Liputan6.com, Jakarta - Dalam berbagai budaya di Nusantara, kelahiran bayi bukan hanya disambut dengan rasa syukur dan suka cita, melainkan juga dengan serangkaian ritual yang penuh makna simbolik dan spiritual.
Salah satu tradisi yang masih bertahan dalam sebagian masyarakat Indonesia adalah tradisi tembuni, yakni praktik dan ritual yang berkaitan dengan penanganan plasenta atau ari-ari bayi setelah kelahiran.
Tembuni, atau dalam istilah medis disebut plasenta, merupakan organ yang selama sembilan bulan menemani bayi dalam kandungan, memberikan nutrisi, oksigen, dan perlindungan dari zat-zat berbahaya.
Advertisement
Baca Juga
Dalam kacamata tradisional, tembuni dianggap lebih dari sekadar organ biologis ia dilihat sebagai saudara kembar dari sang bayi, atau bahkan sebagai makhluk halus penjaga yang memiliki hubungan batin yang erat dengan si anak.
Oleh sebab itu, proses memperlakukan tembuni tidak dilakukan sembarangan, tetapi melalui rangkaian prosesi yang sakral, penuh penghormatan, dan mengandung nilai spiritual yang tinggi.
Tradisi tembuni memiliki variasi yang beragam, tergantung pada daerah dan latar budaya masyarakatnya. Misalnya di Jawa, setelah bayi lahir dan plasenta dikeluarkan, tembuni akan dicuci bersih, dibungkus dengan kain putih bersih (kadang disertai bunga tujuh rupa), lalu dimasukkan ke dalam kendi atau tempurung kelapa.
Setelah itu, kendi berisi tembuni akan dikubur di dekat rumah, biasanya di bawah pohon tertentu atau tempat yang dianggap aman dan suci. Dalam beberapa kepercayaan, posisi kuburan tembuni juga disesuaikan dengan jenis kelamin bayi jika laki-laki ditanam di sebelah kanan rumah, jika perempuan di sebelah kiri.
Proses penguburan ini pun disertai doa-doa agar sang bayi senantiasa dijaga, diberikan perlindungan dari gangguan makhluk halus, serta kelak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, kuat, dan berbudi luhur. Ada pula yang menyertakan alat tulis, uang koin, atau mainan kecil di dalam kuburan tembuni, sebagai simbol harapan orang tua agar anaknya menjadi pintar, berkecukupan, dan bahagia.
Keyakinan terhadap pentingnya perlakuan khusus terhadap tembuni berasal dari pandangan bahwa kehidupan manusia tidak dimulai saat lahir, melainkan sejak dalam kandungan. Dalam tradisi lisan banyak masyarakat adat, tembuni dianggap sebagai teman sejati bayi di alam rahim.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Arus Globalisasi
Ia menemani, melindungi, bahkan menjadi pembisik spiritual. Maka dari itu, jika tembuni tidak ditangani dengan benar, diyakini dapat membawa dampak buruk bagi si anak di masa depan.
Misalnya, anak bisa menjadi penakut, sakit-sakitan, sering mengalami mimpi buruk, atau merasa gelisah tanpa sebab. Bahkan ada kepercayaan bahwa jika kuburan tembuni terganggu, maka anak yang bersangkutan akan merasa tidak tenang.
Oleh karena itu, menjaga lokasi dan kebersihan kuburan tembuni menjadi tanggung jawab tersendiri bagi keluarga. Tidak jarang, lokasi penguburan itu juga dijadikan tempat "ziarah" kecil oleh sang ibu atau nenek, terutama saat anak mengalami kesulitan dalam hidup.
Di luar konteks spiritual dan kepercayaan, tradisi tembuni juga mengandung pesan ekologis dan budaya yang mendalam. Proses mencuci, membungkus, dan menguburkan tembuni dengan penuh kehati-hatian merupakan bentuk penghormatan terhadap tubuh manusia dan siklus kehidupan itu sendiri.
Dalam dunia yang semakin modern, praktik-praktik seperti ini bisa menjadi pengingat pentingnya menghormati proses alami kelahiran dan kematian, serta memperlakukan tubuh manusia dengan etika yang luhur. Bahkan jika ditelaah lebih dalam, tembuni sebagai saudara kembar bayi mencerminkan filosofi kebersamaan sejak dini—sebuah pelajaran tentang pentingnya relasi, perlindungan, dan ketergantungan timbal balik.
Dalam masyarakat yang menganut individualisme tinggi, konsep ini dapat menjadi antitesis yang menggugah—bahwa manusia tidak pernah benar-benar lahir sendirian, dan bahwa sejak awal kita selalu memiliki "teman" yang membantu kita bertumbuh.
Namun demikian, tradisi tembuni juga menghadapi tantangan di era modernisasi. Banyak rumah sakit kini langsung membuang plasenta sebagai limbah medis tanpa menanyakan kepada keluarga pasien, atau tanpa mempertimbangkan latar belakang budaya mereka.
Hal ini kadang menimbulkan konflik antara modernitas dan tradisi. Sebagian keluarga yang tetap ingin menjalankan tradisi tembuni harus menyampaikan permintaan khusus kepada pihak rumah sakit, dan tidak jarang menemui hambatan administratif.
Di sisi lain, sebagian masyarakat juga mulai meninggalkan tradisi ini karena dianggap tidak relevan dengan kehidupan modern. Meski begitu, tidak sedikit pula yang berupaya mempertahankannya, bahkan menggabungkannya dengan pendekatan medis yang lebih steril dan aman.
Beberapa komunitas bahkan mulai mengarsipkan dan mendokumentasikan praktik ini sebagai bagian dari warisan budaya tak benda yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Melalui tradisi ini, masyarakat menyampaikan penghormatan pada awal kehidupan, menanam harapan untuk masa depan, serta menjaga kesinambungan antara generasi.
Di tengah arus globalisasi yang kadang mengikis makna-makna lokal, pelestarian tradisi seperti tembuni bukan hanya bentuk pelestarian budaya, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap keutuhan hidup manusia sejak dalam kandungan.
Penulis: Belvana Fasya Saad
Advertisement
