Arab Saudi dan Geopolitik Bayangi Pasar Saham Indonesia

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan dipengaruhi risiko baik dari dalam negeri dan luar negeri. Salah satunya Arab Saudi.

oleh Agustina Melani diperbarui 04 Jan 2018, 08:15 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2018, 08:15 WIB
IHSG Menguat 11 Poin di Awal Tahun 2018
Layar indeks harga saham gabungan menunjukkan data di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Angka tersebut naik signifikan dibandingkan tahun 2016 yang hanya mencatat penutupan perdagangan pada level 5.296,711 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat pertumbuhan positif sepanjang 2017. IHSG mampu tumbuh 19,99 persen. Pertumbuhan IHSG itu juga terjadi di tengah investor asing merealisasikan keuntungannya mencapai Rp 39 triliun.

Lalu bagaimana dengan risiko yang perlu diwaspadai investor pada 2018? Apa dampak pilkada ke pasar saham Indonesia?

Head of Intermediary PT Schroder Investment Management Indonesia Teddy Oetomo menuturkan, ada sejumlah faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi pasar saham Indonesia pada 2018. Dari faktor internal, fundamental ekonomi Indonesia. Teddy menuturkan, bila fundamental ekonomi memburuk dapat mendorong aksi jual oleh investor asing.

"Pasar saham refleksi cermin dari ekonomi. Ekonomi itu harus dijaga dulu," ujar dia, saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Kamis (4/1/2018).

Sedangkan dampak pemilihan kepala daerah (Pilkada) terhadap pasar saham, Teddy menilai faktor itu dapat menjadi katalis positif. Hal itu mengingat konsumsi masyarakat cenderung membaik sebelum pemilihan umum (Pemilu).

"Pilkada di 17 provinsi dan tapi berdasarkan faktual data satu tahun sebelum pemilu konsumsi membaik termasuk pemerintah sehingga membantu. Emiten di sektor konsumsi besar. Banyak perbankan tergantung dari sektor konsumsi. Sektor membaik bagi pasar saham Indonesia," jelas dia.

Dari faktor eksternal, MSCI akan memasukkan portofolio saham Arab Saudi juga menjadi tantangan. Teddy menuturkan, bila selama ini semua pihak membicarakan China masuk indeks saham MSCI, padahal Arab Saudi juga perlu jadi sorotan. Bila saham Arab Saudi masuk indeks MSCI akan ada pengurangan bobot atau ada portofolio saham yang dikeluarkan.

Teddy menambahkan, faktor risiko geopolitik dengan pemerintahan Amerika Serikat saat ini juga perlu diwaspadai. "Jadi waktunya bangun news, baru adjust portofolio pendek. Tiba-tiba terjadi, sehingga harus cepat tanggap rebalancing sebagainya," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Investasi Saham Masih Menarik pada 2018

Akhir tahun 2017, IHSG Ditutup di Level 6.355,65 poin
Pekerja tengah melintas di bawah papan pergerakan IHSG di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Karena hal tersebut, Jokowi memberi apresiasi kepada seluruh pelaku industri maupun otoritas pasar modal. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pasar saham Indonesia mencatatkan kinerja gemilang sepanjang 2017. Tercatat pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai 19,99 persen. IHSG pun mencetak rekor tertinggi di 6.355. Sejumlah sektor saham membukukan keuntungan besar, antara lain sektor saham keuangan, industri dasar, dan konsumsi.

Lalu bagaimana prospek saham di Indonesia pada 2018? Apa saja sektor saham yang masih menarik untuk dicermati investor?

Head of Intermediary PT Schroder Investment Management Indonesia, Teddy Oetomo menuturkan, investasi di saham masih menarik pada 2018. Adanya optimisme pemulihan ekonomi global sehingga berdampak ke pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi katalis positif. Dana Moneter Internasional atau IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi sekitar 3,6 persen pada 2018.

"Kalau misalnya setuju pandangan ekonomi tidak cuma Indonesia, tetapi dunia arahnya pertumbuhan lebih baik otomatis akan menarik di saham. Saham tergantung dari laba bersih yang didorong pertumbuhan ekonomi. Angka konsensus pertumbuhan laba bersih 13 persen," ujar Teddy saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Selasa 2 Januari 2018.

Oleh karena itu, Teddy menuturkan, prospek investasi saham tergantung dari kemampuan fundamental ekonomi Indonesia. Apabila pertumbuhan ekonomi positif diharapkan dapat dorong pertumbuhan kinerja emiten sekitar 13 persen pada 2018.

Meski demikian, Teddy mengingatkan soal valuasi saham di Indonesia. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), rata-rata price earning share (PER) sekitar 15,2 kali pada 2017.

"Saat ini kita berdasarkan PE rasio harga dibandingkan laba bersih 15,8-16. Rasanya untuk berpikir valuasi multiple akan sulit. Kenaikan harga saham ditopang valuasi multiple dan laba bersihnya naik. Laba bersih tahun depan naik 20 (persen) sulit," ujar Teddy.

Namun, Teddy menuturkan, valuasi saham Indonesia tidak terlalu mahal dan murah ketimbang negara memiliki karakter ekonomi mirip Indonesia, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Untuk sektor saham, Teddy memilih sejumlah sektor saham antara lain sektor konsumsi, infrastruktur, bank, dan komoditas. Akan tetapi, pertumbuhan sektor saham itu juga melihat dari daya beli masyarakat.

"Sektor konsumsi menarik, jangan hanya terlalu patok ke ritel. Sektor konsumsi juga bisa dari produsen. Kemudian perusahaan yang terafiliasi dengan infrastruktur secara proyek mungkin menarik. Bank juga dengan membaiknya kredit macet. Lumayan tersebar cukup luas," kata Teddy.

Di sektor saham konstruksi, Teddy memprediksi kemungkinan kinerjanya akan membaik ditopang proyek-proyek yang berjalan. Namun ia mengingatkan untuk mewaspadai level utang lantaran sektor ini juga intensif memerlukan modal untuk kerjakan proyek.

"Bobot utang diwaspadai. Prefer level utang tidak terlalu tinggi. Karena utang terlalu tinggi risiko makin besar. Paling baik cari perusahaan konstruksi dengan utang tidak terllau tinggi," jelas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya