Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan presiden boleh berpihak dan berkampanye mendapat tanggapan dari Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizald.
Menurutnya, pernyataan presiden tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab hal tersebut telah diatur dan sesuai dengan Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Juhaidy Rizald, mengatakan di dalam pasal 280 Ayat 2 UU Pemilu presiden memang tidak disebut dalam pejabat yang dilarang melakukan pelaksanaan kampanye pemilu, seperti Ketua Mahkamah Konstitusi, Anggota BPK, dan Gubernur.
Advertisement
Baca Juga
"Dalam pasal 280 Ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak ada kata Presiden dan Wakil Presiden sebagai pejabat yang dilarang untuk melakukan kampanye pemilu," ujar Rizaldy, Jumat (26/01/2024).
Lulusan Magister Hukum Kenegaraan ini, menjelaskan dalam Pasal 299 Ayat 1 UU Pemilu, dikatakan presiden dan wakil presiden mempunyai hak untuk berkampanye atau dalam kata lain bisa berpihak.
"Jika dilihat di pasal lain, yaitu Pasal 281, mengatur syarat-syarat pejabat negara dan presiden dan wakil presiden yang akan berkampanye antara lain harus cuti di luar tanggungan negara dan juga tidak bisa menggunakan fasilitas negara," jelasnya.
Ia juga menambahkan, dalam UU Pemilu tidak mencantumkan bahwa presiden harus netral. Namun jika adanya anggapan terkait etis atau tidaknya jika berkampanye dan memihak harus dapat dibedakan.
Rizaldy menerangkan etik dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum. Adapun hal ini, baginya merupakan persoalan filsafat hukum yang berada dalam tataran ilmu pengetahuan.
"Kalau itu dianggap tidak etis, silakan nanti dirumuskan dalam perubahan UU Pemilu ke depannya, tapi dalam konteks Pilpres dan Pileg 2024 presiden boleh berkampanye, mendukung, dan memihak salah satu paslon, tentunya dengan beberapa syarat yang telah ditentukan dalam UU Pemilu," pungkasnya.
Â