itu langsung menjadi buah bibir, hingga akhirnya beberapa pesohor dunia mulai George Celemenceu, Perdana Menteri Perancis, kemudian Pangeran Leopold III dari Belgia hingga pesohor Charlie Chaplin dan lainnya, terkesima indahnya panorama Garut, sambil menikmati hidangan teh hijau masyarakat sekitar.
"Bagi kami sejak lama teh hijau adalah kebanggaan," kata Dasep.
Pembuka Jalan Ekonomi
Naiknya pamor teh hijau Garut saat itu, memiliki andil terbukanya akses ekonomi masyarakat. Bahkan, untuk menopang dan memudahkan mobilisasi hasil bumi saat itu, terutama teh, kopi dan kina, Belanda akhirnya membuat rute jalur kereta api dari Cibatu hingga Cikajang sejak 1889 silam.
"Komoditas hasil bumi dari Garut itu merupakan salah satu produk unggulan dagangnya Belanda," kata dia.
Entah berapa juta ton teh dan produk bumi lainnya yang berhasil diangkut Belanda dari bumi Parahiyangan khususnya Garut saat itu. "Bahkan, dengan adanya akses kereta itu, kunjungan wisata ke Garut saat itu pun terus naik," ujarnya.
Beberapa hotel di Garut ikut tumbuh untuk menyambut para pelancong yang datang, mulai Hotel Papandayan yang berada di wilayah Cisurupan, kemudian Hotel Dolce, Hotel Balvedere, Hotel Van Hengel, Hotel Bagendit, Hotel Pautine, hingga Grand Ngamplang yang berada di persimpangan jalan penyambung Garut-Kabupaten Tasikmalaya.
Bahkan, dengan semakin luasnya lahan tanaman berbangsa Camellia sinensis ini, wilayah daratan Garut yang dikenal memiliki pegunungan indah tersebut, semakin terkenal di kalangan pelancong Eropa saat itu.
"Panorama Garut saat itu tidak kalah jauh dengan wisata besar lainnya di dunia," kata dia.
Bagi masyarakat Garut, perkebunan teh hijau memang memiliki peran penting dalam membuka akses ekonomi masyarakat. Sehingga, dalam perjalanan selanjutnya, Garut semakin dikenal masyarakat dunia.
Namun sayang, saat ini kondisi itu mulai berubah. Peningkatan lahan pertanian dengan mengorbankan area lahan perkebunan teh menjadi penyebabnya. Produksi teh hijau asal Garut pun terus mengalami penurunan.
Advertisement
Teh Kejek
Dasep menambahkan, sebelum datangnya proses industrialisasi melalui pengolahan mesin industri, proses pengolahan teh hijau yang berkembang di masyarakat hanya dua macam, yakni dipilin menggunakan tangan dan injak atau istilah lain teh kejek.
Khusus pengolahan kedua, teh kejek yang dihasilkan dikenal lebih maknyus dalam mempertahankan kualitas antitoksin dibanding dengan proses menggunakan mesin.
"Ada sedikit manis-masinya, dan memang harganya juga terbilang mahal," kata dia.
Dalam prosesnya, daun teh segar hasil petikan tangan petani, terlebih dahulu mengalami proses sangrai atau pengeringan menggunakan wajan berukuran besar di atas tungku api atau anglo selama 20-30 menit.
"Saat proses, usahakan melakukan injakan yang merata agar getah teh keluar sempurna," dia menerangkan.
Setelah proses injak selesai, daun teh kemudian melalui proses pengeringan di atas bara api. Teh yang sudah kering selanjutnya disimpan di suatu tempat selama tiga hari hingga akhirnya dipilah untuk dipasarkan.
Dengan mempertahankan proses itu, Dasep mengakui pesanan teh kejek hingga kini masih terbilang tinggi, termasuk permintaan dari luar negeri.
"Tapi sebenarnya permintaan dalam negeri pun belum sepenuhnya disanggupi, sebab produksinya sedikit," kata dia.
Dasep menjelaskan, dalam setiap 100 kilogram dauh teh segar yang diproses, hanya dihasilkan sekitar 15-20 kilogram teh kejek siap seduh. Tak mengherankan harganya pun terbilang cukup mahal.
"Untuk harga biasanya sekarang dijual interval Rp70-120 ribu per kilogram," kata dia.
Agar menghasilkan teh hijau kejek yang berkualitas, proses pertama dimulai saat pemetikan teh segar berlangsung. Petani yang sudah terlatih bakal memilih daun teh segar muda sesuai kebutuhan.
"Jangan disabit, sebab biasanya daun teh tua pun ikut dipanen," katanya.
Dengan pemilihan daun teh hijau muda itu, cita rasa dan aroma teh kejek yang dihasilkan bakal menjadi lebih baik. Tak mengherankan, meskipun pengolahannya sederhana, kualitas teh kejek sangat disenangi masyarakat dunia.
Dalam sejarahnya, berdasarkan penuturan cerita yang berkembang, konon kaisar dan masyarakat Jepang doyan minum teh hijau, termasuk masyarakat Eropa ikut menyenangi teh hasil injakan warga lokal Garut tersebut.
"Mungkin juga karena Jepang pernah menjajah kita dan budaya ngeteh mereka cukup tinggi," ujarnya.
Festival Nyaneut
Salah satu budaya ngeteh yang kembali mengemuka dalam satu dekade terakhir yakni Nyaneut. Bagi masyarakat Garut, terutama Cigedug, budaya nyaneut atau minum teh hijau bersama warga, memang sudah berlangsung lama.
Dalam catatan sejarah kebudayaan lokal yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber, kebisaan itu dimulai tahun 1728 yang konon diajarkan langsung para Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
"Dalam setiap ajakannya kepada masyarakat, para wali itu, selalu ngeteh dulu atau nyaneut bareng bersama," ujar dia.
Khusus di area dekat perkebunan teh, budaya nyaneut sudah menjadi tradisi masyarakat setempat, sebut saja area perkebunan teh Pangalengan, Bandung, Sukabumi, Cianjur, dan Bogor. "Nyaneut itu maknanya merekatkan silaturahmi antarwarga," ujar dia.
Sejak pertama kali diselenggarakan satu dekade lalu, budaya nyaneut langsung mendapatkan respon positif warga di tengah ancaman sulitnya silaturahmi saat ini. "Dengan nyaneut warga menjadi terbiasa untuk berkumpul bersama," kata dia.
Dalam pelaksanaannya, selain minum teh bersama, terdapat beberapa pementasan kesenian daerah sebagai bumbunya, sebut saja tarian lokal jaipong, musik kolaborasi etnis & rampak Gendang, Kacapi Lawak, Pagelaran Wayang Golek, hingga ragam kaulinan barudak.
Sedangkan kuliner dan makanan khas yang disajikan sebagian besar merupakan makanan lawas, seperti burayot, ladu, wajit, dodol, bugis, ciu, kelepon, dan makanan rebusan hasil bumi masyarakat seperti singkong rebus dan gula merah dengan mudah bisa dinikmati selama di sana.
Advertisement
Ancaman Peralihan Lahan
Di tengah semakin masifnya perolahan lahan perkebunan teh ke area lahan pertanian palawija, masa keemasan teh hijau asal Garut semakin terancam. Beberapa titik area, yang sejak lama menjadi basis produksi, kini justru telah menghilang.
"Kaki Gunung Cikuray, Cikajang, Bayongbong termasuk Cisurupan sudah beralih ke lahan pertanian," kata dia.
Selain masa tanam yang terbilang singkat, keuntungan yang bisa diraih dari pertanian palawija seperti kol, buncis, tomat, wortel dan lainnya, terbilang menggiurkan dibanding menanam teh yang terbilang lama. "Memang sulit dihentikan," ungkap dia.
Dampaknya bisa dilihat, produksi teh pun terus merosot sejak 2000-an lalu, seiring dengan semakin maraknya peralihan lahan ke area pertanian palawija.
"Padahal dengan tanaman teh bisa menjadi area konservasi menahan tanah dari erosi," kata dia.
Dengan segudang nostalgia, kebesaran dan kenangan yang pernah disandang teh hijau Garut sejak lama, Dasep berharap pemerintah bisa membuka mata untuk menindak atau mengajak masyarakat kembali menanam teh.
"Harus ada political will yang berpihak untuk kembali menanam tanaman teh," kata dia.
Dengan upaya itu, maka kelestarian lahan konservasi yang selama ini diharapkan masyarakat, bakal terlaksana. "Puncaknya kan bisa dilihat saat banjir bandang 2016 lalu, betapa luas lahan hulu sungai Cimanuk gundul akibat peralihan lahan (menjadi area pertanian) tersebut," kata dia.
Simak video pilihan berikut ini: