Liputan6.com, Palu - Data Stasiun Geofisika Kelas I Palu mengungkap, sepanjang 2019 tercatat 1.099 gempa bumi melanda wilayah Sulawesi Tengah. Dari jumlah itu, sebanyak 82 gempa dirasakan getarannya. Aktivitas sesar Palu Koro, sesar Matano, dan Sesar Peleng tercatat sebagai penyebabnya. Di antara ketiganya, sesar Palu Koro diakui masih menjadi yang paling aktif.
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika Kelas I Palu, Hendrik Leopatty kepada Liputan6.com, Senin (6/1/2020) menjelaskan, berdasarkan catatan tahun 2019, gempa bumi hampir setiap hari terjadi di Sulawesi Tengah, baik yang dirasakan maupun tidak.
"Setiap harinya terjadi rata-rata 25 gempa bumi di Sulteng sepanjang 2019. Magnitudo paling besar terjadi bulan April di Banggai Kepulauan yakni di atas 5 SR," ungkapnya.
Advertisement
Deretan gempa sepanjang 2019 tersebut menurut Hendrik, dominan berasal dari proses stabilisasi tektonik sesar Palu Koro pascagempa berkekuatan Magnutido 7,4 pada 2018. Hal itu juga menunjukkan potensi terjadinya bencana akibat gempa di Sulawesi Tengah masih ada, terutama Kota Palu dan Kabupaten Sigi, yang disebut Hendrik menjadi daerah yang paling rawan.
Pihaknya juga telah mengimbau, Pemda dan masyarakat Sulawesi Tengah untuk selalu siap dan meningkatkan kesadaran mitigasi bencana agar meminimalisasi jatuhnya korban.
"Yang paling rawan adalah Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Karena sesar Palu Koro membelah tepat di tengah daerah tersebut. Karenanya semua orang yang ada di sini (Sulten) mesti selalu siap," katanya.
Hendrik hanya berharap, data-data kegempaan ini bisa digunakan Pemda dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah berbasis mitigasi bencana.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Kesadaran Mitigasi Bencana
Tingkat kegempaan yang tinggi tersebut menurut pegiat Forum Pengurangan Risiko Bencana ( FPRB ) Sulteng, Mohammad Isnaeni Muhidin, mestinya menjadi dasar membangun kesadaran tentang mitigasi bencana di masyarakat. Apalagi Sulawesi Tengah telah merasakan gempa dahsyat yang memakan korban jiwa ribuan orang pada 2018 lalu. Banyaknya korban jiwa tersebut menurut pegiat literasi ini juga terjadi lantaran kurangnya pengetahun mitigasi bencana. Â
"Gempa di daerah ini terus berulang. Ancaman itu nyata tapi tidak membawa suatu kesadaran bahwa ancaman itu terus ada. Pemerintah harus mencari cara agar kesadaran mitigatif itu terjadi di warga," kata Neni, sapaan akrabnya.
Ironisnya upaya membangun kesadaran mitigasi bencana di Sulteng pascagempa dahsyat 2018 lalu, saat ini masih lemah. Tak hanya itu, Neni juga mengatakan, penanganan pascabencana yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya menyertakan edukasi mitigasi untuk warga.
Forum-forum warga yang membahas kebencanaan masih menurutnya juga masih rendah di tengah pemenuhan hak penyintas yang masih jadi fokus pemerintah.
"Mesti ada forum-forum warga untuk membicarakannya (mitigasi bencana). Memang agak sulit kalau berharap inisiatif warga. Pemerintahlah yang harus menemukan formulasi untuk memantik inisiatif itu," katanya.
Advertisement