Liputan6.com, Sukabumi - Eksekusi sebidang lahan yang dilakukan oleh juru sita Pengadilan Negeri (PN) Cibadak, di Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi sempat diwarnai kericuhan.
Pemilik warung yang tak terima barang-barangnya yang dievakuasi dengan kasar terlibat adu mulut dengan petugas pengangkut pengadilan. Eksekusi lahan ini dilakukan setelah adanya gugatan kepemilikan lahan seluas 1,2 hektar dimenangkan oleh pihak pemohon atas nama Yudi Iskandar.
Dalam kasus sengketa lahan ini, warga yang telah tinggal selama puluhan tahun di lokasi tersebut terpaksa mengosongkan lahan yang sudah jadi tempat dan warung pinggir jalan, karena pemohon melakukan gugatan ke Mahkamah Agung atas kepemilikan lahannya.
Advertisement
Baca Juga
“Kalau sertifikat tidak punya, cuman SPH (Surat Pelepasan Hak), oper garapan, dari HGU dulu tahun 1967 kalau gak salah,dikasih hibah dari HGU ke masyarakat,” ucap salah seorang warga, Hasan Dinata, Rabu (22/1/2024).
Dia mengatakan, lahan yang dimiliki dari hibah Hak Guna Milik (HGU) salah satu perusahaan perkebunan itu didapat sejak tahun 2007, dengan membayar pajak Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) setiap tahun.
“Saya disini resmi ada SPH-nya beli, ini saya sudah 18 tahun kurang lebih, beli resmi ada suratnya komplit, dulu beli sekitar Rp300 juta lebih luasnya 1.000 meter,” ungkapnya.
Warga hanya memiliki surat pelepasan hak tanah garapan saat melakukan jual beli tanah, dan merasa tertipu oleh oknum warga yang menjualnya. Warga kini meminta keadilan dikembalikan uangnya karena merasa tertipu.
Simak Video Pilihan Ini:
Penjelasan Kuasa Hukum Pemilik Lahan
Sementara itu, kuasa hukum pemohon mengaku telah melakukan pendekatan persuasif terhadap warga sebelum eksekusi lahan dilakukan. Namun warga mematok harga sebesar Rp2 juta per meternya untuk ganti rugi.
“Sebelum kami melakukan upaya eksekusi memang kami melakukan pendekatan secara persuasif sebetulnya, nah pendekatan persuasif itu dengan mendatangi mereka, menanyakan asal usul dan lain sebagainya,” kata kuasa hukum, Ahmad Yazdi Alaydrus.
Menurutnya, berbagai cara telah dilakukan untuk mencari titik tengah penyelesaian masalah sengketa tanah tersebut. Namun tak menemui titik terang, meskipun negosiasi harga antara pihaknya dengan warga telah ditempuh.
“Mereka minta diganti oleh kami sebagai pemohon per meter Rp2 juta, itulah yang mengalami titik buntu sehingga kami sudah tawarkan di hadapan pengadilan waktu itu, ada anggaran untuk bisa mengganti kerohiman tapi mereka tolak, mereka minta Rp2 juta, saya disuruh menawar saya bingung menawar apa,” ungkapnya.
Sengketa lahan antara warga dengan pemilik lahan telah berlangsung sejak 2007 silam. Hingga akhirnya dimenangkan oleh pemilik lahan melalui putusan Mahkamah Agung.
Advertisement
Pengadilan Negeri Cibadak Pastikan Eksekusi Lahan Telah Sesuai Prosedur
Wakil Ketua PN Cibadak, Kabupaten Sukabumi Maruli Tumpal Sirait menyampaikan, pengadilan tetap melaksanakan eksekusi karena hingga putusan inkracht, tidak ada keberatan resmi dari pihak-pihak terkait, termasuk dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Lahan yang dieksekusi memiliki luas sekitar satu hektar tersebut terdiri dari beberapa bidang karena sebelumnya telah dijual kepada pihak-pihak tertentu. Meskipun ada klaim bahwa sebagian lahan merupakan tanah PUPR.
"Namun, karena pembeliannya dilakukan oleh beberapa pihak dengan ukuran berbeda-beda, akhirnya menjadi beberapa bidang. Sampai hari ini, kami tidak menerima surat keberatan atau dokumen lain dari PUPR, baik dari tingkat kabupaten maupun provinsi," ujar Maruli.
Maruli menjelaskan, bahwa teknis eksekusi diatur oleh Panitera yang memimpin proses tersebut, termasuk penggunaan alat berat jika diperlukan. Ada tiga kelompok warga, yakni yang sukarela mengosongkan, yang berdialog dengan pemohon, dan yang masih bertahan
“Untuk yang sukarela, kami pastikan akan dibantu, termasuk penyimpanan barang-barang mereka. Namun, bagi yang bertahan, proses eksekusi tetap akan berjalan sesuai aturan," ungkapnya.
Lebih lanjut, dia menuturkan, dalam pelaksanaan eksekusi, proses perdata tidak dapat terhambat oleh laporan pidana yang belum memiliki kepastian hukum.
"Tidak ada aturan yang menyatakan proses pidana dalam tahap penyelidikan dapat menghambat eksekusi. Kami bekerja berdasarkan putusan yang sudah pasti," sambung dia.