Ini Alasan di Balik Usulan Penerapan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan

Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) tengah menjamur belakangan ini dengan munculnya produk-produk seperti kopi, teh, susu olahan, dan minuman berkarbonasi yang diminati oleh anak-anak dengan harga terjangkau.

oleh Yanuar H diperbarui 10 Sep 2024, 10:00 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2024, 10:00 WIB
Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Meningkat 15 Kali Lipat Termasuk di Kalangan Anak-Anak. Foto: Freepik.
Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Meningkat 15 Kali Lipat Termasuk di Kalangan Anak-Anak. Foto: Freepik.

Liputan6.com, Yogyakarta - Berbagai elemen seperti Koalisi PASTI yang terdiri dari Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Health Promoting University UGM, Yayasan KAKAK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memiliki alasan yang tegas dalam komitmen mendukung kebijakan penerapan cukai bagi Minuman Berpemanis dalam Kemasan.

Menurut Ketua FAKTA Indonesia, Ari Subagyo Wibowo berdasarkan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2023, angka prevalensi diabetes di Indonesia meningkat menjadi 11,7%. Sehingga elemen yang mendukung penerapan cukai untuk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada tahun 2024 menyesal dengan adanya penundaan. “Keinginan kita ke depan ini adalah generasi muda yang sehat yang dicita-citakan oleh pemerintah generasi emas ini benar-benar bisa dilaksanakan,” kata Ari menyampaikan hasil Diskusi Publik yang bertajuk "Terapkan Cukai MBDK Sebagai Bentuk Kehadiran Negara Untuk Generasi Emas" di Wisma MM UGM, Jumat 6 September 2024.

Ari mengatakan dengan menerapkan cukai ini dapat mengubah perilaku masyarakat dan mengedukasi bahwa konsumsi MBDK bukanlah bagian dari pola makan sehat dan bergizi. Hal yang sama diungkapkan Bagus Suryo Bintoro, Ketua Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan FKKMK UGM jika kebijakan penundaan cukai bagi MBDK disayangkan. “Padahal pemberlakuan cukai MBDK ini juga dapat mengurangi angka penderita diabetes,” imbuhnya

Uli Parulian Sihombing, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, menegaskan Komnas HAM berkomitmen untuk mendukung penerapan cukai bagai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan. “Komnas HAM masih terus memantau terkait penerapan Cukai MBDK. Kami juga merekomendasikan kepada BPOM untuk penataan pengawasan obat dan makanan yang perlu diperbaiki di hilir dan hulu,” terangnya.

Sementara itu Guru Besar Yayi Suryo Prabandari, Ketua Health Promoting University (HPU) UGM mengatakan HPU UGM sudah melakukan beberapa program untuk kampanye mengkonsumsi makanan sehat di lingkungan kampus. “Kita mengkampanyekan healthy eating seperti penerapan food traffic light pada makanan, advokasi pembatasan minum berpemanis,” katanya.

Perwakilan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Gisella Tellys, menjelaskan dengan memberlakukan cukai MBDK sebagai instrumen kebijakan fiskal dapat mengurangi angka penderita diabetes. Menurutnya, dengan menaikan harga dari produk MBDK, tingkat konsumsi MBDK di masyarakat dapat menurun.

Tulus Abadi, Perwakilan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, meminta pemerintah tidak perlu ambigu menerapkan cukap Minuman Berpemanis Dalam Kemasan ini karena justru pemerintah juga akan mendapatkan pendapatan negara. “Penerapan cukai ini tidak akan mematikan industri,” paparnya.

Tulus mengatakan justru pemerintah belajar dari penerapan Cukai Hasil Tembakau (CHT), dimana hasil dari cukai bisa dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk program-program yang bertujuan untuk pengendalian konsumsi dan peningkatan kesehatan. "Dana ini sering digunakan untuk mendanai kampanye kesehatan,” ujarnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya