Piado Rimbo, Piado Bungo, dan Piado Dewo

Seloko iko lah diajarko puyang Orang Rimbo dohulu. Kinia seloko iko dijelonkan Orang Rimba delom penghiduponnyo sehari-hari.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 13 Nov 2024, 19:15 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2024, 14:00 WIB
Orang Rimba
Tunggai Basemen (kiri) saat ditemui di sudungnya. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi- “Piado rimbo, piado bungo. Piado bungo, piado dewo,” Tungganai Basemen, tetuo adat Orang Rimbo membaco bait seloko delom jumpo dengan akeh di sudungnyo di Bukit Suban, Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Seloko iko lah diajarko puyang Orang Rimbo dohulu. Kinia seloko iko masih dijelonkan Orang Rimba delom penghiduponnyo sehari-hari.

Basemen-- jenton tuo iko mengartikan petuah adat iko delom bahaso orang terang. “Dak ado hutan, dak ado bungo. Kalau dak ado bungo, mako dak ado dewo.”

Seloko dari puyangnyo iko menggambarkan penghidupon Orang Rimbo yang dekat dengan rimbo. Bagi Orang Rimbo, bait seloko iko punyo makna yang delom.

Delom penghidupon Orang Rimbo atau Suku Anak Delom (SAD), rimbo benyok memberikan benyok manfaat. Di delom rimbo, Orang Rimbo ngembik makanon kareno di delom rimbo benyok makonon dan ramuan obat. Keberadoan rimbo juga menjadi genah dewo-dewo. 

Ado benyok dewo-dewo seperti dewo burung gading; gejoh; gunung; kuwau; langit; lout; mergo; tenggiling.

Tapi kinia rimbo dan bungo, yang menjadi tempat penghidupon sodah habiy genti sawit. Rimbo di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) juga lah habiy makanonnyo. Benuaron jugo sodah habiy.

Di delom rimbo, Orang Rimbo berburu dan meramuon. Orang Rimbo berburu nangoy, ngapok ikan. Di delom rimbo, mereka menjalankan tradisi melangun.

Kinia rimbo sodah habiy. Mencari makanon dan penghidupon semakin sengsaro. Hilangnyo rimbo berdampak pado gelabah. Hutan habiy, hutan hopi biso melindungi. Jadi gelabah mudah detong.

“Dulu yang namonyo di rimbo segalo ado, kalau akeh sakit diobati pakai tumbuhan obat. Kinia sodah hopi ado lagi,” kato Basemen.

Antropolog dari KKI Warsi Bepak Robert Aritonang menjelaskan, delom penghidupon Orang Rimbo benyok ditemukan tradisi ritual dan ramuan obat.

Orang Rimbo delom menangkal gelabah jugo melakukan ritual besale. Namun habiy rimbo, kebudayaan Orang Rimbo, seperti meramu obat dan menjalankan ritual semakin dikit.

“Ubat ramuon di rimbo sodah dikit. Orang Rimbo harus bejelon jauh ke genah delom rimbo,” kato Bepak Robert.

Hutan, Bunga, dan Dewa

Rumah Orang Rimba
Sudung, rumah tradisional Orang Rimba. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

“Tidak ada hutan, tidak ada bunga. Kalau tidak ada bunga, maka tidak ada dewa,” kata Tungganai Basemen, tetua ada Orang Rimba mengucapkan bati seloko dalam suatu kesempatan saat berjumpa dengan saya di sudungnya di Bukit Suban, Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, .

Seloko ini lah diajarkan nenek moyang Orang Rimba pada zaman dahulu. Kini seloko ini masih dijalankan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Basemen--lelaki tua ini mengartikan petuah adat ini dalam bahasa orang desa. “Tidak ada hutan, tddak ado bunga. Kalau tidak ada bunga, maka tidak ada dewa.”

Seloko dari nenek moyangnya itu menggambarkan bahwa penghidupan sangat dekat dengan hutan. Bagi mereka, bait seloko ini mempunyai arti dan makna yang amat dalam.

Dalam kehidupan Orang Rimba atau Suku Anak Delom (SAD), hutan banyak memberikan sumber makanan. Di dalam hutan, mereka bisa mengambil makanan, karena di dalam hutan tersedia banyak makanan dan ramuan obat. Keberadaan hutan juga menjadi tempat ritual untuk menghubungkan dewa-dewa dalam kepercayaan mereka.

Ado banyak macam istilah para dewa-dewa; burung gading (dewa yang bertugas menyucikan atau membersihkan tempat sesorang); gejoh (dewa yang bertugas mengusir hama pada tanaman); gunung (dewa yang bertugas membujuk orang jahat menjadi baik); kuwau (dewa yang bertugas menjaga bunga-bunga agar tetap subur); langit (dewa tertinggi); lout (dewa yang membawa penyakit batuk dan demam); mergo (dewa yang menyampaikan pesan dari manusia ke dewa lain); tenggiling (dewa yang bertugas memberi kekebalan).

Tapi sekarang hutan dan bunga, yang menjadi tempat pengidupan Orang Rimba sudah habis berganti sawit. Hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) juga sudah sedikit menyediakan sumber makanan.

Di dalam hutan, Orang Rimba berburu dan meramu. Mereka berburu babi hutan, menangkap ikan di sungai. Di dalam hutan, mereka juga menjalankan tradisi melangun. Kini hewan buruan sudah semakin sedikit.

Sekarang hutan sudah semakin sedikit dan habis. Mencari makanan dan kehidupan semakin susah. Hilangnya hutan juga berdampak pada wabah penyakit. Hutan habis ditebang, hutan tidak bisa melindungi mereka dari penyakit.

“Dulu yang namanya di hutan itu semua ada, kalau aku sakit diobati pakai tumbuhan obat. Kini sudah tidak ada lagi obat di hutan,” kata Basemen.

Antropolog dari KKI Warsi Bepak Robert Aritonang menjelaskan, dalam kehidupan Orang Rimba banyak ditemukan tradisi ritual dan ramuan obat. Orang Rimbo dalam menangkal wabah penyakit juga melakukan ritual besale. Namun habiy rimbo, kebudayaan Orang Rimba seperti meramu obat dan menjalankan ritual semakin sedikit.

“Obat ramuan di hutan sudah sedikit. Kalaupun ada, mereka harus berjalan jauh ke dalam hutan,” kata Robert.

 

Berita ini menggunakan bahasa Melayu Jambi Dialek Suku Anak Dalam, Jambi. Tulisan ini sebagai apresiasi Liputan6.com dalam memeringati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Menghargai keberagaman bahasa, tetapi tetap menjunjung bahasa persatuan, Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya