Dihajar Produk Impor, Pelaku Industri Plastik Hilir Indonesia Minta Perlindungan Pemerintah

Industri hilir dalam negeri sulit bersaing dengan industri hilir luar negeri. Pasalnya, biaya bahan baku yang mencapai 66,5 persen dari total biaya produksi yang menjadi faktor penentu harga jual produk akhir. Belum lagi upah buruh Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.

oleh Marifka Wahyu Hidayat diperbarui 16 Agu 2024, 10:51 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2024, 09:16 WIB
FLAIPHI
Foto: Forum Lintas Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Para pelaku industri plastik dalam negeri yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (FLAIPHI) meminta perlindungan dari pemerintah agar dapat bersaing di tengah gempuran impor produk jadi plastik. Mereka berharap pemerintah dapat mengevaluasi kebijakan proteksi industri hulu sehingga mampu bersaing.

Juru bicara FLAIPHI, Henry Chevalier mengatakan bahwa kapasitas industri hulu domestik dalam memasok bahan baku plastik (BPP) belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri. Ia menyebut saat ini industri hulu hanya mampu memenuhi sekitar 60 persen dari kebutuhan bahan baku plastik lokal, sementara sisanya impor.

“Proteksi yang saat ini masih ada yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19 Tahun 2009 yang mengenakan tarif Bea Masuk terhadap BBP sebesar 10-15% perlu segera dievaluasi dan digantikan insentif pajak atau jenis insentif lain yang memungkinkan industri hulu plastik dalam negeri bisa berkembang dan mampu memproduksi BBP yang harganya bersaing,” kata Henry Chevalier, Kamis (16/8/2024).

Menurutnya, industri hilir dalam negeri sulit bersaing dengan industri hilir luar negeri. Pasalnya, biaya bahan baku yang mencapai 66,5 persen dari total biaya produksi yang menjadi faktor penentu harga jual produk akhir. Belum lagi upah buruh Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.

Sementara, negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam menawarkan bea masuk bahan baku yang jauh lebih rendah, bahkan bisa sampai 0-3 persen. Kondisi ini yang  memungkinkan produk plastik negara tersebut dapat memasuki pasar Indonesia karena harganya yang lebih murah.

Para pelaku industri plastik hilir berharap pemerintah dapat memberikan solusi atas permasalahan ini. Mereka meminta pemerintah untuk memberikan proteksi kepada industri hulu. Sebagai solusinya, FLAIPHI menyarankan pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan pajak yang lebih mendukung, seperti keringanan pajak badan usaha.

“Boleh-boleh saja pemerintah memberikan proteksi terhadap industri hulu. Namun, jangan berupa tariff barrier, melainkan keringanan pajak. Kalau tariff barrier, bea masuk, ya mati kami di hilir,” tambahnya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia untuk produk plastik hilir mengalami defisit dalam 10 tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan plastik hilir Indonesia pada 2023 mencapai 1,7 miliar dolar AS.

Sementara ekspor plastik hilir Indonesia pada 2023 tercatat 1,49 miliar dolar AS, sedangkan impor mencapai 3,27 miliar dolar AS. Negara impor produk plastik hilir berasal dari China (51,9 persen), Jepang (8,16 persen), Malaysia (6,4 persen), Thailand (5,3 persen), Korea (4,3 persen), dan Singapura (4,2 persen).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya