Menelisik Muasal Data KTP yang Nyasar ke Kandidat Independen di Ternate

Syarat dukungan kandidat yang maju lewat jalur independen ini ditentukan jumlah dukungan minimal 10 persen dari DPT pemilu terakhir di Ternate.

oleh Hairil Hiar diperbarui 13 Sep 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2020, 11:00 WIB
Kantor Dukcapil Kota Ternate. (Hairil Hiar/Liputan6.com)
Syarat dukungan kandidat yang maju lewat jalur independen ini ditentukan jumlah dukungan minimal 10 persen dari DPT pemilu terakhir di Ternate.

Liputan6.com, Ternate - Putri Nurdiana Jailan mengaku bingung. Pasalnya sejumlah media menyebut ia memberikan dukungan ke kandidat independen yang maju bakal calon kepala daerah di Kota Ternate.

Ketua Panwas Kecamatan di Ternate Utara ini syok dan kaget saat tahapan verifikasi syarat dukungan kandidat independen yang diserahkan ke KPU Kota Ternate ditemukan foto kopi KTP dan lembar persetujuan mendukung atas nama dirinya.

“Untuk pengumuman tahap pertama itu ada 14 nama penyelenggara. Dari daftar nama yang disebut, salah satunya saya,” ujar perempuan kelahiran 1991 ini, Sabtu 22 Agustus 2020.

Tahun ini, Provinsi Maluku Utara menggelar Pilkada Serentak di 8 kabupaten kota. Dari daerah penyelenggara pilkada ini hanya Ternate yang muncul kandidat independen. Kandidat itu menginput 13.019 data KTP elektronik ke Sistem Informasi Pencalonan atau Silon KPU.

Dari daftar KTP yang diinput ini kemudian diserahkan bukti fisik foto kopi KTP disertai lembar dukungan dari masing-masing pemilik KTP tersebut. Namun belakangan syarat dukungan yang diserahkan ke KPUD ini menuai pertanyaan dari para pemilik kartu tanda penduduk itu.

Para pemilik KTP baru mengetahui KTP-nya masuk syarat dukungan kandidat independen setelah ada verifikasi administrasi dan verifikasi faktual dari KPU. Hal ini pertama kali terungkap dari 14 nama penyelenggara pemilu yang ditemukan foto kopi KTP mereka.

Putri mengemukakan, data pribadi miliknya yang diserahkan kandidat independen ke KPUD ini benar miliknya sendiri. Namun data foto kopi KTP tersebut sudah tidak digunakan lagi sejak dilakukan perubahan biodata KTP-nya pada tahun 2018.

Hal senada dikatakan Iksan Hasim, salah seorang warga Ternate yang KTP-nya masuk syarat dukungan kandidat tersebut. Iksan sendiri bingung, dari mana muasal KTP-nya diperoleh oleh sang kandidat perorangan. Seingatnya, KTP itu hanya ada di tangannya setelah diterbitkan oleh Dukcapil pada 2018.

Ia baru mengetahui KTP-nya masuk syarat dukungan kandidat tersebut setelah ada verifikasi faktual.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Menyasar Data Dukungan

Komisioner KPU Kuad Suwarno. (Hairil Hiar/Liputan6.com)
Syarat dukungan kandidat yang maju lewat jalur independen ini ditentukan jumlah dukungan minimal 10 persen dari DPT pemilu terakhir di Ternate.

Kuad Suwarno, Ketua Divisi Logistik KPU Ternate menyatakan, syarat dukungan KTP yang diserahkan kandidat independen dan tidak diakui pemiliknya itu sudah dimasukkan ke kategori TMS atau tidak memenuhi syarat. Proses TMS dilakukan pada saat verifikasi faktual. 

Proses verifikasi ini untuk memastikan benar tidaknya daftar dukungan yang diserahkan. Proses ini dimulai dengan pengecekan, verifikasi administrasi, hingga verifikasi faktual yang dilakukan KPU menggunakan metode sensus dari rumah ke rumah pemilik KTP tersebut.

“Kalau tidak benar maka langsung di TMS-kan. Dan dari hasil verifikasi ini kemudian ditemukan nama penyelenggara, PNS, TNI, Polri, KTP ganda, dan meninggal dunia,” ujar dia.

Kuad menyatakan, syarat dukungan kandidat yang maju lewat jalur independen atau perseorangan ini ditentukan jumlah dukungan minimalnya 10 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap atau DPT pemilu terakhir di Kota Ternate. Sehingga diperoleh 12.467 dukungan KTP yang harus dipenuhi kandidat bakal calon yang maju melalui jalur nonpartai tersebut.

Kuad menyebutkan, dari jumlah dukungan yang diserahkan kandidat independen ini kemudian dilakukan verifikasi dan dinyatakan memenuhi syarat sebanyak 11.256 pemilih. Dukungan ini didapat dari hasil verifikasi faktual tahap pertama 7.120 dan tahap kedua 4.136.

Adanya syarat dukungan hasil verifikasi yang dilakukan KPUD Ternate selama tahapan tersebut, kemudian oleh KPU menetapkan bahwa pasangan calon kandidat independen tidak memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah karena terdapat kekurangan 1.211 dukungan.

Rusly Saraha, Koordinator Bidang Pengawasan Bawaslu Kota Ternate membenarkan adanya temuan sejumlah pemilik data KTP yang dimasukkan tersebut tidak diketahui pemiliknya.

“Sehingga beberapa penyelenggara yang namanya masuk, itu kemudian dilakukan sidang dugaan pelanggaran kode etik. Namun dari hasil sidang itu membuktikan kalau penyelenggara ini tidak pernah memberikan dukungan ke kandidat perseorangan,” jelasnya.

Rusly mengemukakan, dalam proses pengawasan tahapan verifikasi yang dilakukan KPU setempat, Bawaslu secara khusus lebih fokus pada data-data yang tidak memenuhi syarat. 

“Misalnya data foto kopi KTP yang dimasukkan itu ada pemilih belum cukup umur atau tidak, PNS, penyelenggara, TNI dan Polri atau orang sudah meninggal itu yang jadi fokus,” katanya.

Dari Mana Kandidat Perseorang Peroleh Data Pribadi?

Rusly mengaku, Bawaslu secara kelembagaan hingga sekarang belum mengetahui pasti dari mana data pribadi orang dalam foto kopi KTP dan lembar B11 KWK itu diperoleh kandidat. 

“Karena sidang kode etik penyelenggara Panwas yang namanya masuk dukungan kandidat itu mereka dari pasangan bakal calon tidak pernah hadir. Bahkan yang dihadirkan itu hanya tim penginput data KTP ke Silon. Yang katanya, hanya bertugas input sesuai data foto kopi KTP yang diserahkan kepadanya. Namun dari mana KTP itu berasal dia tidak tahu,” kata Rusly.

Hilman Silawane, Sekretaris Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Ternate mengakui, jika masalah KTP yang tercecer ke kandidat perseorangan itu bukan kali pertama terjadi. Masalah ini, menurut Hilman, sebelumnya juga ditemukan pada Pilkada Ternate sebelumnya.

“Ini masalah yang berulang di setiap pilkada yang melibatkan adanya pasangan calon perseorangan. Kandidat perseorangan memasukkan syarat dukungan KTP, namun kemudian pendukung dari pemilik KTP yang dimaksud mengaku tidak pernah memberikan dukungan. Dan ketika masalah ini muncul, arahnya selalu ke Dukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil),” ujar Hilman, ketika disambangi, di Kelurahan Kotabaru, Ternate, Kamis 3 September.

Hilman menyatakan, masalah yang sering muncul kemudian mengarah ke Dukcapil secara institusi itu tidak benar dan tidak berdasar. Karena di Dukcapil sendiri tidak menyimpan arsip KTP. Ia menyebutkan, kalau ada arsip KTP maka kemungkinan bisa dilakukan penggandaan.

“Kasus ini sendiri saya pernah ditanyakan oleh Bawaslu, karena waktu itu ada Komisioner Panwas yang ditemukan namanya, kemudian dipanggil dan diperiksa. Sehingga kita jelaskan ke Bawaslu itu bukan ranah kita, karena kita tidak tahu kandidat dapat dari mana,” katanya.

Menurut Hilman, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Ternate, sejak pemberlakuan KTP elektronik pada tahun 2011, itu sudah tidak lagi menyimpan arsip KTP penduduk ini. 

“Sehingga setelah perekaman KTP elektronik dilakukan, itu langsung dibagi habis. Kalau pun masih ada KTP lama maka langsung dibakar oleh petugas sehingga tidak ada sisa,” ucapnya.

“Bahkan sekarang SOP-nya jelas, sejak kasus ribuan KTP yang ditemukan tercecer di sawah, terjatuh di jalan, dan kemudian viral, sejak saat itu arahan dari Dirjen kami jelas, setiap ada perubahan KTP karena ada perubahan biodata, atau perubahan elemen data dan pindah masuk itu harus dibakar. Sehingga yang namanya KTP lama sudah tidak ada,” kata Hilman.

Hilman mengemukakan, untuk membongkar siapa yang mengakses data base si A atau si B saat ini, bisa dilakukan langsung oleh Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri.

“Itu bisa diketahui, bahkan jam berapa diakses, dari kabupaten kota mana, bisa ketahuan. Itu mulai diterapkan oleh Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil pada 1 Juli 2020,” tambah dia.

 

Melindungi Data Pribadi

Hilman menjelaskan, sesuai ketentuan UU, Dukcapil memiliki kewajiban untuk melindungi setiap data pribadi yang tercantum di KTP yang diproses Dukcapil masing-masing daerah.

Upaya perlindungan data pribadi ini melalui pembatasan akses orang masuk ke data base. 

“Dan yang bisa mengakses data base di luar pemiliknya itu hanya petugas Dukcapil yang diberikan akses sesuai tugas pokok dan fungsinya. Para petugas ini meliputi PNS dan PTT di Dukcapil. Mereka terdiri dari petugas Customer Service atau CS, Administrator Data Base Kependudukan, dan Kabid Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan,” ujar dia.

Hilman mengemukakan, para petugas di bawah Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Dukcapil ini memiliki tugas pokok sebagai maintenance dan perlindungan data base. Menurut dia, daftar KTP yang memuat data pribadi penduduk di Indonesia itu tidak bisa dikeluarkan dalam bentuk apapun, kecuali diminta sendiri oleh pemilik data masing-masing.

Hilman menyatakan, akses data pribadi dalam jumlah banyak di Dukcapil tidak dibolehkan. Hal itu sudah diatur dalam Permendagri Nomor 61, tidak boleh lagi mengakses data dan memberikannya dalam bentuk by name by address kecuali dari pemilik data pribadi sendiri.

“Karena itu kita mewanti-wanti, jangan menggunakan jasa calo dalam pengurusan KTP di Dukcapil. Usahakan datang dan mengurus sendiri. Karena perlindungan data pribadi ini bukan cuma tugas Dukcapil, tapi tugas dari masing-masing pemilik data KTP itu sendiri,” lanjutnya.

Hilman menyatakan, kalaupun dengan upaya perlindungan data pribadi penduduk ini masih bocor keluar maka itu bukan berarti Dukcapil secara institusi yang mengeluarkan tapi oknum.

“Terutama soal dari mana KTP lama dan terakhir kali terbit itu didapat. Karena di Dukcapil ini SOP nya jelas, kami tidak bisa memberikan KTP kalau bukan ke pemiliknya, kami tidak menyimpan foto kopi KTP karena semua dalam bentuk hardcopy. Kalau ternyata ada orang di Dukcapil yang memberikannya berarti itu oknum dan bukan institusi,” ujar Hilman.

Hilman menyatakan, kalaupun ada oknum di Dukcapil yang melaksanakan itu pasti diberikan sanksi, yang berdasarkan UU bisa diberhentikan. Kalau pun itu oknum PTT maka dipecat.

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, Wahyudi Djafar menyebutkan, masalah pemanfaatan data pribadi ini tidak hanya di Ternate, namun secara umum di Indonesia pasti ditemukan masalah yang sama muncul pada saat momentum politik.

“Jadi memang aturan kepemiluan kita masih ada beberapa persoalan yang terkait dengan pengelolaan data pribadi, salah satunya untuk kebutuhan pengajuan calon independen. Karena kalau mengacu kepada undang-undang kepemiluan itu disebutkan pengajuan calon independen dibuktikan dengan adanya foto kopi KTP sebagai syarat dukungan,” ujarnya.

Artinya dalam konteks perlindungan data pribadi ini, lanjut Wahyudi, tentunya harus ada legal ground atau dasar hukum pemrosesan data, yang dimulai dengan persetujuan atau konsen dari subjek data atau pemilik data, memastikan kontrak dengan subjek data, kepatuhan terhadap kewajiban kontrak, melindungi kepentingan vital dari subjek data,  pelaksanaan tugas untuk kepentingan umum yang diberikan kepada pengendali data atau pihak ketiga, dan kepentingan yang sah dari pengendali data yang memanfaatkan data.

“Namun dalam konteks pengajuan syarat dukungan independen ini dasar hukumnya hanya satu, yaitu persetujuan dari para pemilik KTP yang diserahkan ke kandidat tersebut,” jelasnya.

 

Tanggapan Kandidat Independen

Baliho kandidat independen. (Hairil Hiar/Liputan6.com)
Syarat dukungan kandidat yang maju lewat jalur independen ini ditentukan jumlah dukungan minimal 10 persen dari DPT pemilu terakhir di Ternate.

Muhdi Ibrahim, mantan bakal calon Wali Kota Ternate dari jalur independen mengaku, proses pengambilan syarat dukungan KTP disertai lembar pernyataan itu diberikan oleh relawan dan simpatisan yang ingin dirinya bersama pasangan wakil Gazali Wesplat maju Pilkada 2020. 

“Yang saya tahu mereka (relawan dan simpatisan) membawa lembaran pernyataan itu kemudian mereka berikan dukungan KTP itu, kemudian itu diberikan kepada tim IT untuk menginput,” kata Muhdi, ketika dikonfirmasi melalui telepon, di Ternate, Sabtu 5 September.

Menurut Muhdi, masalah ini kemudian muncul itu merupakan kekurangan dirinya bersama pasangan balon wakil tersebut yang tidak membentuk tim dalam mencari dukungan B1 KWK.

“Jadi dalam pengambilan KTP dukungan itu saya belum punya tim, saya baru punya tim IT yang kaitan dengan sistem informasi yang digunakan oleh KPU. Karena itu sumber-sumber (dari mana yang memberikan dukungan) saya sendiri tidak terlalu itu (tahu),” kata Muhdi.

Muhdi, saat ditanya bagaimana dengan sejumlah dukungan yang dimasukkan ke KPU, itu kemudian diverifikasi dan tidak diakui oleh pemilik data tersebut, enggan memberikan komentar. Begitu pun dengan pertanyaan soal pemanfaatan data KTP penduduk tersebut.

“Saya tidak terlalu tahu sampai ke situ karena mereka (relawan dan simpatisan) yang melaksanakan itu semua. Yang jelas saya hanya mengharapkan dengan adanya dukungan itu bisa dikumpulkan (sesuai dengan peraturan dan mekanisme yang berlaku),” lanjut Muhdi.

 

Menekan Potensi Pencurian Data

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, Wahyudi Djafar mengemukakan, data pribadi yang ada di KTP ini meliputi nama, alamat, tanggal lahir, NIK (nomor identitas penduduk), agama, pekerjaan, status perkawinan, hingga golongan darah.  

“Sehingga bagaimana seharusnya rujukan peraturan yang terkait perlindungan data pribadi dalam konteks kepemiluan ini, kami (ELSAM) sempat meminta konsultasi dengan KPU soal Peraturan KPU ini, dan salah satu usulan kami adalah untuk pengelolaan KTP dalam konteks pengajuan calon independen disertai dengan form persetujuan. Jadi gak cuma foto kopi KTP, bahwa orang yang memberikan KTP itu, betul dengan persetujuan KTP-nya digunakan atau data pribadinya diproses untuk dukungan pihak ketiga atau calon independen,” ujarnya.

Wahyudi menyatakan, penyalahgunaan foto kopi KTP pada saat momentum pilkada ini merupakan salah satu dari sekian problem penyalahgunaan data pribadi di tanah air.

“Ini sering terjadi karena di Indonesia belum memiliki UU PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi). Karena tentunya dengan UU ini kalau sudah ada, maka dapat mengatur tentang kewajiban pengendali data, dasar hukum pemrosesan data, dan hak-hak dari subjek data (atau pemilik data) nantinya. Sehingga kalau dasar UU PDP ini sudah ada maka akan berimplikasi menjadi keharusan untuk melakukan sejumlah pembaruan, termasuk dalam konteks UU kepemiluan, yang di dalamnya, pertama; terkait data pribadi, dan yang kedua; mengharuskan adanya panduan-panduan yang sifatnya teknis yang harus dikeluarkan bersama antara KPU dengan otoritas yang nanti menangani UU PDP di Indonesia,” dia menjelaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya