Mitos Isyarat Turun Hujan dari Kebakaran Gunung Guntur

Sebagian masyarakat Garut justru senang ada kebakaran hutan Gunung Guntur justru bungah, sebab hal itu isyarat bakal datangnya hujan

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 20 Sep 2019, 02:01 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2019, 02:01 WIB
Gabungan anggota TNI dan Polisi dari Polsek Tarogong Kaler, bersigap memadamkan titik api dalam kebakaran hutan di kaki Hutan Gunung Guntur Beberapa waktu lalu
Gabungan anggota TNI dan Polisi dari Polsek Tarogong Kaler, bersigap memadamkan titik api dalam kebakaran hutan di kaki Hutan Gunung Guntur Beberapa waktu lalu (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Bagi sebagian masyarakat Garut, Jawa Barat, terutama yang berada di wilayah perkotaan Garut dan sekitarnya, musibah kebakaran hutan di lahan Gunung Guntur, di wilayah Tarogong Kaler, merupakan isyarat alam bakal segera datang hujan.

“Ceritanya memang sejak lama demikian (bakal segera hujan),” ujar Indra, (34) warga Kampung Dukuh, Kamis (19/9/2019).

Berada di deretan pegunungan besar di Garut, kawasan Gunung Guntur memang menyimpan pesona alam yang menyejukkan. Bahkan kawasan wisata terkenal air hangat Cipanas Garut pun, berada di kaki gunung terbesar kedua di Garut itu.

Tumbuh dan besar di sekitar kaki gunung Guntur, Indra tahu betul cerita turun temurun mengenai mitos bakal turun hujan, tak lama setelah kawasan Gunung Guntur kebakaran.

“Buat kami ya tentu berkah, sebab sudah lama juga kemarau berlangsung,” kata dia.

Namun meskipun demikian, hingga kini hujan belum kunjung juga, Menurutnya, perubahan iklim dunia berdampak pada pola iklim di Indonesia.

“Mungkin karena pemanasan global juga, jadi suhu bumi menjadi panas,” ujar pengajar salah satu sekolah swasta itu.

Hal senada disampaikan Ahmad Sahid, salah seorang warga Tarogong Kidul. Kebakaran hujan Gunung Guntur, kerap menjadi petunjuk alam bakal segera turun hujan. “Biasanya seminggu atau lebih setelah itu hujan segera datang,” kata dia.

Namun khusus tahun ini, sejak pertama kali Gunung Guntur mengalami kebakaran hutan Agustus lalu, hingga kini hujan belum juga turun.

“Pernah ada hujan rincik-rincik pada malam hari, tapi tidak lama juga sih,” ujar dia.

Padahal setelah kebakaran awal Agustus lalu, sebagian masyarakat Garut sumringah, meskipun musim hujan belum kunjung datang.

“Mungkin sekarang alam juga sudah sulit diprediksi, kita tunggu saja,” ujar dia sedikit pasrah dengan keadaan.

 

Puluhan Hektare Terbakar

Seorang anggota TNI tengah memadamkan kebakaran di kawasan kaki Gunung Guntur beberapa waktu lalu
Seorang anggota TNI tengah memadamkan kebakaran di kawasan kaki Gunung Guntur beberapa waktu lalu (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Sebelumnya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) wilayah V Jawa Barat mencatat, sekitar 30 hektare lahan kawasan cagar alam (CA) di Kabupaten Garut, terbakar selama musim kemarau berlangsung tahun ini.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah Wilayah V, Bidang KSDA Wilayah III Ciamis, BBKSDA Jawa Barat, Purwantono mencatat sedikitnya empat musibah kebakaran hutan terlah berlangsung di kawasan Gunung Guntur dan Gunung Papandayan.

Beruntung tidak menimbulkan korban jiwa, termasuk tidak adanya satwa dilindungi yang mati akibat bencana tersebut. "Sebagian besar kejadiannya sekitar Juli-Agustus," ujarnya.

Dalam catatan lembaganya, ada beberapa kali kebakaran hutan yakni, Pertama terjadi 4 Agustus lalu yang menghanguskan 10 hektare di area Gunung Papandayan.

"Lebih tepatnya di blok Gunung Puntang luasnya sekitar 10 hektare, hanya membakar semak belukar tidak sampai membakar pohon besar," katanya.

Beruntung, musibah itu tidak mengganggu kawasan penduduk termasuk satwa yang berada di sekitarnya seperti macan tutul, elang jawa, dan monyet.

"Ada pengaruh, tapi dampaknya tidak terlalu parah. Itu hanya daerah lintasan, tidak sampai membuat hewan mati," kata dia.

Kemudian, sebanyak tiga kali kebakaran melanda kawasan cagar alam Gunung Guntur. Terakhir, kebakaran terjadi pada 21 Agustus 2019 lalu, yang menghanguskan sekitar 20 hektare lahan. "Ada juga kebakaran kecil namun tidak sampai dua hektare," kata dia.

Meskipun terbilang sering, tetapi hingga kini belum bisa dipastkan penyebab utama kebakaran di kawasan Gunung Guntur. "Tapi kuat dugaan karena faktor manusia," ujarnya. 

Purwantono menyatakan, selama musim kemarau tahun ini berlangsung, sudah empat kali bencana kebakaran melanda kawasan cagar alam itu, tetapi satu di antaranya terjadi di lahan warga.

"Kita tetap bantu memadamkan, sebab jika dibiarkan khawatir merambatnya ke area cagar alam," kata dia. 

Selama musim kemarau berlangsung, pihaknya mengingatkan warga termasuk para pendaki agar waspada untuk tidak mematik potensi api yang bisa menimbulkan musibah kebakaran.

“Salah satunya tidak membuat api sembarangan, apalagi sampai ditinggal,” kata dia.

 

Dilema Kawasan Konservasi

Salah satu simulasi penyelamatan korban saat bencana alam berlansgung, yang dilakukan anggota Tagana, dalam kegiatan Aksi Tagana Jawa Barat, beberapa waktu lalu
Salah satu simulasi penyelamatan korban saat bencana alam berlansgung, yang dilakukan anggota Tagana, dalam kegiatan Aksi Tagana Jawa Barat, beberapa waktu lalu (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Memiliki status sebagai kawasan konservasi, Kabupaten Garut kerap tersudutkan dalam hal pengelolaan kawasan hutan lindung. Pemerintah kerap dituding tidak becus mengelola kawasan hutan lindung, termasuk kawasan Gunung Guntur.

“Jangankan di TWA (Taman Wisata Alam) kan, di cagar alam juga tetap dilanggar,” ujar Tisna, salah satu peggiat lingkungan masyarakat Garut Garut.

Menurutnya, kebakaran hutan yang terjadi tidak seluruhnya disebabkan faktor alam, namun ada dugaan praktik tangan kotor manusia. “Yang jelas ada alih fungsi lahan,” ujar dia.

Tak mengherankan dalam setiap musim kemarau berlangsung, beberapa titik kawasan hutan lindung Papandayan dan Gunung Guntur kerap dilanda musibah kebakaran lahan. “Apalagi Gunung Guntur ada aktifitas galian C itu biasanya meluaskan lahan galian,” ujar dia menduga.

Dengan kondisi alam saat ini yang sulit diprediksi, Tisna berharap aparat pemerintah tetap waspada dan memberikan tindakan tegas bagi mereka yang melalaikan kelestarian alam. “Harus ada tindakan tegas agar ada efek jera,” kata dia.

Ihawal adanya mitos kebakaran hutan Gunung Guntur dengan pertanda datangnya hujan, ia tidak menampiknya. Menurutnya, cerita itu sudah berlangsung lama dan diwariskan secara turun temurun.

“Duka karena kebetulan atau bagaimana, tapi biasanya setelah gunung Guntur kahuruan, sok hujan. Apakah karena kebetulan atau bagaimana, Cuma memang setelah Gunung Guntir terbakar, tidak lama kemudian turun hujan,” katanya.

Namun meskipun demikian, mitos turun hujan setelah Gunung Guntur terbakar bisa dibuktikan secara ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan.

“Gambaran singkatnya adalah setelah kebakaran kan timbul asap, kemudian berubah menjadi awan, kemudian menguap ke permukaan tertiup angin, akhirnya pasti turun angina,” papar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya