Liputan6.com, Solo Keberadaan kalender Jawa tidak bisa lepas dari pengaruh Kerajaan Jawa Mataram Islam pada masa Raja Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa itu sistem penanggalan diubah dari penghitungan matahari (syamsiah) menjadi penghitungan bulan (komariyah). Sistem penanggalan Jawa merupakan hasil penggabungan unsur Jawa dengan penanggalan Hijriyah.
Ahli Petung Jawa Museum Radya Pustaka, Solo, Totok Yasmiran mengatakan pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma itu memang mengubah sistem penanggalan yang digunakan dari sistem komariyah menjadi syamsiah. Perubahan penanggalan itu berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten.
Advertisement
Baca Juga
"Banten tidak termasuk karena bukan termasuk daerah Mataram," kata dia saat ditemui di Museum Radya Pustaka, Solo, Kamis, 27 Februari 2020.
Totok menjelaskan perubahan sistem penanggalan itu dilasakan pada saat hari Jumat Legi yang bertepatan dengan pergantian Tahun Baru Saka 1555 dan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam 1043 H. Sedangkan dalam kalender masehi perubahan sistem penanggalan itu bertepatan dengan 8 Juli 1633 M.
"Pergantian sistem penanggalan itu tidak mengganti hubungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan menjadi tahun pertama, melainkan meneruskannya hitungan tahun tersebut hingga saat ini," ujar dia.
Pengaruh Islam
Sedangkan penanggalan Saka di Jawa telah berjalan sejak abad ke-8 tepatnya sejak kerajaan Jawa Hindu. Sementara itu berlakunya 1 Saka sejak Prabu Saliwagna atau yang terkenal disebut Prabu Saka (Aji Saka) berkuasa di Tanah Hindu. “Berlakunya 1 Saka terhitung bersamaan dengan 14 Maret 78 Masehi,” sebutnya
Selain mengubah sistem penanggalan, lanjut dia, terdapat pula penyesuaian-penyesuaian seperti nama bulan dan hari. Adapun nama hari dari Minggu hingga Sabtu dalam bahasa Sansekerta disebut, Radite, Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra dan Tumpak. Lantas nama hari dengan bahasa Sansekerta itu diubah menjadi nama hari yang mirip dalam bahasa Arab.
“Ini menunjukkan banyaknya pengaruh penanggalan Islam dalam sistem penanggalan Jawa. Misalnya kalau hari itu sebagai saptawara (tujuh hari), misalnya kalau Minggu itu Ngahad atau Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jemuwah, Setu,” sebutnya.
Tak hanya hari, dalam penanggalan Jawa terdapat pasaran yang disebut pancawara. Adapun pasaran itu terdiri dari Kliwon, Legi, Pahing, Pon dan Wage. Pancawara dan wuku (pawukon) merupakan wujud unsur-unsur Jawa yang tidak ditemukan dalam penanggalan Hijiryah dan Masehi.
“Pasaran itu biasanya digunakan untuk penjadwalan khatib Jumat di masjid, misalnya Jumat Wage siapa khatibnya, terus Jumat Legi siapa yang menjadi khatib. Di pedesaan itu masih ada yang memakai untuk niteni (menandai) jadwal pasaran di suatu pasar, semisal di pasar sana pasarannya Pon atau Wage,” jelasnya.
Advertisement
Penghitungan Hari Baik
Menurut Totok, dalam menjalankan aktivitasnya masyarakat Jawa masih banyak yang menggunakan petung (perhitungan) Jawa. Petung tersebut juga tertulis dalam serat pawukon, serat petung salaki-rabi dan serat pasatoan salaki-rabi.
Misalnya untuk menikahkan anak digunakan petung salaki-rabi atau pasatoan salaki-rabi. Tak hanya untuk mencari hari baik untuk pernikahan, tapi juga untuk menentukan hari baik mendirikan rumah, pindah rumah, memulai usaha dan sebagainya.
“Hal ini tiada lain merupakan manifestasi dari sikap eling lan waspada agar aktivitas berjalan lancar. Jadi dapat dikatakan pula sebagai bagian dari ikhtiar dan di dalamnya pasti disertai doa kepada Tuhan, yakni saat pelaksanaan selamatan,” kata dia.
Simak video pilihan berikut: