Tolak Otonomi Khusus, Mahasiswa Papua di NTT Demo Bawa Peti Mati

Puluhan mahasiswa Papua di NTT menggelar aksi demonstrasi mengkritisi kebijakan otonomi khusus.

oleh Ola Keda diperbarui 16 Jul 2020, 03:00 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2020, 03:00 WIB
Otonomi Khusus Papua
Foto : Aliansi Mahasiswa Papua di Kota Kupang, NTT saat menggelar aksi demonstrasi (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua Kota Kupang (AMP KK) dan Fri-West Papua, menggelar aksi demontrasi di patung kesetiakawanan sosial Kota Kupang, Selasa (14/7/2020).

Dalam aksinya, mahasiswa menolak otonomi khusus Papua dan penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969. Mahasiswa juga mendesak pemerintah segera memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua sebagai solusi yang demokratis.

Koordinator lapangan aksi demo, Mina Mabel mengatakan, West Papua telah menjadi wilayah konflik sejak awal dianeksasi ke dalam wilayah Indonesia sejak 1961. Indonesia mengklaim secara sepihak bahwa wilayah West Papua adalah bagian sah dalam Negara Republik Indonesia, tetapi sejarah dengan tegas membuktikan sebaliknya. Bangsa West Papua bukanlah bagian sah dari Indonesia.

Berbagai propaganda dan operasi militer dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu untuk meng-aneksasi wilayah West Papua yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya. Berbagai perjanjian antara Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat dilakukan tanpa melibatkan orang asli Papua, tujuannya hanya untuk menegosiasikan kekayaan alam yang terdapat di wilayah West Papua. Salah satu hasil negosiasinya adalah pencurian terbesar dimuka bumi, yaitu Freeport.

"Alasan penolakan orang Papua terhadap hasil penentuan pendapat rakyat (PEPERA) sangat jelas, yaitu, ketidak-demokratisan dalam penyelenggaraannya, dalam penyelenggeraannya sangat bertentangan dengan hukum internasional," ujarnya.

"Setiap dewasa pria dan wanita di Papua memiliki hak untuk memilih, seperti yang telah dibahas di dalam Perjanjian New York (New York Agreement), namun dalam pelaksanaannya Indonesia menggunakan cara lokal, yaitu musyawarah dengan hanya memilih 1.025 orang yang telah dipersiapkan untuk memilih Indonesia dan hanya 175 orang saja yang menyampaikan hak pilihnya dan membaca teks yang telah dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu, sedangkan populasi orang dewasa di Papua pada saat itu berjumlah 800.000," tambahnya.

Menurut dia, otonomi khusus yang telah berjalan selama 19 tahun telah terbukti tidak membawa perubahan apapun, khususnya bagi rakyat Papua. Kondisi objektif yang dialami rakyat Papua sangat jauh dari kata sejahtera. Berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih terus terjadi, hak-hak dasar orang asli Papua (OAP), kondisi kesehatan dan pendidikan yang begitu buruk menjadi bukti kuat bahwa otonomi khusus telah gagal di Papua.

Pantauan wartawan, aksi itu ditutup dengan pertunjukan teatrikal penyampaian permohonan maaf yang dibuat oleh FRI-WP kepada rakyat dan mahasiswa Papua. Mahasiswa juga melakukan pembuangan peti mati yg bertuliskan "Otsus telah membunuh orang asli Papua" sebagai bentuk penolakan secara tegas Otsus jilid 1 dan 2.

Berikut 9 tuntutan mahasiswa Papua Kota Kupang:

1. Menolak OTSUS jilid dua karna bukan kehendak rakyat Papua

2. Mengutuk keras elit politik Papua yang mengatasnamakan rakyat Papua untuk agenda dialog dan perpanjang OTSUS

3. Bebaskan seluru tahanan politik dan rasisme di Papua

4. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan rasisme terhadap tahanan politik dan mahasiswa Papua

5. Buka seluas-luasnya akses jurnalis asing ke tanah Papua

6. Cabut SK DO 4 mahasiswa Unhair Ternate

7. Tarik militer organik dan organic dari tanah Papua

8. Menolak hasil PEPERA 1969 yang tidak demokratis

9. Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya