Pawukon, Sistem Penanggalan Tradisional dalam Kebudayaan Jawa dan Bali

Ilmu ini diduga sudah hadir secara turun-temurun jauh sebelum era Hindu menyebar ke tanah air.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 10 Apr 2023, 03:00 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2023, 03:00 WIB
Penghitungan Kalender Jawa
Ahli Petung Jawa , Totok Yasmiran sedang menunjukan isi dari Serat Pawukon yang merupakan koleksi naskah kuno Museum Radya Pustaka, Solo, Kamis (27/2).(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Bali - Pawukon merupakan istilah Jawa yang digunakan sebagai patokan siklus alam. Masyarakat Jawa juga biasa menyebut pawukon sebagai 'ilmu titen manusia'.

Ilmu ini diduga sudah hadir secara turun-temurun jauh sebelum era Hindu menyebar ke tanah air. Mengutip dari surakarta.go.id, penghitungan pawukon bahkan telah digunakan sebagai dasar penyelenggaraan upacara ruwatan atau upacara penolak bala bagi raja.

Hal itu tertulis dalam 'Prasasti Lintakan (12 Juli 919 M)'. Pawukon juga digunakan sebagai patokan penentu pranata mangsa atau tata waktu. Pranata mangsa juga merupakan penentuan iklim atau cuaca.

Bukan itu saja, pawukon juga berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan manusia, seperti kelahiran, pernikahan, pendirian rumah, hingga perayaan hari besar. Selain itu, pawukon juga berkaitan dengan beragam upacara penting dan sakral, baik itu upacara adat, upacara keagamaan, maupun upacara kematian.

Penghitungan pawukon dipengaruhi dari perubahan rotasi yang terjadi dalam kurun waktu setiap 7 hari (sapta wara). Sapta wara dimulai dari hari Redite (Minggu) hingga hari Tumpak (Sabtu).

Pawukon hampir sama dengan istilah pancawara. Hanya saja, pancawara digunakan sebagai penanggalan siklus pasaran, yaitu pahing, pon, wage, kliwon, dan legi.

Terdapat 30 jumlah wuku, sehingga dalam satu rotasi wuku terdiri dari 210 hari (7 hari x 30 wuku). Dengan demikian, pawukon menjadi sistem penanggalan tradisional yang mempunyai waktu terukur.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Ini:


Masih Relevan

Hingga saat ini, pawukon masih relevan dan digunakan oleh masyarakat pendukungnya hampir di seluruh Indonesia, terutama di sepanjang Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.

Mengutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, dalam Kitab Centini yang dibuat pada era Susuhunan Paku Buwana IV menjelaskan, tiap-tiap nama pawukon memiliki tanda-tanda, sifat, dan makna tertentu. Hal itu disimbolkan melalui nama-nama dewa yang menaunginya, sehingga sifat-sifat dewa itulah yang digunakan sebagai dasar penentuan aktifitas daur hidup (kehidupan) dan kematian masyarakat.

Pawukon digunakan sebagai dasar dalam penentuan musim dengan bersandar pada tanda alam. Bagi petani, pawukon dapat digunakan sebagai dasar musim tanam, musim panen, dan jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam para petani atau yang populer disebut 'pranatamangsa'.

Bagi para nelayan, pawukon digunakan sebagai dasar melihat perubahan cuaca (angin barat dan angin timur) dan musim ikan sebagai hasil tangkapan. Secara personal, pawukon juga dapat digunakan sebagai dasar penentuan kecenderungan karakter, sifat, perilaku, dan perawakan seseorang.

Hal itu dapat dilihat melalui wuku kelahirannya. Melalui pawukon, seseorang akan bisa memahami kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya, sehingga bisa bersikap lebih baik.

(Resla Aknaita Chak)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya