Kisah Misteri Penemuan Candi Lengkongsari, Satu Patung Tiba-Tiba Hilang

Candi ini pernah ditemukan tahun 1969 tapi kemudian disembunyikan masyarakat dengan ditimbun kembali karena menjadi incaran pencuri dan kolektor barang antik.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 01 Sep 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2019, 12:00 WIB
candi lengkong
Sarwoko menunjukkan lokasi ditemukannya batu-batu candi di dusun Lengkongsari, kaki Gunung Sari. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Magelang - Kisah penemuan Candi Lengkongsari di bukit Gunung Sari desa Gulon Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, sejatinya sudah berlangsung sejak tahun 1969. Saat itu, Sarwoko kecil diajak dua pakdhenya yaitu Yosoharjo dan Wongsoharjo menggali tanah untuk membuat batu bata.

Sarwoko masih duduk di bangku SMP di Muntilan. Ia tinggal di dusun Lengkongsari, sebuah dusun dimana penduduknya memanfaatkan sumber daya alam tanah liat untuk membuat batu bata.

"Saya masih kecil. Saat menggali itu, pakdhe menemukan beberapa patung batu,” kata Sarwoko kepada Liputan6.com, Sabtu (31/08/2019).

Karena masih kecil Sarwoko hanya melihat yang dilakukan kedua kakak ayahnya itu. Yosoharjo dan Wongsoharjo ternyata mengubur kembali patung-patung batu yang ditemukan.

Menurut Sarwoko atau lebih dikenal dengan nama Sarwoto ini, patung batu yang ditemukan berjumlah lima. Yang pertama adalah patung bertangan empat.

"Almarhum pakdhe saya saat itu bercerita patung itu adalah patung Batara Guru. Selain itu, ditemukan pula ada 2 patung Gupala atau penjaga, dan juga patung Ganesha, dan kepala Makara,” kata Sarwoko yang kini berusia 60-an tahun.

Patung-patung temuan itu dikuburkan kembali. Mereka menggeser penggalian tanah liat untuk membuat batu bata.

"Saya dipesan tidak boleh bercerita kepada siapapun mengenai temuan Candi Lengkongsari itu selama pakde masih hidup,” kata Sarwoko.

 

Patung Menghilang

candi lengkong
Tumpukan batu ini sesungguhnya sudah ditemukan sejak 1969 tapi disembunyikan masyarakat dari incaran pencuri dan kolektor benda purbakala. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Tahun 1971, Sarwoko merantau ke Jakarta. Ia akhirnya menetap dan bekerja di ibu kota. Hingga 37 tahun ia berada di Jakarta dan kisah tentang temuan patung-patung itu seperti ia lupakan.

Tahun 1996, ia mendapat kabar bahwa para pekerja yang sedang membangun sebuah tower stasiun relay TV swasta nasional menemukan tumpukan batu di puncak Gunung Sari. Sarwoko mencoba mengingat-ingat pengalamannya bersama kedua pakdenya.

Saat itu saya menduga yang ditemukan adalah patung-patung yang dulu digali dan ditimbin lagi oleh pakde,” kata Sarwoko.

Tahun 2008, Sarwoko pulang kampung. Ia kembali tinggal di dusun Lengkongsari, sebuah dusun yang adem di kaki Gunung Sari. Saat itu ia tidak bersedia menceritakan apapun kepada siapapun mengenai patung-patung batu yang pernah ditemukan.

Saya ingat persis, patung bertangan empat yang oleh pakde saya disebut sebagai Bathara Guru itu pernah dicoba dibawa pulang dan disimpan. Saat disimpan, pakde hidupnya seperti tidak tenang, hampir tiap malam tak bisa tidur. Lalu patung itu kembali dikuburkan,” kata Sarwoko.

Entah terkena pengaruh apa, setelah patung itu dikembalikan, para penemu itu akhirnya bisa tidur nyenyak. Tapi itupun tak lama. Mereka harus berurusan dengan para penegak hokum.

"Patung itu menghilang. Ada pencuri yang mencurinya. Maling itu tertangkap di daerah Mertoyudan, dan kedua pakde saya dipanggil ke kantor polisi untuk diperiksa menjadi saksi,” katanya.

Pengalaman repotnya bersinggungan dengan hukum, meskipun sebagai saksi dan dianggap berjasa, membuat Sarwoko dan kedua pakdenya makin menyembunyikan rahasia itu. Mereka tetap hendak melaporkan temuannya, namun menunggu waktu yang tepat.

Pada 19 Juli 2019, Sarwoko kembali mengingat lokasi patung-patung itu dikubur. Ketika digali oleh panitia yang hendak membuat jalur off road, ditemukan sebuah kepala Kala Makara. Sejak itu banyak kolektor barang antik mendatangi rumahnya, karena lahan tempat candi itu adalah lahan miliknya.

"Saya tak ingin dapat duit banyak. Bagaimanapun barang itu adalah warisan mbah-mbah saya. Mereka adalah pembuatnya,” kata Sarwoko.

 

Didatangi Kolektor

candi lengkong
Kepala Kala Makara menunjukkan pahatan yang halus diperkirakan abad 5 - abad 6, hingga kini belum dipasang garis pengaman dan hanya dibatasi tali rafia. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Sarwoko juga bercerita bahwa Balai Peninggalan Cagar Budaya (BPCB) yang berkantor di Prambanan sudah menemui dirinya. Namun ia tak mengetahui pasti apakah itu petugas BPCB ataukah orang yang mengaku dari BPCB.

"Mereka hanya bilang dari kantor Prambanan. Kemudian lokasi itu digali dan ditemukan banyak tumpukan batu menyerupai struktur candi,” kata Sarwoko.

Saat ini penggalian berhenti dan sudah ditemukan batu-batu baik berukir maupun polos hingga 15 buah. Selain itu ada pula kepala Kala Makara. Batu-batu diketemukan di kedalaman galian sekitar 5 meter.

Sementara itu sebelumnya penyelenggara offroad Dwi Yatimantora yang juga aktivis dari ekspedisi Medang Kamulan mengaku bahwa awalnya jalur itu memang hendak dijadikan lintasan off road. Namun mengetahui adanya situs purbakala, maka jalur itu kemudian dibelokkan dan tidak sampai ke puncak Gunung Sari.

"Itu sudah kita ubah om..kmrin saya berjuang terus untuk tidak melewati itu..," kata Tora melalui pesan Whatsapp, Jumat (02/08/2019).

Simak video pilihan berikut:

 

Offroad Yang Mengancam

dukutan
Hangno Hartono, pelaku dan peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Pelaku dan peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara (YANTRA) Yogyakarta, Hangno Hartono menyebutkan bahwa diperkirakan candi di Lengkongsari itu merupakan salah satu puncak pencapaian kebudayaan di Jawa dari abad 5 atau 6.

"Saya belum meneliti secara khusus. Ukirannya sangat halus dan ini adalah candi Siwa," kata Hangno Hartono.

Ia menyayangkan jika kegiatan offroad diteruskan secara rutin. Sebab getaran yang ditimbulkan oleh lalu lalang peserta off road tentu berpotensi merusak struktur tanah dan juga struktur batu yang masih tersusun di dalam tanah.

Jika itu rusak, butuh waktu lebih lama lagi untuk merekonstruksi. Keinginan masyarakat belajar kearifan dari nenek moyang juga harus menunggu lebih lama lagi.

"Saya berharap, kegiatan off road hanya berjalan satu kali saja. Selebihnya stop," kata Hangno.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya