Liputan6.com, Batam - Pulau Rempang merupakan salah satu pulau terbesar kedua setelah Batam di antara deretan dan gugusan pulau-pulau kecil antara semenanjung Selat Malaka dan Singapura, yang menghubungkan langsung dengan jalur sutra, jalur pelayaran Internasional.
Baca Juga
Advertisement
Jauh sebelum Pulau Rempang masuk ke wilayah admistrasi Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Rempang Galang dan Batam masuk ke wilayah ke Kesultanan Riau Lingga Johor dan Pahang.
Kala itu Pulau Rempang dan Galang sudah dihuni oleh dua kelompok Melayu yang hidupnya berpindah-pindah (nomaden), yakni Suku Laut atau Orang Laut yang hidup di pesisir dengan perahu kajangnya dan Suku Darat yang hidup dari hasil hutannya.
Hulu Sungai Sadap (Muara) yang menghubungkan dengan perairan Laut Cate, Blongkeng di Pulau Rempang menjadi persinggahan terakhir orang Suku Darat tidak lagi berpindah-pindah sehingga mereka bermukim.
Lamat Anak (Bin) Kosot salah satu penduduk asli dari Suku Darat pulau Rempang. Dia bercerita bahwa dirinya dilahirkan bersama tiga saudara bukan dalam kondisi menetap seperti yang sekarang, melainkan berpindah-pindah.
"Saya lahir di Ulu Buton, bukan di Sadap, kami 4 bersaudara, abang saya sudah meninggal, tinggal 2 lagi saudara," kata Lamat di sela-sela isapan cangklong mangtove yang berisikan tembakau, Selasa (16/1/24).
Lebih lanjut Lamat mengungkapkan bahwa yang tinggal di Kampung Ulu Sadap hanya delapan Jiwa yang tersisa. Yakni, dirinya, mertuanya bernama Senah, kemudian Yang Adek (sepupu), Opo (adik ), Tongku, Baru (anak Yang Adek), Umiaty dan Juli (keponakan Lamat).
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Profesi Suku Darat
Dari delapan orang Suku Darat yang dituakan Lamat anak (bin) Kosot (65) salah satu Suku Darat mengaku tidak begitu memamahami tentang silsilah asal-usul moyangnya terdahulu karena kedua orang tuanya tak pernah menceritakannya.
Namun Lamat bercerita bahwa dirinya sering diajak berburu dan mencari hasil hutan yang setiap harinya dan tidak menetap di suatu tempat.
"Nanti yang di luar kampung Sadap akan berbuat rumah di sini, kami berkumpul di sini," kata Lamat.
Semenjak ditinggal wafat anak dan Istrinya Lamat ditemani Stepen sekor anjing peliharaan yang setia kemana ia pergi selalu mengikuti.
Terkadang dia juga ditemani saudara baru kemenakan dari istrinya seperti dipekerjakan memanen kelapa muda dan membersihkan kebun perusahaan yang ada di sekitar Kampung Sungai Sadap Hulu.
"Memanen kelapa diupah 1 butir Rp1.000, untuk membersihkan kebun per pohon kelapa Rp2.000," ucap Lamat.
Sehari - hari Lamat mengaku sebagai pekerja kebun jika ada memperkejakan dan mencari Kepiting dan Ikan Sembilang di Hulu Sungai, namun semenjak beberapa bulan ini Lamat tidak pernah lagi ke sungai mencari ikan di karenakan Sampanya rusak bojot tak sanggup lagi untuk memperbaiki.
Â
Advertisement
Pendidikan Anak-Anak Suku Darat
Selain itu rumah yang Ia tempati merupakan bantuan dari pemerintah semasa orang tua dan istrinya ada 4 tahun lalu dan kini sudah mulai lapuk.
Untuk listrik sudah masuk ke Kampung Sadap sejak satu bulan lalu. Namun Lamat tidak mampu membayarnya.
Selain itu Lamat bercerita bahwa Suku Darat mempunyai bahasa tersendiri bahwasanya tidak begitu berbeda dengan bahasa masyarakat Galang.
Ia mengaku mulai mengerti bahasa Indonesia semenjak banyak yang orang luar dari Batam datang ke kampungnya.
Saat diminta untuk mempraktikan bahasa Suku Darat, ia mengaku tidak bisa menggunakan bahasa Suku Darat ketika tidak ada lawan bicaranya.
Selain itu Lamat menuturkan Suku Darat yang ada sekarang ini tidak semua menetap di Kampung Ulu Sadap. Mereka ada yang menikah dengan Suku Jawa, Sunda, Melayu Pesisir dan Tionghoa.
Meski tertinggal, 3 orang anak Suku Darat yang bermukim di Kampung Ulu Sadap sudah bersekolah di SD Tanjung Kertang. Mereka adalah Galang, Enjeli dan Ayu Nurmala.