Pilu Korban Gempa Palu, 3 Kali Ramadan Masih Tinggal di 'Gubuk Pengungsian'

Musibah gempa terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 28 September pada 2018 silam. Musibah ini masih belum lekang dari ingatan, terlebih untuk para korban.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 16 Apr 2021, 17:00 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2021, 17:00 WIB
Sebuah papan dengan pesan Kami Rindu Rumah Kami dipasang pasca gempa bumi dan tsunami di pinggir Jalan Trans Sulawesi, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10). (Liputan6.com/Fery Pradolo)
Sebuah papan dengan pesan Kami Rindu Rumah Kami dipasang pasca gempa bumi dan tsunami di pinggir Jalan Trans Sulawesi, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10). (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Palu - Musibah gempa terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 28 September pada 2018 silam. Musibah ini masih belum lekang dari ingatan, terlebih untuk para korban.

Gempa dahsyat yang telah meluluhlantakkan Sebegian Provinsi Sulteng ini, tidak hanya membuat korban kehilanggan tempat tinggal, tetapi sebagian dari warga harus merelakan anggota keluarga mereka hilang dan rumah mereka hancur.

Salah satunya warga di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, yang menjadi kelurahan padat penduduk paling parah terdampak gempa bumi yang disertai likuefaksi pada peristiwa mengerikan tersebut.

Seluruh rumah penduduk hancur. Warga terdampak harus tinggal di Hunian Sementara (Huntara). Meski musibah tersebut sudah tiga tahun silam, hingga kini masih ada korban yang tinggal di huntara.

Simak juga video pilihan berikut:

Kesulitan Air Bersih

Fatmawati(50) salah satu korban musibah gempa Palu. Fto.Istimewa (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)
Fatmawati(50) salah satu korban musibah gempa Palu. Fto.Istimewa (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Fatmawati(50) salah satu korban musibah itu mengatakan, bahwa sudah tiga kali bulan Ramadan mereka masih tinggal huntara. Mereka memilih bertahan lantaran rumah mereka hilang bak ditelan bumi.

"Kami sudah tidak punya rumah, rumah kami hilang tertimbun tanah," kata wanita yang akrab disapa Fatma.

Ia mengaku, bahwa saat ini keluarganya sudah tidak nyaman lagi tinggal di huntara. Selain pengap, dia juga kesulitan mendapatkan air bersih.

"Sebenarnya tinggal di sini tidak nyaman, akan tetapi apa boleh buat, ini jalan satu-satunya hidup yang kami jalani," tuturnya.

Ibu dua anak ini menuturkan, pemerintah pernah menjanjikan tinggal di huntara hanya 2 tahun, setelah itu warga terdampak bencana gempa dan likuefaksi ini akan mendapat hunian yang layak.

"Tapi sampai dengan sekarang belum ada juga kepastiannya," ungkapnya.

"Bantuannya ada, seperti sembako. Itu pun terakhir dikasih sudah lama sekali," ujarnya.

Korban gempa likuefaksi Petobo ini hanya bisa berharap, agar pemerintah bisa memberikan hunian tetap dan layak bagi mereka seperti yang dijanjikan sebelumnya.

"Semoga secepatnya bisa cepat pindah ke tempat yang lebih layak seperti yang dijanjikan sebelumnya," ia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya