Kisah Kristina Balagaize, Penjaga Warisan Bahasa Malind Merauke

Semangat Mama Kristina Balagaize, 41 tahun memang tak pernah pudar untuk memperjuangkan bahasa Malind tetap lestari

oleh Katharina Janur diperbarui 31 Okt 2024, 00:38 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2024, 00:26 WIB
Mama Kristina saat membagikan buku saku bahasa Malind di SD Don Bosco Merauke. (Foto: Liputan6.com/Katharina Lita)
Mama Kristina saat membagikan buku saku bahasa Malind di SD Don Bosco Merauke. (Foto: Liputan6.com/Katharina Lita)

Liputan6.com, Merauke - Mata Mama Kristina berkaca-kaca. Hatinya penuh syukur dan gembira, saat mendengar bahasa Malind digunakan pada doa umat di Misa Agung yang dipimpin Bapa Suci Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno Jakarta, 5 September 2024.

Bahasa Malind menjadi salah satu dari 5 bahasa daerah yang digunakan dalam doa umat pada misa tersebut. "Nahan ke Nanggo, Bangsa Indonesia: Allawi, ahep ghr'aupakeh nok'ken bangsa kerukunan, pololi yah hyakod bekai hyakod rasa yah ehe bangsa a' negara' ehe otih anim mbya waninggap ti kanap kaghr'nahibe yum'lik anim membutuhkan sene, hayatla, a' kedamaian," kata pembaca doa umat, yang secara garis besar mendoakan bangsa Indonesia.

Lewat doa ini, umat berharap Tuhan menganugerahkan kerukunan, gotong royong serta sehati seperasaan di tengah masyarakat Indonesia.

“Bahasa Malind harus dilestarikan. Kami sangat berbangga hati dengan penggunaan bahasa Malind di misa agung tersebut. Saya bermimpi, bahasa Malind tak hanya dikenal di Merauke atau Provinsi Papua Selatan, tapi juga dikenal di luar daerahnya,” kata Mama Kristina.

Semangat Mama Kristina Balagaize, 41 tahun memang tak pernah pudar untuk memperjuangkan bahasa Malind tetap lestari. Dia terus menggunakan bahasa ibu dalam kesehariannya. Misalnya saja. setiap bertemu seseorang, dia selalu menyapa dengan bahasa Malind, bahasa Suku Malind yang mendiami Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Au ul, ndasabakap wa ola. Namahgra hgranid ehe waninggap ka ai.” (apa kabar, semoga hari ini menyenangkan). Begitu sapaan Mama Kristina saat bertemu siapapun di jalan atau lokasi lainnya.

“Saya sengaja menggunakan Bahasa Malind. Sebab bahasa adalah identitas bangsa, termasuk Bahasa Malind. Saya ingin, Bahasa Malind tak hanya dikenal di Merauke atau di Provinsi Papua Selatan. Tapi, saya ingin Bahasa Malind dikenal di luar daerahnya,” Mama Kristina berujar.

Kenyataannya, Bahasa Malind sudah sangat jarang digunakan, hanya ada beberapa penuturnya yang usianya pun sudah di atas 60 tahun. “Saya prihatin dengan keadaan ini. Penutur aktif bahasa Malind di perkotaan sudah sangat jarang ditemui. Lebih banyak penuturnya berada di kampung-kampung, itu pun usianya sudah senja” ujarnya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Perjuangan Tanpa Henti

Mama Kristina Balagaize. (Foto: Liputan6.com/Katharina Lita)
Mama Kristina Balagaize. (Foto: Liputan6.com/Katharina Lita)

Melihat kondisi ini, Mama Kristina berjuang untuk mempertahankan Bahasa Malind. Upaya yang dilakukan sangat beragam, mulai dari mengajar bahasa Malind di Sekolah Alam Paradise yang dilakukannya setiap Sabtu sore.

Anak didiknya beragam, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Tak hanya itu saja, Kristina bersama kelompoknya di sekolah Alam Paradise Merauke telah menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Malind untuk dijadikan buku saku dan telah didistribusikan ke sekolah-sekolah di Merauke.

“Saya berharap, dengan buku saku yang kami bagikan ke sekolah, para generasi milenial hingga Gen Z, bisa menggunakan bahasa Malind dalam percakapan sehari-hari. Atau paling tidak mereka memahami bahasa ibu tersebut,” kata perempuan yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar ini.

Sebab saat ini, anak muda di Merauke sudah sangat sulit ditemui yang mampu menggunakan bahasa Malind dalam percakapan setiap harinya. “Kebanyakan milenial menganggap bahasa Malind tidak populer, kuno bahkan milenial gengsi menggunakan bahasa Malind,” jelasnya.

Beruntung, Pemda Kabupaten Merauke bersama DPRD setempat memiliki perjuangan yang sama dengan Mama Kristina dalam menjaga bahasa Malind agar tak punah.“Perda tentang perlindungan sastra dan bahasa daerah sudah disahkan tahun ini. Kami berharap, pemerintahan dan semua pihak dapat menyelamatkan bahasa Malind dari kepunahan,” ujarnya.

Upaya lainnya yang terus dilakukan oleh Kristina adalah ingin memperbanyak lagu-lagu berbahasa Malind yang bisa dinyanyikan di tengah masyarakat atau lingkungan pemerintahan maupun di sekolah, sebelum atau sesudah memulai aktivitasnya.

“Termasuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam menjaga bahasa ini agar tak punah. Kerja sama dengan pemerintah, akademisi, LSM hingga para pihak. Sebab di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, termasuk untuk melestarikan bahasa daerah,” katanya.

Sejumlah upaya tersebut, lambat laun membuahkan hasil. Saat ini, sekolah-sekolah di Merauke telah mengajarkan bahasa Malind pada muatan lokal (mulok) untuk pengenalan bahasa Malind dari tingkat sekolah dasar.

“Namahgra mbyame, ta ndasambie, nok ke mbya make, tikasibie”(Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi. Terima kasih sudah berjuang bersama untuk melestarikan bahasa Malind).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya