Liputan6.com, Toraja Dua dari delapan tersangka dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Buntu Kunik yang terletak di Kecamatan Mengkendek, Kabupeten Tana Toraja, Sulsel kini telah menjalani proses persidangan di tingkat kasasi pada Mahkamah Agung (MA).
Kedua tersangka tersebut, yakni Enos Karoma, Mantan Sekertaris Daerah Kabupaten Tana Toraja dan Ruben Rombe Randi, mantan Camat Mengkendek. Keduanya merupakan Panitia Pengadaan Tanah atau Panitia Sembilan dalam kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bandara Buntu Kunik yang belakangan berubah nama menjadi Bandara Toraja.
"Kemarin Tim Jaksa Eksekutor Kejari Toraja sudah mengeksekusi terpidana Enos, kalau terpidana Ruben putusannya belum turun," ucap Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi ditemui di ruangan kerjanya, Jumat (4/8/2023).
Advertisement
Enos, kata Soetarmi, dalam putusan kasasi pada Mahkamah Agung tepatnya bernomor 2123 K/Pid.Sus 2023 dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan subsider.
Mahkamah Agung menjatuhkan pidana kepadanya selama 2 tahun penjara dan denda sebesar Rp50.000.000 dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
"Mahkamah Agung turut menghukumnya dengan pembebanan membayar uang pengganti sebesar Rp7.369.425.158, apabila tidak dibayar diganti dengan hukuman 1 tahun penjara," tutur Soetarmi.
Â
Berkas Perkara 6 Tersangka Lain Masih di Penyidik Polda Sulsel
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulsel, Soetarmi menyebutkan berkas perkara enam tersangka lain yang dimaksud dalam kasus korupsi pembebasan lahan pembangunan Bandara Toraja, hingga saat ini masih ditangan Penyidik Tipikor Polda Sulsel.
"Selama ini kita hanya menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terkait enam tersangka lain yang dimaksud. Berkas perkara masih di Kepolisian. Kita belum pernah memeriksa berkas perkaranya," ucap Soetarmi ditemui di ruangan kerjanya, Jumat (4/8/2023).
Ia menyebut berkas perkara enam tersangka lain dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Toraja yang dimaksud hingga saat ini belum berstatus P-21 atau dinyatakan lengkap.
"Karena itu tadi, kita sama sekali belum pernah menerima berkas perkaranya dari Penyidik Kepolisian untuk ditelaah atau diperiksa kelengkapannya," tutur Soetarmi.
Kasubdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel, Kompol Hendrawan dikonfirmasi terpisah tidak memberikan tanggapan.
Sekedar diketahui, enam tersangka lain dalam kasus korupsi pembebasan lahan pembangunan Bandara Toraja yang belum disidang hingga saat ini yakni Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy, Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang, Mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla. Mereka semua adalah bagian dari Panitia Pengadaan Tanah untuk pembangunan Bandara Toraja
Â
Advertisement
6 Tersangka Lain Wajib Turut Diseret ke Meja Hijau
Akademisi asal Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Jermias Rarsina menjelaskan, harus ada perlakuan yang sama terhadap proses penegakan hukum tindak pidana korupsi kepada seluruh komponen (Tim) Panitia Pengadaan Tanah untuk pembangunan lahan Bandara Buntu Kunik yang saat ini berubah nama menjadi Bandara Toraja setelah turunnya putusan kasasi Mahkamah Agung RI dalam perkara pidana korupsi nomor: 2123 K/Pid.Sus/2023.
Di mana, kata Jermias, dalam putusan kasasi tersebut, para terdakwanya yang adalah komponen dari Panitia Pengadaan Tanah untuk pembangunan Bandara Toraja telah dihukum pidana bersalah dan juga telah tereksekusi pemidanaannya oleh Kejaksaan Negeri Makale (Kejari Makale) Kabupaten Tana Toraja.
"Hal tersebut sesuai dengan prinsip yang dikedepankan dalam penegakan hukum yaitu asas tidak diskriminatif dan asas memenuhi rasa keadilan," ucap Jermias dimintai tanggapannya via telepon, Jumat (4/8/2023).
Ia menyebutkan perasaan para terpidana dan keluarga mereka akan tercabik oleh perilaku penegakan hukum yang sifatnya tebang pilih, bila yang diseret ke meja hijau (Pengadilan) hanya para terpidana saja tanpa melibatkan Panitia Pengadaan Tanah lainnya.
Padahal dari segi tugas dan wewenang, kata Jermias, semuanya bertanggungjawab secara hukum dan bersifat kolektif, bukan parsial terhadap keseluruhan pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah.
"Terlepas dari terbukti atau tidaknya perbuatan pidana dari enam orang Panitia Pengadaan Tanah yang lainnya dikemudian hari dalam persidangan nantinya, namun putusan kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor: 2123 K/Pid.Sus/2023 minimal dijadikan pedoman atau rujukan untuk meminta pertanggungjawaban pidana sebagai bentuk kesalahan (Schuld) dari perbuatan tiap-tiap peserta pelaku (pembuatnya) dalam kapasitas tanggung jawab bersama sebagai Panitia Pengadaan Tanah," ungkap Jermias.
Ia mengatakan, yang teramat penting lagi ada penegasan dalam surat dakwaan terdahulu dari Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada pemeriksaan berkas perkara (BAP) Kepolisian dalam hal ini Penyidik Polda Sulsel yang secara tegas dan jelas merangkaikan perbuatan Panitia Pengadaan Tanah dalam ajaran delneming (penyertaan) sebagai perluasan tanggung jawab pidana berdasarkan Pasal 55 dan/atau Pasal 56 KUH Pidana.
"Putusan kasasi tersebut secara substansi dari segi tanggung jawab pidana tidak terelakan lagi pertimbangan yuridisnya oleh Hakim Agung dalam putusan kasasi untuk dapat menarik masuk kembali enam orang Panitia Pengadaan Tanah dalam dakwaannya ke depan untuk disidangkan," ucap Jermias.
Penyidik Polda Sulsel dan Kejaksaan Tinggi Sulsel, kata dia, seharusnya membawa ke enam orang Panitia Pengadaan Tanah lainnya, sebab secara yuridis bukan berarti dengan dihukumnya dua orang Panitia Pengadaan Tanah lalu menghapus pertanggungjawaban enam orang pelaku lainnya yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan terproses di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel.
Jermias menyebutkan, secara hukum dari segi administrasi penyidikan perkara terhadap enam orang pelaku lainnya dalam kapasitas sebagai Panitia Pengadaan Tanah tidak perlu lagi diperdebatkan dan harus (wajib hukumnya) tetap berproses ke Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk dilakukan penuntutan hingga pada proses persidangan sama seperti dua terdakwa lainnya yang sekarang ini telah menjadi terpidana.
Kemudian, kata dia, sekedar mengingatkan Penyidik Polda Sulsel dan Kejati Sulsel bahwa perkara tindak pidana korupsi pengadaan tanah Bandara Toraja adalah perkara paling terlama bolak-balik berkasnya, namun sekarang ini kasus hukumnya menjadi semakin terang dengan adanya putusan perkara kasasi nomor: 2123 K/Pid.Sus/ 2023 dari Mahkamah Agung RI.
"Sehingga makin mudah penyelesaian kasus hukumnya oleh Penyidik Polda Sulsel dan Jaksa Penuntut Umum untuk membawa para pelaku lainnya ke persidangan," ujar Jermias.
Jermias mengatakan, masyarakat pasti akan bertanya tentang sikap dan moralitas penegak hukum yakni Penyidik Polda Sulsel dan Jaksa Penuntut Umum Kejati Sulsel dalam hubungannya dengan keberadaan enam orang pelaku lainnya dari Tim Panitia Pengadaan Tanah Bandara Toraja yang persidangannya belum terproses.
Pertanyaan seperti itu, kata Jermias, sudah tentunya mengenai kapan mereka atau enam orang pelaku lainnya dibawa ke meja hijau (Pengadilan) untuk disidangkan sebagai bentuk dari perbuatan tidak diskriminatif dalam penegakan hukum guna mencerminkan rasa keadilan masyarakat lebih khususnya lagi bagi terpidana dan keluarganya.
"Kalau terealisasi ke enam orang tersangka tersebut dibawa ke meja hijau (persidangan), maka sudah tentu akan ada penilaian bahwa penegakan hukum dianggap tidak tebang pilih dan telah memenuhi rasa keadilan masyarakat," Jermias menandaskan.
Â
Kronologi Panjang Kasus Bandara Toraja
Penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.
Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.
Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya. Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy, Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang, Mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla
Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.
Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.
Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.
Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp38,2 miliar.
Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum di sepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.
Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.
Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.
Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.
Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp21 miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp7 miliar lebih.
Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Provinsi Sulsel. Dari data yang dihimpun, kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.
Advertisement