Sejarah Tari Beksan Lawung Ageng dan Gambyong Paraenom yang Sambut Kaisar Jepang Naruhito di Keraton Yogyakarta

Kedatangan Kaisar Jepang ke Yogyakarta ini disambut dengan beksan lawung ageng dan tari gambyong pareanom.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 23 Jun 2023, 00:00 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2023, 00:00 WIB
Kaisar Jepang Naruhito
Kaisar Jepang Naruhito. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Yogyakarta - Kaisar Jepang Naruhito berkunjung ke Yogyakarta untuk melakukan kunjungan kenegaraan pada Rabu (21/6/2023). Kedatangan Kaisar Jepang ke Yogyakarta ini disambut dengan beksan lawung ageng dan tari gambyong pareanom.

Beksan lawung ageng ditampilkan saat Kaisar Naruhito sampai di Keraton Yogyakarta. Beksan lawung ageng merupakan beksan Yasan Dalem (tari karya Sultan) Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).

Tarian yang menggambarkan adu ketangkasan prajurit bertombak ini terinspirasi dari perlombaan watangan, yakni sebuah latihan ketangkasan berkuda dan memainkan tombak. Latihan tersebut biasa dilakukan oleh Abdi Dalem Prajurit pada masa lalu.

Tarian ini memiliki gerakan yang mengandung unsur heroik, patriotik, dan berkarakter maskulin. Sementara dialog di dalam tarian merupakan campuran dari bahasa Madura, Melayu, dan Jawa, yang umumnya berupa perintah-perintah dalam satuan keprajuritan.

Beksan lawung ageng merupakan bagian dari rangkaian beksan trunajaya yang terdiri dari 'lawung alit', 'lawung ageng', dan 'sekar madura'. Beksan lawung ageng sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu lawung jajar dan lawung lurah.

Sementara yang ditampilkan ke hadapan Kaisar Naruhito adalah beksan ageng bagian jajar. Beksan lawung ageng-jajar ini memiliki tiga peran, yakni jajar, botoh, dan salaotho.

Jajar adalah pangkat paling rendah dalam struktur keprajuritan yang berperan sebagai prajurit muda yang penuh semangat. Penari yang berperan sebagai jajar menggunakan ragam gerak bapang yang bersifat gagah dan ekspresif.

Adapun peran botoh terdiri dari dua penari yang masing-masing berperan sebagai Abdi Dalem pelawak. Sementara, penari yang berperan sebagai salaotho menggunakan ragam gerak gecul yang bersifat jenaka.

Selain disambut dengan beksan lawung ageng-jajar, Kaisar Naruhito juga disambut tari gambyong pareanom. Tarian ini ditampilkan saat sang kaisar sampai di Hotel Tentrem Yogyakarta.

Tari gambyong pareanom sebenarnya merupakan salah satu tarian tradisional atau tarian rakyat yang berasal dari Jawa Tengah, tepatnya Surakarta. Penamaannya pun diambil dari nama seorang penari yang terkenal pada masa itu, yaitu Sri Gambyong.

Mengutip dari kebudayaan.pdkjateng.go.id, Sri Gambyong yang populer pada abad ke-19 diundang ke Keraton Surakarta karena keluwesan dan kemerduan suaranya. Lambat laun, tarian ini dibakukan menjadi tari klasik yang ditampilkan di Keraton Surakarta.

 

Bentuk Pembakuan

Tari gambyong pareanom juga merupakan bentuk pembakuan tari gambyong yang dilakukan Nyi Bei Mintararas dari Keraton Mangkunegaran, Solo, pada 1950. Dalam perkembangannya, tarian gambyong pun disempurnakan sesuai dengan kaidah tari keraton.

Pada 1950-1993 atau sejak kemunculan koreografi tarian ini, tari gambyong pareanom pun berubah fungsi menjadi tari hiburan dan tarian penyambut tamu. Perubahan fungsi tersebut juga diikuti dengan perubahan bentuk penyajian dan jumlah penari.

Namun, tarian ini tetap menampilkan keluwesan, kelembutan, dan kelincahan penari dalam setiap gerakannya. Gerakan para penari selaras dengan ritme, khususnya pada gerak dan irama kendang yang khas.

Sementara menurut laman pariwisatasolo.surakarta.go.id, penggunaan gending pareanom sebagai alat musik pengiringnya juga menjadi salah satu alasan asal-usul penamaan tarian ini. Gerakan pada tarian ini identik dengan gerakan kepala dan tangan yang kenes dan luwes.

Para penari akan mengenakan pakaian yang kental dengan kebudayaan Jawa lengkap dengan beragam aksesorinya, seperti kemben dan sanggul. Selain itu, para penari juga harus menunjukkan ekspresi yang lembut dan anggun.

Namun, tari gambyong pareanom gaya Mangkunegaran berbeda dengan tari gambyong pareanom di luar tembok Pura Mangkunegaran. Hal itu berkaitan dengan kostum dan gerakannya.

Kostum para penari gambyong pareanom di Pura Mangkunegaran umumnya mengenakan kain wiron, mekak, sampur, dan jamang. Untuk mekak yang digunakan biasanya adalah yang berwarna hijau dengan sampur berwarna kuning.

Sementara itu, untuk kostum penari gambyong pareanom di luar tembok Pura Mangkunegaran umumnya mengenakan kain wiron, kemben, sampur, dan sanggul. Para penari ini juga dibebaskan untuk memilih warna kostum tari gambyong pareanom yang akan dikenakan.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya