Menyusuri Pulau Mat Belanda di Batam, Pulau Primadona yang Terlupakan

Dahulu Pulau Mat Belanda menjadi salah satu pulau tempat singgah para pelancong dan pelaut di Batam.

oleh Ajang Nurdin diperbarui 07 Apr 2021, 06:00 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2021, 06:00 WIB
Pulau Mat Belanda
Mat Belanda merupakan salah satu pulau dari 108 gugusan pulau kecil yang ada di Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. (Liputan6.com/ Ajang Nurdin)

Liputan6.com, Batam - Mat Belanda merupakan salah satu pulau dari 108 gugusan pulau kecil yang ada di Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Selain berlokasi di perbatasan negara, pulau ini juga berada di tengah-tengah antara Selat Malaka dan Singapura, tak heran jika Pulau Mat Belanda menjadi pulau yang kerap dikunjungi banyak pelancong.

Masyarakat sekitar menyebutnya dengan Pulau Babi, konon dahulu kawasan ini terkenal sebagai tempat pemasok babi. Namun saat ini banyak juga masyarakat setempat yang berprofesi sebagai penghasil rumput laut.

Yudi Admajianto, Camat Belakang Padang kepada Liputan6.com, Minggu (4/4/2021) mengatakan, Pulau Mat Belanda saat ini menjadi salah satu pulau yang bakal dikembangkan menjadi destinasi wisata, selain Pulau Tolop yang terkenal dengan wisata religinya.

Yudi mengatakan, Pemerintah Kota Batam saat ini tengah membangun infrastruktur di kawasan hinterland Batam. Selain demi pariwisata, pembangunan jembatan antarpulau juga akan memudahkan siswa pergi ke sekolah.

"Pemerintah provinsi juga lagi mendorong UMKM agar potensi maritim yang ada dapat termanfaatkan," ujar Yudi.

 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Primadona Para Pelancong

Pulau Mat Belanda
Anak-anak Pulau Mat Belanda tengah bermain di dermaga. (Liputan6.com/ Ajang Nurdin)

Edy Mulyanto (66), salah satu tokoh masyarakat di Pulau Mat Belanda mengatakan, merunut sejarahnya, sebelum Batam maju seperti sekarang ini, Pulau Mat Belanda telah menjadi tempat orang-orang berpenghasilan tinggi. Cuan itu didapat dari tamu-tamu negeri Jiran dan para pekerja kapal yang singgah ke Pulau Mat Belanda untuk mencari hiburan dan melepas penat.

"Dulu masyarakat di sini makmur, dolar-dolar bertebaran, setelah tidak ada lagi tamu-tamu kapal yang mampir, penghasilan masyarakat menurun drastis," katanya.

Edy menceritakan, orang zaman dulu memang menyebutnya Pulau Babi, karena di pulau itu ada peternakan babi terbesar di Asia Tenggara. Namun setelah peternakan babi sudah tidak ada, pulau itu dinamakan Pulau Mat Belanda.

 

Bangkit dengan Rumput Laut

Pulau Mat Belanda
Masyarakat Mat Belanda mulai mengembangkan dan memanfaatkan rumput laut, atau orang setempat menyebutnya Rengkam. (Liputan6.com/ Ajang Nurdin)

Pembina Kelompok Nelayan Rumput Laut, Azhari mengatakan, sebelum menjadi tempat budidaya rumput laut, selama 18 tahun masyarakat Pulau Mat Belanda tidak punya penghasilan tetap. Sebanyak 93 kelapa keluarga di pulau itu mengandalkan Kota Batam untuk mencari penghasilan.

"Sembilan puluh persen lebih masyarakat pulau ini dulu tidak berpenghasilan. Namun sekarang masyarakat mulai sadar bahwa potensi rumput laut sangat besar," ujar Azhari.

Setelah menyadari ekonomi terpuruk masyarakat Mat Belanda mulai mengembangkan dan memanfaatkan rumput laut, atau orang setempat menyebutnya Rengkam. Di pulau ini, warga bisa mendapatkan 200 kilogram rumput laut dalam sehari atau rata-rata 200 ton per bulan, dengan nilai jual Rp1.300 per kilogram.

Rumput laut dengan jenis tertentu, seperti Sargassum bisa diolah menjadi pupuk dan makanan ternak yang banyak diekspor ke China dan Vietnam.

"Awalnya kita ingin menghidupkan ekonomi masyarakat sehingga kita lakukan kajian untuk mengelola rumput laut jenis sargassum tersebut," katanya.

Ia mengaku, rumput laut jenis ini dianggap sebagai gulma yang menghambat laju kapal nelayan. Seiring waktu, muncul ide untuk mengelola sargassum dan ternyata di luar rumput tersebut sangat berharga.

"Kita juga menjajal untuk mengekspor ke Jepang. Rumput ini selain diproduksi menjadi pupuk, bisa dijadikan sebagai pakan ternak," ujarnya.

Azhari mengatakan, hasil dari kelompok nelayan rumput laut di wilayah itu, sudah tiga kali diekspor. Pertama, sebanyak 25 ton pada November, ekspor kedua pada Desember sebanyak 50 ton, dan Januari lalu sebanyak 75 ton.

"Kita terus lakukan pembinaan, tak hanya di Pulau Mat Belanda saja, kita juga coba di pulau-pulau lain agar rumput ini menjadi penopang ekonomi anak-anak pulau sehingga bisa mandiri di kampung sendiri. Rata-rata penghasilan warga pulau saat ini Rp260 ribu per hari," katanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya