Cerita Perjuangan Tunardi, Pustakawan Sukoharjo yang Berkawan dengan Kemajuan Teknologi

Penggunaan AI sangat membantu Tunardi sebagai pustakawan, asal tidak seratus persen dikerjakan AI, teknologi diperlukan hanya sekadar membantu berpikir secara konsep.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 05 Jul 2024, 17:10 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2024, 16:10 WIB
Pustakawan Berprestasi
Menurut Tunardi, perkembangan teknologi tidak sepenuhnya berdampak negatif. Justru perkembangan dunia digital dan AI bisa membantu masyarakat menemukan solusi cepat dari persoalan yang dihadapi. (Liputan6.com/ Dok Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Data terbaru Badan Pusat Statistik menyebutkan, secara umum Tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia pada 2023 berada pada skor total 66,77. Angka tersebut menunjukkan bahwa tingkat kegemaran membaca masyarakat kita masih berada pada kategori sedang, yaitu di antara 50,1-75. 

Jika dilihat secara regional, Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan pertama sebagai provinsi dengan tingkat kegemaran membaca tertinggi, yakni dengan skor 73,27. Durasi membaca masyarakat Yogyakarta juga menempati urutan tertinggi, yakni 2 jam 9 menit dalam sehari.

Sedangkan peringkat kedua ada Provinsi Jawa Tengah dengan skor 71,31. Diikuti Provinsi jawa Barat dengan skor 70,47. Dari data tersebut menunjukkan masyarakat Jateng masih punya semangat dalam hal membaca buku, termasuk masyarakat Sukoharjo. Hal itu setidaknya diungkapkan Tunardi, seorang pustakawan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Sukoharjo.

Di Sukoharjo sendiri pengunjung perpustakaan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan kebanyakan berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Di tengah gempuran penggunaan teknologi informasi, di gawai ditambah beragam produk AI (kecerdasan buatan), anak-anak muda sekarang cenderung malas untuk membaca buku. Ini menjadi tantangan yang mesti dihadapi ke depan.

Menurut Tunardi, perkembangan teknologi tidak sepenuhnya berdampak negatif. Justru perkembangan dunia digital dan AI bisa membantu masyarakat menemukan solusi cepat dari persoalan yang dihadapi.

"Saya sendiri pengguna AI dalam hal ini sebagai pengantar, membantu saya membuat kerangka berpikir. Misalnya membikin proyek skrip sebuah film, skrip berita, tidak setiap orang bisa menyusun susunan acara sedemikian rupa runut. Tapi dengan produk AI bisa terbantukan," kata Tunardi, yang juga lulusan Ilmu Perpustakaan Universitas Widya Dharma Klaten itu.

Orang yang tergerus AI adalah mereka yang tidak menggunakannya. Oleh karena itu, kata Tunardi, penggunaan AI sangat membantu dirinya sebagai pustakawan, asal tidak seratus persen dikerjakan AI, teknologi diperlukan hanya sekadar membantu berpikir secara konsep.

Tak heran jika Tunardi, sebagai pustakawan, punya banyak inovasi dalam upaya meningkatkan minat baca masyarakat, khususnya para pelajar dan mahasiswa di Sukoharjo. Salah satu inovasinya yang menarik adalah Gelis, yaitu Gerakan Literasi Sukoharjo, di mana sejumlah perpustakaan dipaksa untuk beradaptasi dengan kemajuan telekomunikasi dan informasi.

"Awalnya di tahun 2019 Gelis ini mengaplikasikan layanan perpus berbasis ilmu sosial, seperti kelas menulis anak unggulan, kelas menari, kelas storytelling, kemudian pada 2020 karena ada pandemi Covid-19 di mana ada kebijakan tidak boleh berkerumun, akhirnya kita sebagai lembaga yang memberikan informasi kepada publik harus tetap bertahan. Caranya adalah dengan beradaptasi dengan teknologi informasi dengan membangun perpustakaan digital," katanya.

Tunardi menjelaskan, setidaknya dia menciptakan tiga produk perpustakaan digital, pertama, perpustakaan digital berbasis aplikasi, kemudian perpustakaan dengan metode scan barcode di tugu titik baca. Yang terakhir adalah Ndok Dadar, yaitu dongeng daring dari rumah. Ini adalah sebuah inovasi dengan membuat karya dokumenter tempat-tempat bersejarah di Sukoharjo, yang kemudian dipublikasikan di kanal Youtube milik Dispursip Sukoharjo.

"Dengan inovasi-inovasi produk digital itu, di masa pandemi masyarakat tetap bisa mendapatkan informasi di mana saja kapan saja dengan cepat," ungkap Tunardi.

Setelah pandemi Covid-19 berlalu, bukan berarti inovasi berhenti, melainkan perlu dikembangkan untuk menjawab tantangan baru lagi yang ada di depan. Tunardi kemudian mengembangkan inovasi Gelis menjadi Geliat Mesra, yaitu gerakan literasi desa menuju masyarakat Sejahtera.

"Inti inovasi ini adalah untuk membantu mengembangkan dan membina perpustakaan desa kelurahan bertranformasi seperti Gelis, atau mereplikasi Gelis di tingkat desa, yaitu perpus desa dan kelurahan, dengan layanan-layanan yang bertranformasi menjadi perpus berbasis inklusi dan informasi teknologi," kata Tunardi.

Setelah itu inovasi tidak lantas berhenti, Tunardi mengembangkan juga inovasi meningkatkan minat baca masyarakat, yang olehnya diberi nama Kita Pun Senapas, yaitu inovasi tata perpustakaan sesuai standar nasional perpustakaan. Inovasi ini sangat membantu perpustakaan-perpustakaan sekolah untuk menata kembali perpusatakaannya sesuai standar nasional.

Setelah pengelolaan perpustakaan dan taman baca di Sukoharjo naik derajat, fokus Tunardi selanjutnya adalah bagaimana naskah-naskah kuno yang ada di Sukoharjo dapat dilestarikan dengan baik. Maka dirinya menciptakan inovasi yang diberi nama Mas Lesmana, atau akronim dari Mari Selamatkan dan Lestarikan Naskah Kuno.

 

Butuh Kolaborasi

Pada praktiknya, gerakan literasi ini membutuhkan kolaborasi apik dari berbagai stakeholder, termasuk tokoh masyarakat, pegiat literasi, budayawan, hingga pengambil kebijakan. Yang dilakukan pertama adalah dengan sosialisasi pelestarian naskah kuno ke masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi naskah kuno. Setelah itu dilakukan pencatatan semua naskah kuno yang ada di Sukoharjo. Lalu diadakan akuisisi, untuk selanjutnya dilakukan alih bahasa dan alih aksara, kemudian dipublikasi.

Atas upayanya menelurkan banyak inovasi demi pengembangan minat baca masyarakat, khususnya di Sukoharjo, Tunardi bersama 14 pustakawan lainnya dari berbagai daerah didapuk menjadi kumpulan finalis Pustakawan Berprestasi Nasional 2024.

"Saya bangga sebagai pustakawan, karena saya menerima profesi ini secara ikhlas, dan saya selalu menggunakan rasa dan karya dalam melakukan tugas ini, saya bangga. Mungkin saya tidak hebat, tapi ada keinginan orang-orang di luar saya yang berhubungan dengan saya ingin menjadi hebat. Saya bukan pustakawan yang Istimewa, tapi saya ingin membuat orang-orang di sekitar saya menjadi Istimewa," katanya.

Tunardi menyebutkan, ada ratusan perpustakaan setiap tahun kita replikasi dari nol, dari menata ruangan, kemudian bagaimana membuat sebuah perpus dengan layanan berbasis inklusi. Dengan pengelolaan yang profesional itu, perpus di satu desa dalam dua tahun bisa dilepas menjadi perpustakaan yang keren. Tak heran jika banyak bermunculan perpustakaan dan taman-taman bacaan di Sukoharjo yang dikelola secara serius dan keren dengan memanfaatkan perkembangan dunia teknologi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya