Liputan6.com, Bandung - Tarian yang ditampilkan Mahaika Umiyati Putri Sabana (19) tak diiringi bebunyian alat musik, pun tak berlantai panggung. Mahaika menari bertelanjang kaki di sehampar rumput, di antara alunan alam Taman Hutan Raya (Tahura) Juanda, Bandung.
Berbaju putih dengan bawahan kain batik warna kakao, Mahaika terlihat menari sambil memegang sebuah bibit pohon yang masih tersemai pada polybag. Gerakan selanjutnya, seorang penari lain membawa kendi berisi air lalu menyiram bibit pohon itu secara perlahan.
Mahaika adalah satu-satunya perempuan di antara enam penari lelaki. Kehadirannya sentral, seperti pusar yang memicu gerak para penari lain. Mahaika beserta enam penari yang tergabung di Bongkeng Arts Space, Kota Bandung, tidak sedang menampilkan tariannya untuk khalayak penonton, tapi disuguhkan semata kepada bumi.
Advertisement
Baca Juga
"Tarian ini kami lakukan selama tujuh jam tanpa henti dalam rangka memperingati Hari Bumi," ungkap Direktur Bongkeng Arts Space, Deden Tresnawan, kepada Liputan6.com, Kamis (22/4/2021).
Setiap tahunnya, kata Deden, para penari dari Bongkeng rutin memperingati Hari Bumi. Gelaran ini jadi momentum refleksi untuk lebih menghayati hubungan manusia dengan alamnya. Saat ini, lingkungan dinilai sudah sangat memperihatin, dieksploitasi secara berlebihan oleh manusia.
"Semua yang kita butuhkan didapat dari bumi. Tapi sebaliknya, apa yang sudah kita berikan untuk alam?" katanya.
Eksploitasi alam pada gilirannya akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kerusakan itu, kata Deden, akan berbuah kerugian tak hanya bagi manusia, tapi juga untuk makhluk lain secara luas.
"Dengan mudah kita bisa melihat hutan-gunung gundul karena alih fungsi lahan, atau sungai yang tercemar. Dalam pertunjukan ada permainan tarian dengan medium air tujuannya merefleksikan soal pencemaran," katanya.
Dal kondisi ini, ungkap Deden, sangat penting untuk menjaga lingkungan sendiri. "Memahami cara merawat lingkungan, lalu menghindari perilaku yang dapat merusaknya," ungkap Deden.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Pantomim Bagi Mereka yang Tak Bersuara
Bergeser ke perempatan Jalan Cikapayang, Kota Bandung, seniman pantomim Wanggi Hoed merangkum diri sebagai semua makhluk hidup. Dengan setelan khas berbaju pasi, ikat kepala dan wajah yang dipulas putih Wanggi menggelar aksinya di garis penyebrangan saat lampu merah.
Dalam sebuah adegan, Wanggi tampak membuka mulut dengan lebar seperti sedang berteriak kencang tapi tanpa suara. Di sekitar kelopak matanya terlihat gincu berwarna merah, terkesan marah atau menangis darah.
Di belakang Wanggi tampak sejumlah peserta aksi menunjukan sejumlah poster aspirasi, satu di antaranya bertuliskan "PLTU Batubara Mematikan".
"Saya jadi semua makhluk hidup yang hari ini ruang hidupnya, habitatnya terancam karena pratik-praktik pertambangan, industru ekstraktif yang merusak lingkungan," kata Wanggi usai pertunjukkan.
Di Hari Bumi, Wanggi mengajak bersama untuk berefleksi mengingatkan terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan, memukul keras kebijakan yang eksploitatif. Wanggi juga mengkhawatirkan, akan represi yang kerap dialami oleh pejuangan kemanusiaan atau pejuang lingkungan.
"Saat ini tekanannya terasa makin kencang, mereka bisa saja ditangkap, dikiriminalisasi," katanya.
Pertunjukan Wanggi juga mencoba merefleksikan satwa-satwa liar yang tak bisa bersuara untuk memprotes kerusakan lingkungan yang juga berdampak pada keberlangsungan hidup mereka.
"Di balik rimba-rimba lain satwa liar rumahnya pun hancur. Kita mungkin lebih enak, bisa berekspresi di kota-kota, di cafe-cafe, tapi mereka satwa liar tak bisa bersuara memprotes, mungkin mereka hanya berteriak-teriak di habitatnya yang tengah rusak," katanya.
Advertisement
Hentikan Industri Ekstraktif
Dalam memperingati Hari Bumi tersebut Wanggi bergabung dengan sejumlah peserta Walhi Jabar. Aksi yang digelar serentak di 28 provinsi ini bertajuk Restore Our Earth atau Pulihkan Bumi Kita.
Manager Pendidikan dan Kaderisasi Walhi Jabar, Haerudinas menyuarakan sejumlah persoalan dari eksploitasi kawasan hijau untuk pertambangan, proyek-proyek nasional yang dinilai tak ramah lingkungan, hingga perampasan lahan atas nama kepentingan publik yang mengabaikan keadalian ekologis maupun hak asasi manusia.
Di lingkup Jabar, Haerudinas menyinggung soal bahaya dari pengolahan energi kotor PLTU Batubara di Indramayu dan Cirebon.
"Dari hasil riset kita di Indramayu, Cirebon, abu hasil pembakaran yang beterbangan yang sangat kecil itu membahayakan manusia dengan radius lima sampai 10 kilometer," katanya.
Kerusakan lingkungan akan memicu perubahan iklim yang pada gilirannya menimbulkan bencana alam yang tak biasa. Antara lain seperti puting beliung, siklon, dan bencana ekologis lainnya. Bencana itu timbul tidak semata karena alam tapi juga peran tangan manusia.
"Seperti angin puting beliung di wilayah Cimenyan, Kabupaten Bandung, itu kan bukan bencana yang sudah ada awalnya, tapi timbul akibat ulah tangan manusia, terjadi pergolakan udara. Ini perubahan iklim," katanya.
Diharapkan, persoalan lingkungan dapat menjadi atensi masyarakat luas. Karenanya, kampanye terbuka semacam yang digelar pihaknya itu menjadi penting. Dengan kemudahan teknologi masyarakat dapat bersama-sama mengkampanyekan soal desakan perbaikan lingkungan terhadap pemerintah.
Walhi Jabar mendorong pemerintah harus melaksanakan sekaligus membuat kebijakan soal energi bersih dan energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
"Kebijakan pemerintah itu harus adil lalu kebijakan ruang mereka jangan merampas, baik demi keadilan ekologis atau hak asasi manusia yang ada di wilayah daerah," tutur Haerudinas," tandasnya.