Liputan6.com, Semarang - Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) terus berupaya merealisasikan pembentukan lembaga sertifikasi profesi (LSP) khusus untuk pemijat tunanetra.Â
Ketua Umum Pertuni, Setiawan Gema Budi, menyampaikan bahwa lembaga sertifikasi paling dibutuhkan adalah untuk pemijat. Karena mayoritas anggota Pertuni adalah pemijat.
Advertisement
Baca Juga
"LSP ini akan menjadi payung hukum bagi para pemijat tunanetra, sehingga mereka memiliki kompetensi yang setara dan diakui secara nasional. Dengan adanya LSP, para pemijat tunanetra akan mendapatkan uji kompetensi dari Badan Nasional Standarisasi Profesi (BNSP)," kata Setiawan.
Perjuangannya diawali audiensi dengan Kementerian Sosial dan diterima oleh Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas. Mereka sampaikan bahwa membutuhkan surat rekomendasi dari Kemensos untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu standarisasi kompetensi di Standar Kompetensi Kementerian Ketenagakerjaan.
"Pertuni berharap Kementerian Sosial dapat bermitra dengan Komisi VIII DPR RI untuk memberikan rekomendasi yang dibutuhkan, sehingga LSP ini dapat segera diwujudkan di Indonesia," katanya.
Setiawan menambahkan bahwa Pertuni akan menjadi satu-satunya organisasi masyarakat yang mengurusi terkait Public Private Partnership (P3) di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Â
Simak Video Pilihan ini:
Warga Dunia yang Taat Aturan
Sementara itu, Anggota DPR RI, Dr. Abdul Fikri Faqih, mengapresiasi gagasan Pertuni. Disebutkan pentingnya perubahan mindset masyarakat terhadap penyandang disabilitas.Â
Fikri, yang pernah terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, mengingatkan bahwa pengakuan eksistensi Indonesia di dunia internasional juga berkat peran serta penyandang disabilitas.Â
Selama ini atlet-atlet disabilitas Indonesia mampu meraih prestasi membanggakan di berbagai ajang olahraga internasional.
"Eksistensi kita itu diakui karena juga salah satunya penyandang disabilitas di Indonesia. Bahkan atlet-atlet kita yang normal itu prestasinya mungkin kadang-kadang masih mengecewakan dan atlet kita yang penyandang disabilitas ini luar biasa," katanya.
Fikri juga menyoroti pentingnya penanganan yang tepat terhadap problematika yang dihadapi penyandang disabilitas. Menurutnya, pendekatan yang digunakan selama ini masih didasarkan pada rasa kasihan. Idealnya, pendekatan yang digunakan adalah pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
"Jadi basisnya adalah mewujudkan atau menghadirkan hak-hak. Misalnya trotoar kita ini ada guiding block, ada RAM dan sebagainya. Ternyata tidak fungsional dengan efektif. Ini saya kira perlu evaluasi kita semuanya bahwa ini bukan karena kasihan, bukan. Tapi mereka punya hak," katanya.
Di bagian lain ia menyebut pentingnya melibatkan penyandang disabilitas dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan mereka.
"Buktinya undang-undang (UU) nomor 8 tahun 2016. Itu tidak jadi kalau tidak ada kontribusi besar dari penyandang disabilitas. Akhirnya masukan-masukan itu diakomodir, akhirnya UU itu jadi. Dan ini sebagai konsekuensi dari ratifikasi internasional Convention on the Rights for Persons with Disabilities (CRPD). Saya kira kita harus menjadi penduduk dunia yang taat dengan kesepakatan-kesepakatan internasional," katanya.
Advertisement
