Liputan6.com, Tasikmalaya Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua terakhir di tanah air, memberikan hikmah tersembunyi bagi Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera di Kampung Karanganyar Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat untuk bangkit.
“Kita mulai mendapat bantuan dari PGE Karaha karena ada masalah pandemi (Covid-19) ini, dan sampai sekarang kami jadikan modal yang ada di kelompok kami itu (Bantuan),“ ujar Holib, 49 tahun, Ketua Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera, dalam obrolan hangatnya dengan wartawan beberapa waktu lalu.
Menurut Holib, rontoknya usaha serta sulitnya modal akibat Covid-19, tak membuat kelompok itu sirna. Bantuan CSR PGE Area Karaha yang datang tepat waktu satu awal tahun ini, akhirnya pembuka keberlangsungan usaha mereka.
Advertisement
“Jadi memang masa pandemi ini ada berkahnya juga,” ujar dia dengan senyum hangatnya, mensyukuri hadirnya suntikan modal bagi keberlangsungan usaha mereka.
Baca Juga
Maklum selama ini, bantuan modal usaha mereka banyak bergantung dari uluran tangan pengepul, dengan perjanjian yang disepakati kedua belah pihak. “Jadi kalau mereka ada pesanan, untuk bahan baku dikasi dulu pinjaman,” kata dia.
Namun perlahan pasti masuknya bantuan permodalan dari CSR Pertamina, terutama saat pandemi Covid-19 berlangsung, mampu mengairahkan usaha tenun sutera yang selama ini menjadi garapan mereka.
“Awalnya untuk modal kerja membeli benang, benangnya dikelola kelompok, dikasi dulu ke anggota nanti produksi kainnya dikumpulin sama kelompok,” papar dia.
Bahkan seiring meningkatnya permintaan benang sutera, para anggota secara sukarela mulai menyisihkan sebagian pendapatan mereka sebagai uang kas kelompok. “Nanti saat ada kebutuhan benang lagi kita beli dari kelompok, dan sekarang masih berjalan,” kata dia.
Bagi Holib dan kelompoknya, sebelum masuknya bantuan pertamina, masa pandemi Covid-19 seakan kiamat bagi usaha mereka. Selain permodalan yang masih bergantung dari pengepul, permintaan benang pun turun drastis. “Pasar masih ada tapi memang sangat terbatas,” kata dia.
Tak ayal kondisi itu langsung menggerus keberlangsungan usaha para anggota kelompok di kampung itu. “Awalnya ada 6 unit jalan sekarang hanya 3 unit, kemudian dari tiap unit hanya berjalan satu dua orang,” ujar dia merinci dampak Covid-19 bagi usaha mereka.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Dilirik Desainer Terkenal
Seiring masuknya suntikan pemodalan, geliat usaha kelompok kembali tumbuh. Permintaan kain sutera dengan motif yang dibuat kelompok, kembali datang seiring membaiknya perekonomian masyarakat.
“Motif kain itu sesuai dengan kebutuhan mereka, awalnya bikin kain sulam, kita lempar ke pasar, setelah diterima baru mereka memesan,” kata dia.
Saat ini ada empat jenis motif kain sutera yang dibuat kelompok, yakni motif sulam, motif bulu, motif organdi hingga motif bulu batang. “Rata-rata paling banyak dipesan motif bulu, karena harganya lumayan murah sekitar Rp600-700 ribu per satu lembar kain,” kata dia.
Namun meskipun demikian, tidak sedikit kalangan tertentu yang fanatik terhadap motif tertentu seperti batik sulam yang terbilang sulit, kerap dilayani sesuai pesanan mereka.
“Maklum konsumen kita rata-rata orang yang menengah ke atas, idealismenya tinggi, jadi kalau pakai sutera, sutera terus, atau batik pasti batik terus,” kata dia.
Ihwal harga, ragam kain sutera yang dihasilkan kelompok ujar dia, dijual cukup beragam mulai Rp650 ribu hingga jutaan rupiah per helai kain ukuran panjang 2,5 meter dan lebar 1,15 meter.
“Yang paling mahal jenis batik sulam satu setelnya kalau konsumennya suka sama motifnya bisa sampai Rp6 juta, tapi rata-rata Rp4 juta,” kata dia.
Untuk wilayah pemasaran ujar dia, pesanan paling banyak saat ini masih menuju ibu kota Jakarta. Beberapa desainer terkenal tanah air saat ini sebut saja Itang Yunaz, Hari Ibrahim dan lainnya, masih setia menggunakan ragam motif produk Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera itu.
“Produk kita yang paling banyak dipakai (Jakarta) jenis organdi, ada desainer di Jakarta itu yang pasarnya sampai ke luar negeri, kita hanya mengirim bahan ke sana,” kata dia.
Holib mengaku, jika dibanding masa normal sebelum pandemi, pendapatan yang diperoleh saat ini turun drastis. “Sebelumnya omset per kelompok per dua minggu bisa sampai 15 juta per, kalau sama anggota lainnya bisa sampai 60 jutaan, sekarang per dua minggu Rp 5 juta saja susah,” papar dia.
Namun meskipun demikian masuknya modal usaha yang diperoleh dari perusahaan energi plat merah itu, diharapkan menjadi mesin penggerak usaha mereka. “Kita (sebelum modal datang) turunnya 70 persen lebih,” ujar dia.
Advertisement
Mengenal Budidaya Ulat Sutera
Holib menyatakan saat ini mayoritas kebutuhan benang kain di tanah air, masih didominasi kain impor yang berasal dari Jepang dan Cina. Padahal jika melihat letak geografis, iklim Indonesia cocok untuk budidaya ulat sutera.
“Kami sudah memulai budidaya ulat sutera di lahan seluas 3 hektar, Alhamdulillah hasilnya menggembirakan bisa menghasilkan benang sutera produk kami sendiri,” kata dia.
Holid mengakui, meskipun menjanjikan dengan nilai jual tinggi, budidaya ulat sutera memang tidak mudah, selain luasan lahan tanaman murbai sebagai makanan ulat yang mencukupi, juga dibutuhkan pakan daun murbei yang melimpah.
Selain itu, siklus budidaya ulat sutera yang hanya 30 hari, memaksa petani untuk tetap menyediakan pakan daun murbai yang cukup bagi ulat, sebelum melakukan proses metamorfosis menjadi kepompong.
“Belum juga ulat sutera kecil tidak tahan terhadap bau-bauan, misalnya bau rokok dan parfum,” kata dia.
Saat ini dari satu boks berisi 25 ribu butir telur, mampu menghasilkan sekitar 38-40 kg kokon (kepompong) ulat sutera yang akan dijadikan benang sutera, dengan kebutuhan pakan berkisar 600 - 850 kg daun murbei.
Sementara untuk urusan harga kokon atau kepompong di pasaran, dijual berkisar di angka Rp.50.000-Rp.70.000 per kilogram, dengan modal awal di kisaran Rp. 400.000 untuk satu kali siklus budidaya. “Minimal dalam setahun bisa dilakukan 8-10 kali pemeliharaan,” papar dia.
Sekilas CSR Pertamina
Area Manager Pertamina Geothermal Energy (PGE) Karaha Andi Joko Nugroho mendukung penuh ihtiar usaha yang dilakukan kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera, dalam melestarikan alam melalui budidaya alam ulat sutera.
Hal itu sejalan dengan konsep konsep hijau yang diusung perusahaan dalam menyediakan energi bagi negeri. “Melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL / CSR) perusahaan senantiasa secara konsisten mengembangkan lingkungan dan masyarakat berdasarkan potensi sumber daya yang tersedia sesuai kearifan lokal," ujar dia.
Dalam prosesnya pembinaan yang dilakukan PGE Area Karaha terintegrasi dari hulu hingga hilir. Dimulai pendampingan dalam budidaya ulat sutera termasuk penyiapan lahan, penyediaan bibit murbei unggulan, pemeliharaan rumah ulat sutera hingga peremajaan peralatan pengokon.
Hingga pembinaan peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok, peremajaan peralatan tenun, pelatihan teknik pewarnaan, dan branding produk. “Selama masa pandemi berlangsung kami juga memberikan bantuan berupa bahan baku benang sutera dan berbagai kesempatan promosi produk,” kata dia.
Sepanjang tahun 2021 CSR PGE Karaha fokus pada program pemberdayaan masyarakat yang diharapkan mampu mewujudkan pengembangan sumber daya manusia, sekaligus penguatan ekonomi usaha kecil dan menengah bagi masyarakat di ring 1 PGE Area Karaha dengan mengoptimalkan potensi sumber daya lokal sebaik mungkin.
Sementara secara umum, perencanaan strategis program community development perusahaan dikhususkan pada beberapa pilar; (1) Petamina Cerdas, (2) Pertamina Sehat; (3) Pertamina Hijau; (4) Pertamina Berdikari.
Advertisement