Galaunya Kehilangan Pujaan Hati dalam Lagu Minang 'Ayam Den Lapeh'

Jika mendengar musik dan temponya yang riang, mungkin tak terasa bahwa lagu Minang ini menceritakan kisah kehilangan seseorang yang sangat berarti, dalam artian sang pujaan hati.

oleh Ramdania El Hida diperbarui 25 Agu 2022, 09:27 WIB
Diterbitkan 04 Okt 2019, 03:00 WIB
Ilustrasi ayam (iStock)
Ilustrasi ayam (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - "Duduak tamanuang tiok sabanta. Oi, takana juo. Ai..ai...ayam den lapeh (sebentar-sebentar, duduk termenung. Oi, teringat juga. Aduh, ayam saya yang lepas". Itulah sepenggal bait dari lagu Minang, Ayam Den Lapeh (Ayam Saya Lepas).

Jika mendengar musik dan temponya yang riang, mungkin tak terasa bahwa lagu Minang ini menceritakan kisah kehilangan seseorang yang sangat berarti, dalam artian sang pujaan hati. Namun, jika diartikan, liriknya sangat jelas menggambarkan suasana hati seorang wanita yang teringat terus dengan sang mantan.

"Kalau ayam itu diibaratkan lelaki, kan ayam jago, dan penyanyi Ayam Den Lapeh ini juga kebanyakan perempuan. Jadi memang menggambarkan seorang perempuan yang resah karena ditinggal kekasihnya," ujar Guru Besar Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Zuriyati kepada Liputan6.com, Kamis, 3 Oktober 2019.

Lagu ciptaan Abdul Hamid ini sangat unik dan memiliki sentuhan khas Minang Melayu dengan lirik lagu seperti pantun dalam puisi lama. Lirik terdiri dari empat baris dalam satu bait. Dua baris pertama merupakan sampiran, sedangkan dua baris kedua merupakan isi. Di antara bait-bait itu ada baris tambahan, yaitu "Ai, ai, ayam den lapeh" yang juga merupakan judul lagu.

Tidak hanya menggambarkan kesedihan kehilangan sang pujaan hati, dalam lagu ini juga diberikan nasihat agar bisa menjaga orang-orang yang disayangi biar mereka tidak pergi. Apalagi jika berani berselingkuh, karena bisa jadi malah tidak dapat keduanya.

Berikut lirik Ayam Den Lapeh, beserta arti dalam bahasa Indonesia untuk bisa lebih bisa menjiwai makna lagu Minang ini:

Luruihlah jalan Payakumbuah (Luruslah jalan ke Payakumbuh)

Babelok jalan Kayu Jati (Berbelok jalan ke Kayu Jati)

Dima hati indak kan rusuah (Bagaimana hati saya tidak resah)

Ayam den lapeh (Ayam saya lepas)

Ai, ai... ayam den lapeh (Aduh, ayam saya lepas)

 

Mandaki jalan Pandaisikek (Mendaki jalan ke Pandaisikek)

Manurun jalan ka Biaro (Menurun jalan ke Biaro)

Di ma hati indak maupek (Bagaimana hati saya tidak mengumpat)

Awak takicuah (Saya terkecoh)

Ai, ai... ayam den lapeh (Aduh, ayam saya lepas)

 

Sikua capang sikua capeh

Saikua tabang sikua lapeh (Seekor terbang, seekor lepas)

Tabanglah juo nan karimbo (Terbanglah juga ke rimba)

Ai lah malang juo (Aduh, malang sekali)

 

Pagaruyuang jo Batusangka (Pagaruyung dan Batusangkar)

Tampek bajalan dek urang Baso (Tempat berjalan orang Baso)

Duduak tamanuang tiok sabanta (Duduk termenung tiap sebentar)

Oi takana juo (Oi, teringat juga)

Ai, ai... ayam den lapeh (Aduh, ayam saya lepas)

Ai, ai... ayam den lapeh (Aduh, ayam saya lepas)

Ai, ai... ayam den lapeh (Aduh, ayam saya lepas)

 

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.

Budaya Merantau dan Lagu Ditinggal Kekasih

kepribadian
ilustrasi perempuan di pantai/Photo by Jessica Joseph on Unsplash

Tidak hanya lagu Ayam Den Lapeh yang menggambarkan rasa sedih kehilangan kekasih. Menurut Zuriyati, hampir 80 persen lagu Minang bertemakan kegalauan dan patah hati. Hal ini tidak terlepas dari budaya merantau di kalangan masyarakat Minang.

"Rata-rata lelaki Minang itu merantau, dan kebanyakan pula yang sudah dirantau itu lupa dengan kekasihnya di kampung. Ada yang memang mereka tidak ingin kembali sebelum sukses, ada juga karena mereka itu 'kemakan budi', maksudnya enggak enakan karena sudah ditolong orang di perantauan," jelas pengampu mata kuliah Kajian Budaya dan Sastra Lisan ini.

Realitas sosial ini lah yang terangkat dalam tema lagu-lagu Minang. Jadi, Zuriyati melanjutkan, jika mau dirunut penyebab banyaknya lagu Minang mengharu biru itu karena banyaknya pasangan yang berpisah ketika salah seorang pasangannya memutuskan untuk merantau.

"Mengapa merantau begitu penting bagi masyarakat Minang, karena adanya perasaan tidak berguna di kampung. Nah, mereka pergi merantau berjanji akan kembali, meski kenyataannya banyak yang tidak. Alasannya belum sukses, atau ketika kembali, justru tidak dianggap dalam keluarga dan tetangga," dia menambahkan.

Koordinator Bidang Seni dan Budaya Minang Badan Koordinasi Masyarakat Kabupaten Agam ini juga menyebutkan sejumlah lagu Minang populer yang bertemakan patah hati ditinggal kekasih merantau ini. Sebut saja Taluak Bayua (Teluk Bayur) yang dinyanyikan maestro lagu Minang, Elly Kasim, dan Pulanglah Uda yang dipopulerkan penyanyi Sunda Minang, Hetty Koes Endang.

"Lah tibo pulo kapa balabuah. Uda den nanti di Taluak Bayua ndak kunjuang tibo (Sudah tiba juga kapal berlabuh. Uda saya nanti di Teluk Bayur, tidak kunjung tiba)," itu sepenggal lagu Pulanglah Uda.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya