Liputan6.com, Sikka - Gempa dan tsunami yang melanda wilayah Flores khususnya Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 12 Desember 1992 mengisahkan cerita pahit peristiwa kelam itu.
Kekuatan gempa dan tsunami kala itu sempat menenggelamkan Pulau Babi yang berada di wilayah pantai utara Kabupaten Sikka. Pulau Babi disebutkan menjadi pusat gempa.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Peristiwa alam itu menewaskan kurang lebih 2.000 orang warga Sikka. Namun, duka tsunami itu mulai terhapus. Pulau Babi yang dulu dinyatakan hilang, kini menjadi Taman Wisata Alam Laut (TWAL) yang dikenal dengan nama Teluk Maumere.
Tsunami yang mengakibatkan patahan pada dasar laut Pulau Babi yang berbentuk jurang, dengan panjang 100 meter dan kedalamannya mencapai 10-20 meter. Patahan laut ini merupakan episentrum ketika tsunami melanda.
Warga Pulau Babi, wilayah Kecamatan Alok Timur yang selamat direlokasi ke pemukiman yang dibangun pemerintah di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura.
Salah satu saksi hidup, Kaharudin ditemui Liputan6.com Sabtu (15/8/2020) mengisahkan keganasan tsunami kala itu. Saat itu, ia berusaha menyelamatkan istri dan lima anaknya, berlari ke bukit bersama ratusan warga lainnya. Namun, dalam pelarian itu, satu persatu dari lima anaknya terseret gelombang dan hilang seketika.
"Saat kami lari ke gunung anak saya terlepas dari pegangan dan terseret gelombang. Semua anak saya meninggal dunia," tuturnya.
Ia mengatakan, dari 300 kepala keluarga, yang tersisa hanya 30 kepala keluarga. Semuanya meninggal dunia akibat gempa dan tsunami.
"Saat itu saya sedang tangkap ikan di laut. Saat ada gempa saya lari ke rumah. Saya lihat, air laut sudah naik sehingga kami lari ke gunung, yang tidak sempat melarikan diri meninggal dunia terseret gelombang," ungkapnya.
Setelah tsunami reda, ia menggunakan sampan menuju ke Desa Nebe, Kecamatan Talibura guna mencari bantuan. Setelah kembali ke Pulau Babi, sudah ada petugas yang datang memberi bantuan. Ia dan beberapa warga lainnya akhirnya dievakuasi.
Sang istri, Nurdiati, mengaku saat itu, ia bersama suami berlari sambil memegang tangan kelima anaknya. Namun, air laut yang semakin mengganas menyeret kelima anaknya hingga hilang.
Dia mengaku sedih setelah anaknya meninggal, tetapi setelah pindah ke Nangahale ia mengaku dukanya terobati karena kembali dikarunia lima anak lagi.
"Kami bersedih karena semua anak meninggal meskipun kami coba menyelamatkan diri dengan berlari bersama ke gunung," ungkapnya.