Ramai-Ramai Tolak Langkah Bupati Garut Tutup Paksa Masjid Ahmadiyah

Bupati Garut mengambil keputusan menutup paksa masjid Ahmadiyah itu berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri yang diterbitkan pada 2008.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Mei 2021, 18:11 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2021, 18:00 WIB
Tutup Masjid Ahmadiyah di kampung Nyalindung, Garut, Bupati Garut Tuai Banyak Kecaman
Petugas Satpol PP Kabupaten menghentikan dan menyegel pembangunan masjid milik warga Ahmadiyah di Kampung Nyalindung atas perintah Bupati Garut Rudy Gunawan. (Liputan6.com/Dok)

Liputan6.com, Garut - Bupati Garut Rudy Gunawan memerintahkan petugas Satpol PP Kabupaten menghentikan dan menyegel pembangunan masjid milik warga Ahmadiyah di Kampung Nyalindung pada Kamis, 6 Mei 2021.

Rudy mengatakan bahwa dia mengambil keputusan itu berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri yang diterbitkan pada 2008 yang berisi tentang larangan penyebaran ajaran Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Sebelumnya, pembangunan masjid tersebut telah mendapat penolakan dari beberapa warga. Menurut informasi yang diterima Amnesty International, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak dilibatkan dalam pertemuan forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) yang mendiskusikan keputusan untuk menghentikan pembangunan masjid. DPD JAI Garut juga telah meminta untuk mengadakan audiensi dengan Polres Garut, tetapi permohonan itu ditolak.

Amnesty International telah berkali-kali mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut SKB tentang Ahmadiyah dan memberikan ruang bagi JAI untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya dengan bebas tanpa diskriminasi dan ancaman. Hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang isinya:

"Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya".

Selain itu, Pasal 27 ICCPR juga menjamin bahwa orang-orang yang termasuk minoritas tersebut tidak boleh ditolak haknya, dalam komunitas dengan anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menganut dan mempraktikkan agama mereka sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.

Kebebasan untuk mewujudkan atau memperlihatkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat tunduk pada batasan-batasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.

"Akan tetapi perlu diingat bahwa peraturan, kebijakan dan perlakuanpun tidak boleh bersifat disrkiminatif hanya karena keyakinan atau cara mereka beribadah berbeda dengan yang lain," tulis keterangan resmi Amnesty Internasional, Jumat (7/5/2021).

Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 29 (2) tentang kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) tentang kebebasan berkeyakinan, menyatakan pikiran dan sikap mereka sesuai dengan hati nuraninya.

Simak video pilihan berikut ini:

Kronologi

ilustrasi masjid. ©2014 Merdeka.com/Shutterstock/Naufal MQ
ilustrasi masjid. ©2014 Merdeka.com/Shutterstock/Naufal MQ

Kejadian ini bermula pada 25 April 2021, datang massa dari luar kampung Nyalindung ke lokasi meminta pemberhentian pembangunan masjid.

Kemudian, pada 29 April, Ketua Pembangunan Masjid Asep Nanu dan Ketua RW 02 Teten menemukan penandaan rumah-rumah warga non-Ahmadiyah dengan pita kuning.

Pada 30 April 2021, DPD Jemaat Ahmadiyah Kabupaten Garut mengirimkan surat ke kejaksaan Negeri Garut dan Kepolisian Resort Garut untuk audiensi, tetapi kedua instansi tersebut menolak dengan alasan sedang dibahas di FORKOPIMDA.

Kemudian, tanggal 4 Mei 2021, DPD Jemaat Ahmadiyah Kabupaten Garut mengirimkan surat ke Bupati Garut untuk audiensi, tetapi Bupati menolak ditemui.

Tanggal 6 Mei 2021 Pukul. 13.30 WIB, petugas dari Satpol PP yang dipimpin oleh Kepala Satuan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Garut, Bambang Hapidz bersama unsur FORKOPIMCAM Cilawu menutup Masjid dengan memasang Satpol PP line. Dan memberikan Surat Edaran Bupati terkait pelarangan aktivitas dan pembangunan Masjid Jemaat Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu.

Tuai Kecaman

Bupati Garut Rudy Gunawan saat memimpin apel gabungan di lapangan setda Garut, Jawa Barat.
Bupati Garut Rudy Gunawan saat memimpin apel gabungan di lapangan setda Garut, Jawa Barat. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Surat Edaran Bupati Tentang Pelarangan Aktivitas dan Pembangunan Masjid JAI yang disertai penutupan paksa Masjid di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang Serta Pemasangan Satpol PP Line pada tanggal 6 Mei 2021 menuai banyak kecaman.

Ketua PC PMII Kabupaten Garut Ipan Nuralam menilai Bupati Garut bertindak inkonstitusional dengan mengeluarkan Surat Edaran Pelarangan Aktivitas Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Penghentian Kegiatan Pembangunan Tempat Ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut pada tanggal 6 Mei 2021, di tengah perjuangan pemerintah dan masyarakat bekerja sama melawan Covid-19.

"Mengecam dengan keras penutupan paksa Masjid Ahmadiyah di kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu dan diterbitkannya Surat Edaran Bupati tentang Pelarangan aktivitas dan pembangun Masjid JAI di Kampung Nyalindung," kata Ipan.

Ipan menambahkan keputusan penutupan masjid tersebut merupakan keputusan sepihak, sebab perwakilan Ahmadiyah tidak diikutsertakan. Kejadian ini, dia melanjutkan, kembali menunjukkan keterlibatan negara dalam melanjutkan praktik diskriminasi yang seharusnya sudah dihapuskan. Negara wajib melindungi hak warganya untuk memeluk dan menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing.

Ipan menyebutkan, Surat Edaran Bupati Garut tentang Ahmadiyah sangat bertentangan dengan SKB 3 Menteri (Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP – 003/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008, tentang: Peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jjemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan warga masyarakat.

Dalam 7 diktum SKB 3 Menteri sama sekali tidak ditemukan pelarangan perihal peribadahan dan kegiatan JAI di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Tasikmalaya. Untuk itu, dia berharap surat edaran tersebut dicabut.

"Meminta Bupati Garut segera mencabut Surat Edaran yang melarang aktivitas dan pembangun Masjid JAI di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, serta menghentikan segala bentuk pelanggaran dan atau pembatasan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah," dia mengatakan.

Ipan juga meminta Bupati Garut untuk fokus menangani Covid-19, bukan menyebarkan virus yang bisa menyulut kebencian di tengah-tengah masyarakat dengan berusaha menutup masjid Ahmadiyah dan melarang kegiatannya.

Sementara itu, Koordinator Ikatan Mahasiswa Garut (IMG) Ishak Mubarok mengatakan Surat Edaran yang baru saja terbit di Kabupaten Garut ini menambah daftar panjang produk kebijakan intoleran yang dibuat pemerintah daerah.

"Hal ini akan menurunkan juga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan Bupati Garut dalam mengatasi musibah yang sedang urgen untuk segera diselesaikan, yakni mewabahnya virus Corona," kata Ishak.

Untuk itu, dia meminta Pemkab Garut melalui Bakorpakem mengedepankan dialog yang baik dan bermartabat agar terbangun kesepahaman yang baik juga, sehingga hak-hak kewarganegaraan jemaat Ahmadiyah Indonesia terlindungi sesuai konstitusi.

Desak Bupati Garut Cabut Surat Edaran

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Menanggapi penghentian dan penyegelan pembangunan masjid milik warga Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat oleh pemerintah kabupaten, Usman mengatakan, penghentian pembangunan masjid ini jelas melanggar hak warga Ahmadiyah untuk menganut agama dan beribadah sesuai kepercayaannya, hak yang dilindungi oleh hukum hak asasi manusia internasional dan konstitusi Indonesia.

"Kami mendesak Bupati Garut untuk segera mencabut segel di masjid tersebut dan mengizinkan warga Ahmadiyah untuk membangun rumah ibadah dan beribadah sesuai dengan keyakinan mereka, dan membantu melindungi warga Ahmadiyah dari intimidasi dan kekerasan," dia menegaskan.

Menurutnya, kejadian ini menambah daftar panjang perlakuan diskriminatif dan intoleran terhadap komunitas Ahmadiyah di Indonesia. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri 2008 tentang Ahmadiyah sering digunakan oleh pemerintah-pemerintah daerah sebagai pembenaran untuk membuat aturan atau kebijakan yang diskriminatif seperti ini. Kami juga mendesak pemerintah pusat untuk segera mencabut SKB tersebut.

"Pemerintah harus mengambil langkah-langkah efektif untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok minoritas dilindungi dan dapat mempraktikkan keyakinan mereka secara bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan," dia menandaskan.

Putri Gusdur Kecam Tindakan Bupati Garut

Putri Sulung Gus Dur, Alissa Wahid
Putri Sulung Gus Dur, Alissa Wahid. foto: Instagram @alissa_wahid

Kejadian ini juga menuai komentar dari Koordinator Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid. Putri sulung Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid ini menilai, tindakan Pemkab Garut sangat bertentangan dengan konstitusi dan merupakan bentuk diskriminasi yang menodai asas keadilan.

Menurutnya, jemaah Ahmadiyah kerap menjadi sasaran penyerangan baik oleh pemerintah atau pun kelompok vigilante karena dianggap menyimpang. Padahal, konstitusi menegaskan bahwa negara harus melindungi warganya untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.

Ada tujuh poin sikap Jaringan GUSDURian terhadap kejadian ini. Pertama, mengecam tindakan sewenang-wenang Pemkab Garut yang menutup paksa masjid Jemaah Ahmadiyah.

Kedua, meminta agar Pemkab Garut mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat ibadah, bukan justru menutupnya. Pemkab juga harus memfasilitasi perlindungan bagi warga Ahmadiyah agar bisa menjalankan ibadahnya dengan aman dan nyaman.

"Bupati Garut sebagai representasi negara harus menjalankan amanat konstitusi, melindungi dan menghormati hak asasi manusia termasuk kebebasan (kemerdekaan) beragama dan berkeyakinan setiap warga negara," kata Alissa dalam keterangan resminya.

Ketiga, meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut SKB 3 Menteri No 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat yang rawan disalahgunakan untuk melakukan tindakan inkonstitusional terhadap penganut Ahmadiyah.

"Selain itu, pemerintah perlu mencabut SKB 2 Menteri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah karena menyebabkan banyaknya rumah ibadah yang dipaksa tutup," dia melanjutkan.

Keempat, meminta Gubernur Jawa Barat merevisi atau bahkan mencabut Pergub Nomor 12 tahun 2011 yang mencederai semangat kebebasan beragama dan berkeyakinan. Gubernur harus menjamin warganya untuk bisa beribadah sesuai agama dan keyakinan sebagaimana amanah konstitusi.

Kelima, meminta tokoh agama untuk mengedukasi umatnya untuk menjaga semangat keberagaman sebagai sunnatullah. Apalagi sejak tahun 2020 Kementerian Agama RI melakukan berbagai langkah moderasi beragama guna menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih harmonis.

Keenam, dia melanjutkan, mengajak segenap masyarakat untuk menjaga kehidupan yang bermartabat, adil, dan harmonis. Perbedaan bukanlah alasan untuk membenci atau bahkan menyakiti satu sama lain.

Ketujuh, mengajak seluruh keluarga besar Jaringan GUSDURian untuk terus merawat semangat kebinekaan dengan melakukan berbagai promosi toleransi yang berasaskan keadilan di berbagai ruang.

"Sebagaimana pernah diungkapkan Gus Dur bahwa perdamaian tanpa keadilan merupakan ilusi," dia memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya