Bermain Kadaplak di Kampung Batuloceng, Aktivitas Seru Melupakan Gawai

Gunawan melihat anak-anak cenderung ketergantungan pada gawai mereka sementara efek positifnya kurang karena anak-anak jadi individualis.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 23 Nov 2019, 07:00 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2019, 07:00 WIB
Balap Kadaplak
Peserta balap kadaplak melintas di trek yang berada pada bukit di Kampung Batuloceng Lembang, Kamis (21/11/2019). (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Punahnya permainan tradisional yang kini mulai ditelan zaman membuat pemuda di Kampung Batuloceng Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, berkeinginan kuat mengenalkan, memainkan, dan melestarikan permainan lawas. Mereka menggelar kegiatan balap kadaplak.

Permainan ini mirip dengan mobil-mobilan mini. Namun, tidak bermesin dan hampir semua komponen permainan kadaplak terbuat dari bahan alami seperti kayu dan bambu.

Lokasi digelarnya balap kadaplak juga menarik. Sirkuit yang dipakai justru bukan di atas aspal, melainkan bukit curam yang berbelok-belok dan penuh debu.

Seperti yang terlihat pada Kamis (21/11/2019). Para pemuda Desa Suntenjaya satu persatu-satu menunggangi kadaplak mereka. Ada yang beroda tiga dan ada beroda empat.

Permainan tradisional ini juga hanya bisa dinaiki satu dan maksimal dua orang. Untuk membelokkan roda depan, terdapat stang berbahan kayu mirip seperti pada sepeda motor. Adapun remnya hanya mengandalkan kaki ke tanah.

Saat permainan berlangsung, di setiap belokan ada saja peserta yang terjatuh bahkan terbalik. Namun mereka hanya mengalami lecet di tangan sedangkan kepala mereka terlindungi helm.

Keseruan bermain kadaplak tidak hanya digemari anak-anak saja, melainkan orang dewasa bahkan orang tua sekalipun. Ada juga kaum perempuan yang menjadi peserta dalam kegiatan balap ini.

Salah seorang peserta balap kadaplak, Fajar Permana (21) mengaku tertarik dengan kadaplak setelah digelar perlombaan. Fajar yang ikut kegiatan di karang taruna desanya kini beralih menyukai kadaplak dan menanggalkan kegiatan balapan motor.

"Waktu saya kelas tiga SD itu masih suka ngadaplak, mengangkut kayu dan rumput. Setelah SMP memang suka balapan karena namanya juga anak muda. Tapi setelah diramaikan seperti ini jadi sadar ada potensinya juga," katanya.

Selain berhenti balapan, Fajar kini berharap kadaplak dapat dilestarikan sebagai permainan tradisional.

"Kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikan kadaplak. Saya berharap pemuda lain juga termotivasi untuk mengangkat kembali permainan ini," katanya.

Sudah Ada Sejak Lama

Balap Kadaplak
Salah seorang peserta balap kadaplak terjatuh dari tunggangannya. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Pegiat wisata Kampung Batuloceng, Gunawan Azhari (39) mengatakan, kadaplak merupakan permainan anak-anak yang telah ada sejak lama. Namun permainan tersebut sempat redup karena belakangan sudah tidak dilirik lagi.

"Sampai tahun 2000 rasanya tidak ada lagi kadaplak. Apalagi masyarakat di sini dipermudah transportasinya dengan adanya sepeda motor. Akhirnya permainan ini pun menghilang," kata Gunawan.

Pria yang akrab disapa Gungun itu pada 2014 lalu coba menghidupkan kembali kadaplak. Keprihatinannya terhadap aktivitas muda-mudi di desa, Gunawan pun mengajak karang taruna di Desa Suntenjaya agar tertarik membangun permainan tradisional ini.

"Pada akhir 2013 itu sebenarnya sudah ada wacana menghidupkan kembali kadaplak. Saya melihat anak-anak cenderung ketergantungan pada gawai mereka sementara efek positifnya kurang karena anak-anak jadi individualis. Apa salahnya yang saya rasakan dulu, bisa dirasakan mereka. Caranya dengan memperkenalkan permainan tradisional ini," ungkap Gungun.

Ia bersama para pemuda pun membuat tiga buah kadaplak. Kemudian mereka pun mencoba kadaplak tersebut di bukit yang masih berada tak jauh dari desa.

Sejak 2014 hingga saat ini, permainan kadaplak sering digelar dalam peringatan hari-hari besar dan pasca panen. Selebihnya, di hari-hari biasa warga bisa bermain santai.

"Kalaupun ada kompetisi, juara itu bukan segalanya. Permainan ini lebih mengutamakan kerja sama, hiburan dan kreativitas. Tapi tetap dituntut keahlian mengendalikan permainannya," kata Gunawan.

Kadaplak sempat mengalami masa kepunahan akibat tidak ada lagi yang memainkan. Anak-anak muda di kampung tak ubahnya kaum urban kota. Lebih menyukai hal-hal yang memacu adrenaline seperti balap motor hingga teradiksi penggunaan gawai.

"Waktu itu tidak seramai sekarang ini. Mereka masih memilih bermain game di gawai masing-masing," kata Gunawan.

Untuk memompa semangat anak muda, pada 2016 ia bersama karang taruna membentuk Batuloceng Ecotourism. Tujuannya, menjadikan kampung sebagai tempat wisata yang ramah dengan ekologi. Kadaplak adalah salah satu objek permainan yang bisa mengundang wisatawan itu.

"Sejak 2014 itu, setiap tahunnya kita gelar balap kadaplak. Biasanya dipilih pada hari-hari besar dan juga setelah panen. Saya berharap kegiatan ini dilihat sebagai magnet untuk mendatangkan wisatawan," ujarnya.

 

 

Hiburan Rakyat

Balap Kadaplak
Balap kadaplak diharapkan dapat mengundang wisatawan. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Gunawan menjelaskan, kadaplak merupakan alat permainan lawas. Belum diketahui pasti sejak kapan kadaplak sudah ada di Batuloceng.

Namun berdasarkan penuturan dari sesepuh kampung, diketahui hiburan rakyat ini sudah ada sejak era tanam paksa. Di mana warga pada masa itu bekerja di perkebunan yang dikuasai Hindia Belanda.

"Program tanam paksa Belanda itu dimulai di daerah Cibodas, kata aki-aki di sini. Batuloceng sendiri sudah ada lebih awal," ujarnya.

Kadaplak yang dibuat waktu itu, kata Gunawan, dibuat mirip seperti motor roda tiga yang sering digunakan para tuan tanah dari Eropa. Di sela-sela panen tembakau, anak-anak menirukan kendaraan yang dipakai para meneer dengan kadaplak yang dibuat dari rimbagan atau alat pemotong tembakau.

Kebiasaan warga Batuloceng memainkan kadaplak adalah saat panen raya tiba. Alat transportasi untuk mengangkut tembakau biasanya dipakai untuk memainkan kadaplak.

"Tujuannya ya suka cita. Untuk menghibur juga," kata Gungun.

Kampung Batuloceng sendiri bukan tanpa asal usul. Diungkapkan Gungun, kampung ini merupakan hasil relokasi pemerintahan Hindia Belanda. Sebekumnya, mereka tinggal di sekitar daerah aliran sungai (DAS) hulu Cikapundung.

Karena terkait fungsi dan pemanfaatan Sungai Cikapundung hulu, pada 1907 pihak Hindia Belanda meminta warga untuk pindah. Mereka yang bersedia pindah diberikan lahan baru sekaligus dapat bekerja di lahan itu.

"Awalnya kampung bernama Babakan Salam. Tapi setelah ditemukan situs Batuloceng berubahlah namanya. Setelah kina dan tembakau yang jadi komoditas di sini, tanaman pun berganti menjadi kopi," kata dia.

Simak video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya