Mengenal Tembung Plutan, Kekayaan Muatan Lokal Bahasa Jawa

Keberadaan tembung plutan membuktikan bahwa bahasa Jawa kaya akan budaya dan tradisi.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 10 Jan 2024, 08:00 WIB
Diterbitkan 10 Jan 2024, 08:00 WIB
Kata-Kata Mutiara Bahasa Jawa yang Romantis dan Menyentuh Kalbu
Ilustrasi Surat Cinta Credit: pexels.com/Stevi

Liputan6.com, Yogyakarta - Tembung plutan umum ditemukan dalam muatan lokal bahasa Jawa. Istilah ini diartikan sebagai kependekan suatu kata yang tidak mengubah makna dan arti sesungguhnya.

Kata yang termasuk tembung plutan umumnya terdiri dari dua suku kata yang disingkat atau digabung menjadi satu suku kata. Keberadaan tembung plutan membuat ejaan bahasa Jawa menjadi lebih ringkas karena tidak lagi terlalu panjang saat diucapkan.

Umumnya, tembung plutan bisa dengan mudah ditemukan dalam gatra atau kalimat suatu tembang. Tentunya, fungsi utama tembung ini adalah untuk meringkas suatu kata agar lebih mudah dan lebih cepat diucapkan.

Selain itu, tembung plutan juga kerap digunakan untuk mengejar guru wilangan. Terlebih, pada paugeran (pedoman atau aturan) tembang yang sudah ditentukan, maka tembung plutan berguna untuk menyingkat suku kata agar tidak kelebihan jumlah ejaan.

Mengutip dari surakarta.go.id, peringkasan kata dalam tembung plutan ada dua cara, yakni dengan mengurangi kata awal atau dengan menghilangkan satu huruf vokal pada suku kata lainnya. Beberapa kata yang telah mengalami peringkasan tembung plutan misalnya kata para menjadi pra, kiyat menjadi kyat, suwara menjadi swara, weruh menjadi wruh, suwarga menjadi swarga, serat menjadi srat, dan lainnya.

Lebih jelasnya lagi, peringkasan tembung plutan juga terjadi di beberapa kalimat bahasa Jawa, salah satunya pada tembang Kinanthi. Berikut contoh tembung plutan:Tumrap ukara gancaran samestine; Wanodya ayu kuru aking.Tumrap ing cakepan tembang, kena; Wanodya yu kuru aking.

Dalam kutipan lirik tembang di atas terdapat tembung plutan dari kata ayu menjadi yu. Tembung plutan digunakan dalam tembung itu karena gatra atau kalimat tersebut memiliki guru wilangan tetap, yakni delapan suku kata. Oleh karena itu, kata ayu diringkas menjadi yu agar menghasilkan ketukan yang sesuai.

Keberadaan tembung plutan membuktikan bahwa bahasa Jawa kaya akan budaya dan tradisi. Bahasa Jawa memiliki segudang muatan lokal tembung yang khas dan harus dilestarikan, salah satunya tembung plutan.

(Resla Aknaita Chak)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya