Orang Arab Pernah Mengira Jamaah Haji Indonesia Suka Makan Ular

Warga Arab Saudi di masa lampau pernah salah paham terkait tindakan para jamaah haji asal Indonesia yang dianggap melakukan hal yang dilarang agama yakni makan ular.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Mei 2023, 14:24 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2023, 02:30 WIB
Ahmad Ginanjar Sya'ban, Filolog Santri dalam acara Inspirasi Ramadan 2023. (Liputan6.com/ ist)
Ahmad Ginanjar Sya'ban, Filolog Santri dalam acara Inspirasi Ramadan 2023. (Liputan6.com/ ist)

Liputan6.com, Jakarta - Warga Arab Saudi di masa lampau pernah salah paham terkait tindakan para jamaah haji asal Indonesia yang dianggap melakukan hal yang dilarang agama.

Para jamaah haji dianggap gemar memakan ular, salah satu jenis hewan yang dilarang untuk dimakan dalam Islam. Padahal, yang dimakan jamaah haji asal Indonesia adalah belut.

Kesalahpahaman tersebut akhirnya diluruskan oleh Syekh Mukhtar Athorid Bogor melalui kitabnya yang dikenal dengan judul "Kitab Belut Nusantara".

Hal itu disampaikan oleh Ahmad Ginanjar Sya'ban, Filolog Santri dalam acara Inspirasi Ramadan 2023 edisi sahur yang ditayangkan oleh akun Youtube BKN PDI Perjuangan pada Selasa (11/4/2023) dipandu oleh host Dyka Sardjoe.

"Dalam catatan kolonoial, juga yang ditulis oleh Michael Laffan tentang sejarah Islam di Indonesia pada saat zaman haji, jamaah haji asal Sunda itu suka makan jengkol, ikan asin, dan dendeng belut," ujarnyanya.

Di antara bekal itu, yang paling sering dibawa itu dendeng belut. Karena berangkat haji zaman dahulu tidak pakai pesawat, tetapi pakai kapal uap yang perjalanannya memakan waktu dua minggu sampai satu bulan.

Ginanjar menyampaikan, saat itu dendeng belut menjadi makanan favorit jamaah haji Indonesia asal Sunda di tanah Arab saat itu. Hal yang kemudian dipertanyakan warga Arab yang mengira makanan tersebut adalah ular. Ular adalah salah satu hewan yang diharamkan untuk dimakan dalam Islam.

"Timbul stigma dan kesalahpahaman saat itu di kalangan warga Arab, karena melihat bentuk makanan dendeng belut ini kan mirip seperti ular," kata Ginanjar.

 

 

 

Kitab Belut Nusantara

Kesalahpahaman yang berkembang di kalangan bangsa Arab saat itu terkait makanan jamaah haji Indonesia, dijadikan inspirasi oleh Syekh Mukhtar Athorid Bogor untuk menulis kitab berjudul Al-Shawaiq al Muhriqah yang artinya "Petir yang Menyambar terhadap Prasangka Dusta yang Salah".

Di Indonesia selanjutnya kitab ini populer dengan judul "Kitab Belut Nusantara".

Syekh Mukhtar Athorid Bogor sendiri ialah salah satu ulama Nusantara yang menjadi mahaguru para ulama internasional. Syekh Mukhtar lahir dari keluarga bangsawan di Bogor. Kakeknya ialah seorang Bupati Cianjur.

Syekh Mukhtar menjadi mahaguru dari beberapa pahlawan nasional, mulai dari KH Wahab Hasbullah, KH Ahmad Sanusi Sukabumi, KH Abdul Halim Iskandar Majalengka, hingga Syekh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama. Syekh Mukhtar Athorid wafat pada 1930.

Syekh Mukhtar dalam kitabnya menjelaskan duduk perkaranya terkait hewan belut yang disangka ular. Ini belut termasuk spesies ikan-ikanan. Beliau menjelaskan dari segi ilmu biologi dan argumentasi hukum Islam.

"Akhirnya setelah kitab ini terbit, orang-orang di Arab paham bahwa belut ini bergizi dan enak. Mereka akhirnya ikut gemar makan belut, karena di sana tidak bisa dijumpai hewan ini," ujar Ginanjar.

Menurutnya, fenomena kesalahpahaman terkait belut yang pernah terjadi di Arab menjadi pembelajaran bagi umat muslim hari ini, khususnya dalam menghadapi perbedaan pendapat.

Kaidah utama perbedaan pendapat itu tidak boleh dianggap sebagai sumber sengketa, malapetaka, tetapi perbedaan itu menjadi rahmat, kasih sayang, keluasan pandangan agama Islam.

"Kalau perbedaan pandangan kita hadapi dengan ilmu, maka itu akan menjadi rahmat untuk kita semua," pungkas Ginanjar.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya