Liputan6.com, Bandung - Jepang mengalami lonjakan kasus Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) sejak dua tahun yang lalu yang dipicu oleh bakteri pemakan daging.
Penyakit STSS yang berpotensi mematikan ini, jumlah kasus yang melibatkan bakteri Streptococcus pyogenes telah meningkat tajam di paruh petama tahun 2024, bahkan melampaui jumlah kasus tahun lalu.
Dilansir dari Kyodo News dicuplik dari Japanese Station, Kamis, 27 Juni 2024, National Institute of Infectious Disease melaporkan pada 2 Juni lalu bahwa telah menemukan 977 kasus karena bakteri ini, sementara itu terdapat 941 kasus di tahun 2023.
Advertisement
Bakteri Streptococcus pyogenes kerap dikaitkan dengan radang tenggorokan, tetapi terkadang menyebabkan kerusakan pada sel–sel tubuh (nekrosis) dan kegagalan banyak organ.
Melansir dari Healthline, Jepang mengalami lonjakan kasus STSS sejak dua tahun yang lalu. Menurut seorang profesor penyakit menular, Ken Kikuchi, jumlah kasus di Jepang bisa mencapai angka 2.500 pada tahun ini.
"Dengan tingkat infeksi seperti ini, jumlah kasusnya bisa mencapai 2.500 dengan tingkat kematian 30%," ujarnya.
Kikuchi juga menjelaskan jika luka pada kaki sangat rentan terhadap infeksi bakteri ini, bahkan luka kecil seperti lecet bisa menjadi jalan masuk bakteri ini ke dalam tubuh.
Bakteri Streptococcus pyogenes juga bisa menyebabkan kematian pada pasien lanjut usia dalam waktu 48 jam.
Â
Belum Ada Laporan Kasus di Indonesia
Dilansir laman Sehat Negeriku Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Jepang sedang dilanda infeksi sindrom syok toksik streptokokus (STSS), yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes kelompok A.
Kasus STSS di Jepang telah melampaui 1.000 dan menjadi perhatian global. Bakteri ini dijuluki pemakan daging karena dapat menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot dalam waktu singkat.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, dr. Siti Nadia TarmiziPenularan STSS terjadi melalui pernapasan dan droplet (percikan ludah atau lendir) dari penderita.
"Kalau sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan ya untuk kasus bakteri “pemakan daging," kata Siti.
Namun, pihaknya terus memantau situasi melalui surveilans sentinel Influenza Like Illness (ILI)-Severe Acute Respiratory Infection (SARI) dan pemeriksaan genomik.
Kasus STSS yang dilaporkan di Jepang, umumnya kasus di rumah sakit yang disebabkan bakteri streptokokus yang biasanya muncul dengan gejala faringitis atau peradangan pada tenggorokan atau faring.
Infeksi STSS bisa berakibat fatal karena pasien dapat mengalami sepsis dan gagal multiorgan. Namun, penyebabnya secara pasti masih belum diketahui karena gejala STSS biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat.
Jepang telah melaporkan kasus infeksi streptokokus dalam sistem notifikasi surveilans sejak 1999. Pada 2023, terdapat 941 kasus, dan angka ini meningkat menjadi 977 kasus pada Juni 2024.
Meskipun mengkhawatirkan, tingkat penyebaran STSS jauh lebih rendah dibandingkan dengan COVID-19. Masyarakat diimbau untuk tetap menerapkan perilaku hidup sehat, menggunakan masker saat sakit, dan membiasakan mencuci tangan secara rutin.
"Yang paling penting saat ini, kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi COVID-19 terus dijalankan seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker, sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernafasan," kata Siti.
Hingga saat ini, tidak ada pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang terkait dengan STSS. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait peningkatan kasus iGAS atau invasive Group A Streptococcal disease, termasuk STSS, di Eropa pada Desember 2022, tidak ada rekomendasi pembatasan perjalanan ke negara-negara yang terdampak.
Pengobatan STSS dilakukan dengan pemberian antibiotik. Hingga saat ini, belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi bakteri pemakan daging ini.
Advertisement