Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia Tolak Permen Ukom, Apa Itu?

Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia (HPTKes) menolak Permen Ukom.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Mei 2022, 06:46 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2022, 11:54 WIB
[Bintang] Ilustrasi mahasiswa kesehatan
Ilustrasi mahasiswa kesehatan | Via: istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia (HPTKes) menolak Permen Ukom. Mereka juga sudah menyampaikannya ke DPR pada 13 April 2022.

Permen Ukom adalah istilah untuk menyebut Permendikbud Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan.

“Ada tujuh poin pertimbangan aturan itu harus dibatalkan,” ujar Ketua Umum HPTKes Budi Djatmiko, dalam siaran persnya, Kamis (21/4/2022).

Pertama, Permen Ukom sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Nakes) memuat norma baru yang tidak memiliki landasan pengaturan dalam UU Nakes. Permen Ukom justru membentuk lembaga baru yakni Komite Nasional Uji Kompetensi.

Kedua, menurut UU Nakes, kewenangan melaksanakan uji kompetensi mahasiswa kesehatan ada pada perguruan tinggi.

“Kehadiran Komite Nasional Uji Kompetensi yang dibentuk oleh peraturan menteri (yang secara hierarki merupakan peraturan pelaksana yang berada di bawah undang-undang) justru mengambil alih kewenangan perguruan tinggi yang diatur dalam undang-undang,” ucapnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Pengambilalihan

Ketiga, meskipun Permen Ukom mengalihkan pelaksanaan uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan kepada Komite Nasional Uji Kompetensi, namun tanggung jawab penerbitan Sertifikat Kompetensi tetap berada pada perguruan tinggi.

Menurut Budi, sebagai akibat pengambilalihan kewenangan tersebut, perguruan tinggi tidak lagi memiliki andil dalam penentuan kriteria, standar, dan keluaran dari uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan.

“Perguruan tinggi hanya berperan sebatas “tukang stempel” sertifikat karena tidak lagi memiliki fungsi quality control,” ucapnya.

Keempat, Permen Ukom dianggap bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang  Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

UU Sisdiknas telah mengatur bahwa kewenangan menentukan syarat kelulusan sepenuhnya berada pada perguruan tinggi.  Sementara, Permen Ukom justru menjadi penghambat bagi perguruan tinggi untuk melaksanakan perintah undang-undang.

Kelima, uji kompetensi sebagai syarat kelulusan mahasiswa dan syarat perolehan gelar akademik adalah keliru secara filosfis dan secara fungsional tidak tepat sasaran.

“Uji kompetensi sejatinya diperlukan sebagai acuan standar kemampuan calon tenaga kesehatan ketika berpraktik,” tuturnya.

Artinya, uji kompetensi seharusnya ditujukan kepada lulusan kampus atau jurusan bidang kesehatan yang memang akan berpraktik sebagai tenaga kesehatan.

 


CBT

Keenam, hasil dari uji kompetensi dengan metode computer based test (CBT), seperti yang diatur dalam Permen Ukom hanya dapat memberikan gambaran dimensi pengetahuan (knowledge) calon tenaga kesehatan. Namun tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai kompetensi calon tenaga kesehatan secara utuh.

Ketujuh, Permen Ukom mengatur biaya ujian kompetensi merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, pengelolaan biaya ujian tersebut tidak mengikuti skema pengelolaan PNBP berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2020 tentang Pengelolaan PNBP.

Pengelolaan biaya uji kompetensi sesuai Permen Ukom justru dilakukan Pejabat Pengelola Keuangan yang ditunjuk langsung oleh Mendikbudristek melalui Keputusan Menteri yang saat ini dipegang oleh Wakil Rektor Bidang Keuangan Universitas Jember (sebelumnya dikelola oleh Wakil Rektor Bidang Keuangan Universitas Brawijaya).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya