Adat Terpatri, Hutan Lestari (I)

Hutan Adat Guguk seluas 690 hektare itu berada di Desa Guguk, Kecamatan Renah Pembarap, Merangin, Jambi. Keberadaan hutan hujan tropis dengan vegetasi tutupan yang masih bagus ini dibentengi oleh adat. Bagaimana adat menjaga hutan ini. Simak liputannya.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 20 Mei 2021, 12:15 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2021, 06:00 WIB
Hutan Adat Guguk
Bukit Tepanggang di kawasan Hutan Adat Guguk di Desa Guguk, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Jambi. Hutan hujan tropis dengan vegetasi tutupan yang masih bagus ini dibentengi oleh adat. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Mentari mulai merangkak naik di wilayah Hutan Adat Guguk, Kabupaten Merangin, Jambi. Sinarnya pagi itu menyusup di sela-sela dedaunan pohon rindang menjulang. Membuat suasana begitu sejuk dan segar.

Sinar matahari menjadi tanda baik kali ini. Sebab, sudah sepekan memasuki awal bulan April 2021, terik matahari di Merangin menjadi barang langka. Sinarnya sering tertutup awan mendung. Daerah kabupaten ini juga sering diguyur hujan saban hari dalam sepekan terakhir.

"Hari ini cuacanya bakal cerah," kata Pengurus Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA) Guguk Jambi, Anshori, ketika membawa Liputan6.com memasuki Hutan Adat Guguk.

Perihal hari cerah itu diramal Anshori. Di tengah perjalanan, ia hanya cukup melihat sebuah tanda alam yang berasal dari koloni semut yang bergerak di tengah jalur yang kami lalui.

"Kalau semutnya bergerak tandanya bakal cerah," begitu Anshori meramal cuaca hari itu. Lelaki tua ini tampak serius dengan kata-katanya.

Sebagai seorang tetua adat di kampung, sekaligus pengurus KPHA Guguk, Anshori memang sudah tak asing lagi dengan tanda-tanda alam yang bakal terjadi di hutan. Pun ia sudah tak terhitung lagi berapa kali keluar masuk ke Hutan Adat Guguk, sehingga paham betul dengan seluk-beluk hutan ini.

Mengenakan sandal jepit merah, kaki Anshori melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang menanjak di hutan belantara. Anshori yang berada di depan, sesekali langkahnya berhenti. Ia lalu mengayunkan goloknya, menebas ranting yang menghalangi jalan.

Butuh tenaga ekstra menuju ke atas bukit. Lintasannya amat terjal dengan tanjakan kemiringan lebih dari 60 derajat. Di jalur ini kami harus menaiki 886 anak tangga yang dibuat pengurus hutan adat. Sesekali jalur yang dilewati berada di sisi jurang curam.

Kami berjalan dari arah utara menuju ke arah selatan Bukit Tepanggang Hutan Adat Guguk. Konon penamaan Bukit Tepanggang, dahulu kala cerita Anshori, bukit ini mengeluarkan bara laksana panggang.

Bukit tersebut adalah puncak tertinggi di lanskap Hutan Adat Guguk, dengan tinggi mencapai 1.200 mdpl (meter di atas permukaan laut). Dari bukit ini bentangan hutan dan perkampungan Desa Guguk dari atas bisa diamati.

Sampai di titik pemberhentian pertama, kami rehat sejenak. Kami sudah memasuki kawasan hutan primer dengan tutupan pohon yang masih apik. Di tengah pemberhentian itu, Anshori dengan suara pelan memberi sinyal yang dilewati tadi adalah lintasan satwa.

"Itu tadi lintasan datuk belang (Harimau Sumatera). Tapi tidak apa-apa enggak usah takut, niat kita baik tidak mengganggu dan merusak," ujar Anshori meyakinkan.

"Di tempat yang kita berhenti tadi itu sebulan yang lalu ditemukan jejak kaki datuk belang," sambung Anshori.

Hutan Adat Guguk merupakan hutan hujan tropis dengan vegetasi belantara yang masih tertutup rapat. Meski hutan ini seluas 690 hektare, namun hutan ini menjadi salah satu menjadi penyangga hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di lanskap Bukit Barisan.

Di hutan ini banyak ditumbuhi tanaman jenis paku-pakuan dan palem. Pepohonan berumur ratusan tahun masih banyak ditemukan di hutan ini. Pohon diamater besar yang masih terjaga di hutan ini menjadi tempat bersarang Rangkong Gading, burung langka nan eksotis yang dilindungi.

Di antara shelter II, sebelum tiba di shelter III, semacam tempat pemberhentian, terdapat bukit gambut. Di sinilah lokasi tepat untuk mengamati pepohonan besar yang berumur ratusan tahun. Hanya sepelemparan batu dari shelter II terdapat lokasi sumber benih pohon meranti sapat.

Anshori berjalan menuju ke pohon jenis mersawa (Anisoptera spp) berukuran sangat besar. Pohon ini berumur ratusan tahun dan memiliki diameter sekitar 2,5 meter, dengan ukuran keliling 9 meter dan tinggi sekitar 30 meter. Di Desa Guguk pohon mersawa ini memiliki nama kampung, temenam.

"Saking besarnya butuh tujuh orang untuk meluk lingkaran pohon ini," kata Anshori sembari memeluk pohon itu, tapi tak sampai.

Hasil survei yang dilakukan kelompok pengelola hutan adat yang dibantu Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, di hutan ini terdapat 84 jenis kayu. Di antaranya, kayu jenis kelas tinggi seperti pohon balam (Shorea spp), meranti (Shorea spp), kelapa tupai dan tembesi (Diospyros spp), mersawa (Anispotera spp).

Selain jenis pohon, beberapa jenis buah hutan, seperti tampoi, bidaro, ambacang hutan, dan rambutan hutan juga masih bisa ditemukan. Berdasarkan aturan adat, pohon di dalam hutan adat itu tak boleh ditebang sembarangan. Jika menebang sebatang pohon pun akan dikenakan sanksi adat pasti menanti.

Sanksi adat sampai sekarang masih diterapkan untuk orang yang sembarangan menebang kayu dan berambah hutan adat. Sanksinya yakni membayar denda berupa satu ekor kerbau, beras 250 gantang, 100-200 butir kelapa serta aneka bumbu dapur yang mereka sebut dengan selemak semanis.

Selain sanksi terberat, juga ada denda yang ringan berupa sanksi denda membayar satu ekor kambing dan 20 gantang beras. Sanksi ini diberlakukan bagi masyarakat yang mengambil buah-buahan, yang menebang atau merusak pohon. Di hutan adat itu, buah-buahan diambil asal pohonnya tidak dirusak.

“Hutan adat ini dibuat untuk dititipkan kepada generasi anak cucu yang akan datang, dan juga untuk hidup satwa di dalamnya, jadi tidak boleh dirusak,” kata Wakil Ketua KPHA Guguk Razali.

Aturan adat yang diwariskan turun-temurun di Desa Guguk menjadikan warganya bersahaja bersama hutan. Sampai sekarang hutan tersebut masih lestari dan masyarakatnya guyub menjaga hutan.

Meski hanya memiliki luasan 690 hektare itu, namun Hutan Guguk menjadi habitat yang penting untuk keberlangsungan satwa di dalamnya, termasuk untuk satwa yang sudah terancam punah.

Anshori mengatakan, tim patroli pernah menghabiskan waktu sampai tiga hari tiga malam menjelajah hutan seluas 690 hektare itu. Mereka menyusuri belantara, naik-naik turun bukit, dan melewati jurang dan sungai.

Dalam pendataan yang dilakukan mereka, di dalam hutan itu juga terdapat lebih dari satu sungai yang bermuara ke sunga besar Batang Merangin, di antaranya adalah sungai betung, nilo. Di dalam hutan ini juga terdapat Air Terjun Muara Betung.

Keindahan air terjun itu terlihat dari bebatuan yang disapu gerojogan air, sehingga membentuk kolam renang bertingkat. Airnya jernih, berkecup-ciup dengan air Batang Merangin, Jambi. Aliran air deras itu berirama selaras dengan nyanyian keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan.

Simak video pilihan berikut ini:

Keragaman Hayati Hutan Adat Guguk

Infografis Keragaman Hayati Hutan Adat Guguk
Infografis keragaman hayati Hutan Adat Guguk. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Keberadaan salah satu lanskap hutan hujan yang menjadi harapan itu, kini memberi cerita anyar. Sedari dulu masyarakat Desa Guguk tak eksploitatif dan bijak mengelola hutannya. Masyarakatnya guyub menjaga hutan agar lestari.

Hutan Adat Guguk terletak di Desa Guguk, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Jambi. Lokasinya persis berada di seberang sungai Batang Merangin. Bukit di hutan itu terlihat menjulang dari perkampungan Guguk.

Akses masuk ke hutan melewati jembatan gantung sepanjang 100 meter. Di bawahnya air sungai Batang Merangin mengalir deras. Gemuruh airnya memanjakan telinga. Sesekali suara gemuruh air deras itu berpadu dengan deru mesin perahu warga yang hilir mudik mencari batu kali.

Semakin masuk ke kawasan hutan, keanekaragaman hayati di hutan adat yang masih amat terjaga itu terpampang, terutama untuk satwa endemik di Sumatera. Dua lembaga nirlaba--Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan Zoological Society of London (ZSL) pernah memasang kamera jebak untuk mengintai habitat satwa di sana.

Kamera jebak (camera trap) yang dipasang di Bukit Tepanggang Hutan Guguk itu merekam keberadaan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan panjang tubuh 1,5-2 meter.

Kamera jebak untuk penelitian yang dipasang di lima titik itu juga merekam 22 jenis mamalia seperti kijang muncak, tapir sumatera (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malaynus), kijang muncak, landak raya, kucing batu, dan satwa primata seperti beruk dan simpai.

Hutan Guguk berdasarkan hasil penelitian kedua lembaga itu merupakan habitat primata siamang. Hutan itu juga menjadi habitat bagi 89 jenis burung dengan di antaranya 37 jenis burung dilindungi seperti rangkong gading (Baceros vigil), kuau raja (Arguasianus argus).

Dua ekor Burung Kuau Raja di Hutan Adat Guguk tertangkap kamera trap(Liputan6.com/http://hutanadatguguk.weebly.com)

Kini hutan adat menjadi destinasi ecowisata dan spot penelitian. Warga di Desa Guguk mengajarkan cara agar manusia hidup berselaras dengan alam. Cara ini yang tak kalah penting juga untuk memberikan rumah bagi satwa di dalamnya.

Matahari sudah tinggi. Kami masih berjalan bembelah belantara. Dari arah lain terdengar suara burung Kuau Raja. Suara kicau burung yang dijuluki sebagai Merak Sumatera itu terdengar dari seberang jurang di Bukit Tepanggang.

Suaranya nyaring terdengar sampai ditelinga kami. Anshori pun coba menirukan bunyi kicau burung eksotis itu.

"Ku-wau, ku-wauu…," begitu Anshori menirukan.

"Itu suara yang jantan memanggil burung betia, dia (burung jantan) kasih isyarat mau kawin dengan betina," kata Anshori.

Anshori mengaku sering kali berjumpa dengan burung Kuau Raja itu di alam Hutan Guguk. Burung itu, kata dia, rupanya sangat elok seperti merak. Bulu-bulu dan sayapnya membentuk kipas. Burung ini memiliki bobot yang cukup besar, sehingga ia tidak bisa terbang jauh dan lebih banyak berjalan di alas.

Anshori bilang, burung Kuau Raja memiliki indra penciuman dan pendengaran yang tajam, sehingga jarang terlihat. Burung ini juga punya kebiasaan membuat sangkar di permukaan tanah.

Dalam status konservasi yang dirilis International Union for the Conservation of Nature (IUCN) Red List, burung kuau raja statusnya adalah Near Threatened (terancam punah). Burung ini juga tercantum dalam Apendiks II CITES (Convertion on International Trade in Endangered).

Anshori mengatakan, hutan adat selain untuk generasi anak cucu, juga sangat berguna untuk rumah satwa dan makhluk hidup di dalamnya. Kehidupan di dalam hutan harus dilindungi, sehingga manusia guyub, alam, dan isinya lestari.

"Satwa-satwa di hutan ini perlu kita lindungi. Kalau rumahnya dihancurkan nanti bakal menjarah masuk kampung, jadi kita perlu selamatkan rumah (hutan) mereka," kata Anshori.

Hutan terpatri dalam petuah adat mereka. Dalam menyelamatkan hutan dan isinya itu, masyarakat Desa Guguk senantiasa masih memegang teguh adat.

Adat menurut Anshori, tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dengan menyelerasakan adat, mereka ingin meninggalkan sesuatu bermanfaat dan berguna untuk generasi berikutnya.

Selain itu, masyarakat di sana juga selalu mengaktualisasikan seloko adat dalam kehidupan sehari-hari. Seloko adat ini menurut Anshori, adalah sebuah falsafah dan tatanan hidup bagi masyarakat.

Seloko adat di sana berkaitan berkaitan dengan petuah-petuah bagaimana menjaga alam. Dengan semangatnya Anshori, langsung berseloko di dalam hutan.

"Bak napuh di ujung tanjung, hilang sekok beganti sekok. Patah pua jelupung tumbuh."

Seloko yang diutarakan Anshori ini memiliki arti bahwa orang tua harus mewariskan sesuatu untuk kelangsungan hidup bagi masyarakat, anak, keponakan, dan cucu mereka nanti.

"Kalau yang tua meninggal harus ada yang diwariskan. Ya warisannya yang bisa diberikan itu salah satunya adalah alam, hutan, dan isinya yang lestari," ucap Anshori.

Menurut Manajer Komunikasi KKI Warsi Sukmareni Rizal, cara warga Desa Guguk berkompromi dengan alamnya itu bertanda kearifan budaya dan adat mereka belum tercerabut dari akarnya. Adat yang kuat dikelola masyarakat terbukti mampu melindungi kawasan hutan mereka.

Leluhur mereka sedari lampau telah erat mengajarkan menjaga hutan. Nilai-nilai adat itu terus diwariskan kepada generasi di Guguk selanjutnya. Mereka sadar ketika hutan itu tidak dikelola dengan baik, maka mereka juga yang akan merasakan dampaknya kelak.

"Masyarakat Guguk punya nilai historis adat yang sangat panjang, dan ini (adat) sudah dijalankan sejak lama untuk menjaga hutan," ujar Sukmareni.

 

Riwayat Hutan Adat Guguk

Pohon Besar di Hutan Adat Guguk
Anshori memeluk pohon jenis Mersawa (Anisoptera spp) yang memiliki diameter besar. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Guguk adalah desa tua di Jambi. Desa ini sudah berdiri sebelum zaman kolonial Belanda. Desa itu dulu dikenal dengan nama dusun Pelagai Panjang. Menurut cerita pengurus Lembaga Adat Guguk Anshori, masyarakat Desa Guguk merupakan keturunan dari Mataram dan Minangkabau.

Moyang masyarakat Guguk yang berasal dari Mataram adalah tiga orang perempuan: Panetih Lelo Majnun, Panatih Lelo Baruji, dan Panatih Lelo Majanin. Sedangkan, dari garis Minangkabau diturunkan oleh tiga orang laki-laki, yaitu Syech Rajo, Syech Beti, dan Syech Saidi Malin Samad.

Jauh sebelum penjajahan Belanda, hutan adat mereka sudah diakui oleh Kesultanan Jambi di masa Sultan Anom Sri Mogoro pada tahun 1749 masehi. Pengakuan itu termuat di dalam piagam Lantak Sepadan. Tanah atau wilayah yang disebutkan dalam piagam itu disebut juga tanah Depati atau Tanah Batin.

Aturan-aturan pemanfaatan hutan sejak dulu tertuang dalam bentuk piagam. Salah satu bunyi piagam itu yang sudah diterjemahkan adalah “Satu tetes airnya, satu bingkah tanahnya, satu ekor ikannya adalah milik masyarakat adat daerah tersebut… Ke air sama-sama dapat ikan. Ke darat sama-sama dipaomo.”

"Artinya itu kita boleh memanfaatkan hutan, tapi dengan catatan tidak boleh merusaknya," kata Anshori.

Anshori membawa ingatannya ke peristiwa dua dekade silam. Peristiwa yang terjadi pertengahan 1999 itu membuat warga Guguk kelimpungan dan resah. Tanpa dinyana sebuah perusahaan, Injapsin datang mengeksploitasi hutan mereka di wilayah Desa Guguk.

Perusahaan yang memegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH)--patungan antara Indonesia, Jepang, dan Singapura, itu memasang patok dan menerobos tapal batas hingga ke wilayah Hutan Marga Pembarap, yang meliputi Desa Guguk, Parit Ujung Tanjung seluas 1.500 hektare.

"Saya waktu itu melihat sendiri patok-patok perusahaan dipasang di hutan kami ini," ucap Anshori mengenang peristiwa itu.

Kayu-kayu di hutan itu dieksploitasi. Keadaan kala itu menjadi genting, ketika staf perusahaan menangkap warga setempat yang masuk ke hutan. Pertemuan masyarakat dan perusahaan untuk menyelesaikan masalah ini semakin sulit.

Namun masalah tersebut akhirnya dapat diselesaikan di Bangko Merangin. Dinas Kehutanan membuktikan bahwa peta yang digunakan oleh perusahaan salah. Terbukti perusahaan salah karena telah menerobos hutan adat.

Masyarakat pun menuntut perusahaan membayar denda adat. Perusahaan harus membayar denda berupa seekor kerbau, 100 gantang beras (320 kilogram), 100 butir kelapa, termasuk selemak semanis (bumbu dapur). Perusahaan juga harus membayar uang sebesar Rp42 juta sebagai uang bina desa.

Peristiwa yang terjadi pada dua dekade lalu itu, ternyata menjadi titik awal masyarakat Guguk berjuang untuk memperoleh hak pengakuan atas hutan adat mereka. Setelah melalui perjuangan panjang, hasilnya pada tahun 2003, Bupati Merangin ketika itu Rotani Yutaka menetapkan wilayah Hutan Adat Guguk seluas 690 hektare. Hutan ini menjadi hutan adat pertama di Kabupaten Merangin.

Setelah mendapat pengakuan dari pemerintah, sejak saat itu pula dibentuk lembaga pengelola hutan adat. Kemudian dirumuskan aturan-aturan adat dan sanksi dalam penerapannya.

Dalam perjalannya setelah ditetapkan hutan adat, Wakil Ketua KPHA Guguk Razali mencatat selain perusahaan, lembaga adat telah menjatuhkan sanksi berat terhadap dua perkara perambahan hutan.

Pada tahun 2014 silam, seoarang warga Kecamatan Muara Siau dikenakan sanksi adat. Dendanya sama seperti yang dijatuhkan perusahaan. Pelaku atas nama Bambang itu kedapatan oleh tim patroli merambah Hutan Guguk seluas 1 hektare.

Sanksi adat masih terus diterapkan bagi pelaku yang menebang pohon. Terbaru pada 1 September 2020, lembaga adat menggelar sidang adat terhadap seorang warga dari Desa Durian Betekuk.

Kejadian itu berawal dai kecurigaan masyarakat Guguk yang tinggal di tepi sungai Nilo. Sungai yang tadinya jernih, tiba-tiba menjadi kerus dan terdapat potongan kayu yang dihanyutkan.

"Pelaku menebang kayu untuk digunakan sebagai penopang alat untuk penambangan emas ilegal atau PETI," kata Razali.

Akibat perbuatannya itu pelaku dijatuhkan sanksi berupa seekor kerbau, beras 250 gantang, dan 200 butir kelapa serta bumbu dapur. Denda itu diserahkan dan dilakukan pemotongan. Seluruh sajian hasil denda telah tersusun dengan rapi di balai adat. Pelaku juga diundang dalam sidang adat itu.

“Kita akan bermaafan dengan inyo (kamu), dan sekarang juga menjadi bagian masyarakat Guguk,” kata Datuk Syamsudin, Ketua Lembaga Adat Desa Guguk pada acara sidang adat itu pada Selasa 1 September 2020.

Pelaksanaan sidang adat itu memperlihatkan adat yang dimiliki masyarakat Guguk begitu sangat kokoh membentengi hutan mereka. Sampai sekarang pun masyarakat Desa Guguk yang tinggal di sekitar hutan hidup secara bijaksana memberlakukan hutan.

Selain itu, masyarakat hukum adat di Desa Guguk masih meneruskan nilai-nilai adat kepada generasi berikutnya. Penguatan nilai adat ini dilakukan setahun sekali melalui ritual "makan jantung" atau memotong kerbau setiap tanggal 2 Syawal atau lebaran kedua.

"Saat tradisi ritual 2 Syawal ini piagam kesepakatan Lantak Sepadan selalu diturunkan oleh lembaga adat," kata Anshori.

Sementara itu, menurut Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Jambi Bambang Irawan, sejarah dan proses peradaban manusia jaman dulu tidak bisa dipisahkan dari hutan untuk memenuhi kebutuhannya.

Manusia zaman dulu kata dia, lebih arif memanfaatkan hutan. Pola ini pun berubah sekarang ini, dan manusia eksploitatif memanfaatkan hutan. Namun menurut Bambang, beruntung masih ada masyarakat adat yang masih mempertahankan hutan lewat mekanisme hutan adat.

Bambang mengatakan, konsep hutan adat menjadi harapan dalam benteng pertahanan hutan. Dibandingkan dengan pengelolaan hutan dengan skema lain yang dikelola negara, hutan adat lebih memberikan jaminan untuk lestari.

"Hutan adat dilindungi aturan adat yang ketat, di masyarkatnya juga ada kearifan lokal, yang kemudian ini memberikan jaminan atau prosedur pengelolaan lebih lestari dibandingkan pengelolaan hutan yang lain," ujar Bambang.

Hutan Adat Guguk duduk terselip dalam rentang Bukit Barisan Sumatera. Keberadaannya memang masih asing di telinga dan jauh dari sorot mata. Sampai kini, hutan ini tak pernah sepi dari nyanyian satwa penghuni di dalamnya. Dan yang lebih penting hutan ini mengajarkan bagaimana manusia memperlakukan hutan di dekatnya secara bijak. (Bersambung)

*Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund, Pulitzer Center

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya