Urgensi Rencana Pembukaan 20 Juta Hektare Lahan Dipertanyakan

Pemerintah berencana membuka lahan pangan seluas kurang lebih 20 juta hektar. Hal ini dilontarkan oleh Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, usai bertemu Presiden Prabowo Subianto. Wacana pembukaan lahan 20 juta hektare itu menimbulkan berbagai beragam reaksi dari masyarakat.

oleh Yanuar H diperbarui 11 Feb 2025, 20:00 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2025, 20:00 WIB
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Senin 3 Februari 2025 (Istimewa)
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Senin 3 Februari 2025 (Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Wacana pemerintah membuka lahan 20 juta hektare menuai berbagai reaksi termasuk pakar UGM sepakat menyampaikan rekomendasi bahwa hingga saat ini belum ada urgensi bagi pemerintah membuka lahan baru secara besar-besaran. Walau kebijakan pembukaan lahan 20 juta hektare yang bertujuan untuk membuka ketersediaan sumber pangan, namun pemerintah diminta memperbaiki sistem pertanian yang saat ini dinilai belum optimal.

Hal itu mengemuka dalam seminar Pemikiran Bulaksumur yang yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar UGM yang bertajuk “Debat, Dilemma, dan Solusi Kebijakan 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan,” Kamis 16 Januari 2025.

Pemerhati kebijakan sosial ekonomi pertanian, Subejo mengatakan kurang efisiennya penggunaan pupuk, peralatan pertanian masih terbatas, hingga masih minimnya irigasi pertanian menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas produksi pangan. Ditambah, regenerasi petani menjadi pekerjaan rumah kondisi sektor pertanian Indonesia. “Tugas yang harus dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat Indonesia usia muda untuk masuk ke dunia pertanian untuk regenerasi,” paparnya.

Lebih lanjut Subejo meminta agar pemerintah fokus ke pertanian daripada pembukaan lahan 20 hektare karena tingkat kompetensi SDM petani masih rendah. Hal ini melihat sebagian besar pendidikan petani rata-rata hanya lulusan sekolah dasar. “Semua faktor tersebut perlu diperbaiki dan dikelola dengan baik akan sangat berpengaruh pada ketahanan pangan Indonesia ke depan,” ungkapnya.

Terkait kebijakan melakukan alih fungsi lahan sebanyak 20 juta hektare yang direncanakan untuk sumber energi juga dinilai belum perlu untuk diimplementasikan. Pasalnya kebutuhan akan energi berbahan dasar kelapa sawit atau bioetanol masih bisa dicukupi dengan jumlah hutan sawit yang ada saat ini.

Guru Besar Kehutanan Widyanto Dwi Nugroho mengatakan bahwa pemerintah dapat memanfaatkan lahan di hutan yang sudah tidak produktif. Terlebih pemerintah sudah berkomitmen menurunkan karbon emisi hingga kurang dari 198,27 juta ton pada tahun 2025. “Pembukaan lahan akan lebih tepat apabila memanfaatkan hutan degradasi menjadi produktif dan bisa bermanfaat untuk segi pangan dan lingkungan,” tegasnya.

Widyanto menyebut program ini berpeluang menciptakan kerentanan traumatik dan juga tidak hanya berdampak pada keseimbangan alam tetapi juga keadaan sosial pada masyarakat yang terdampak. Sebab, para penduduk asli yang hidup di sekitar hutan diberi janji-janji dan harapan palsu oleh pemerintah. “Pada akhirnya hanya menyebabkan konflik internal dalam masyarakat dikarenakan politik penguasaan tanah. Tanah mereka diambil namun kesejahteraan tidak mereka dapatkan,” katanya.

Guna menghindari potensi konflik dengan masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, Antropolog UGM, Dr. Laksmi Adriani Savitri pemerintah diharapkan untuk meninjau ulang rencana pembukaan lahan 20 juta hektare. “Masyarakat kita ingin diajak duduk dan bicara secara setara,” ungkapnya.

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya