Cetak Rekor Tertinggi di 6.355, Bagaimana Arah IHSG pada 2018?

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi lanjutkan pertumbuhan positif pada 2018.

oleh Agustina Melani diperbarui 02 Jan 2018, 08:20 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2018, 08:20 WIB
Akhir tahun 2017, IHSG Ditutup di Level 6.355,65 poin
Pergerakan saham terlihat di sebuah monitor, Jakarta, Jumat (29/12). Angka tersebut naik signifikan apabila dibandingkan tahun 2016 yang hanya mencatat penutupan perdagangan pada level 5.296,711 poin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi lanjutkan pertumbuhan positif pada 2018. Hal itu asalkan ditopang pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berjalan lancar dan pertumbuhan ekonomi sesuai harapan.

IHSG mampu mencatatkan performa gemilang sepanjang 2017. IHSG mampu naik 19,99 persen. Penguatan IHSG 2017 juga didorong sektor keuangan tumbuh 40 persen, disusul sektor saham industri dasar menguat 28 persen, dan sektor konsumsi tumbuh 23 persen.

Lalu, bagaimana prediksi IHSG pada 2018?

Dalam riset PT Sinarmas Sekuritas, disebutkan IHSG akan menembus level 6.715 pada 2018. Hal itu didorong dari pertumbuhan earning per share (eps) atau laba bersih per saham 9,9 persen atau 17,6 kali. Kenaikan pertumbuhan eps itu lebih tinggi dari posisi 2017 di kisaran 8,3 persen. Demikian mengutip riset PT Sinarmas Sekuritas, Selasa (2/1/2018).

Pertumbuhan IHSG juga didorong pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik pada 2018. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan didukung dari harga komoditas dan menguatnya konsumsi rumah tangga. Ekonomi Indonesia diharapkan tumbuh 5,25 persen-5,35 persen pada 2018. Inflasi diharapkan stabil di kisaran 3,5 persen-4 persen.

Selain itu, riset PT Sinarmas Sekuritas menyebutkan anggaran bantuan sosial pemerintah, mulai dari bantuan pangan nontunai, dana desa, dan bantuan sosial diharapkan dapat mendorong konsumsi masyarakat, sehingga memperkuat ekonomi 2018.

Pelaksanaan Asian Games dan jelang satu tahun pemilihan presiden diharapkan juga jadi katalis untuk dorong konsumsi belanja swasta.

Sementara itu, analis PT OSO Securities Riska Afriani menuturkan, IHSG berpotensi ke level 6.700-6.900 pada 2018. Pertumbuhan IHSG ditopang optimisme pelaku pasar terhadap pertumbuhan ekonomi bakal membaik. Dengan pertumbuhan ekonomi membaik, dapat mendorong emiten mencetak keuntungan lebih tinggi.

Riska menambahkan, pertumbuhan jumlah emiten di pasar modal Indonesia juga jadi salah satu pendorong pertumbuhan IHSG. Riska menuturkan, pasar modal Indonesia masih jadi tempat menarik untuk perusahaan mencari pembiayaan lewat penawaran saham perdana ke publik.

Selain itu, meski Indonesia memasuki tahun politik, pertumbuhan ekonomi masih bisa positif. Ditambah faktor eksternal dengan pertumbuhan ekonomi global, terutama Amerika Serikat (AS), yang sesuai jalur.

"Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tentu akan meningkatkan ekspor. Selama ini ekspor banyak ke China dan Amerika Serikat," kata Riska.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Tantangan Pasar Saham Indonesia

Akhir tahun 2017, IHSG Ditutup di Level 6.355,65 poin
Pekerja tengah melintas di bawah papan pergerakan IHSG usai penutupan perdagangan pasar modal 2017 di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Perdagangan bursa saham 2017 ditutup pada level 6.355,65 poin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang dihadapi pasar saham Indonesia pada 2018. Riset PT Sinarmas Sekuritas menyebutkan, kebijakan bank sentral menjadi salah satu fokus pelaku pasar.

Bank Indonesia (BI) dinilai fokus untuk stabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 2018. Hal itu mengingat inflasi akan lebih tinggi dan tekanan dari global.

"Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga maksimal 50 basis poin pada 2018. Ini tergantung dari keputusan bank sentral Amerika Serikat memperketat kebijakan moneter," tulis riset PT Sinarmas Sekuritas.

Head of Intermediary PT Schroder Investment Management Indonesia, Teddy Oetomo menuturkan, fundamental ekonomi Indonesia menjadi tantangan untuk pasar saham pada 2018. Teddy menuturkan, bila fundamental ekonomi memburuk dapat mendorong aksi jual oleh investor asing.

"Pasar saham refleksi cermin dari ekonomi. Ekonomi itu harus dijaga dulu," ujar dia.

Selain itu, MSCI akan memasukkan portofolio saham Arab Saudi juga menjadi tantangan. Teddy menuturkan, bila selama ini semua pihak membicarakan China masuk MSCI, padahal Arab Saudi juga perlu jadi sorotan. Bila saham Arab Saudi masuk indeks MSCI akan ada pengurangan bobot atau ada portofolio saham yang dikeluarkan.

Teddy menambahkan, faktor risiko geopolitik dengan pemerintahan Amerika Serikat saat ini juga perlu diwaspadai. "Jadi waktunya bangun news, baru adjust portofolio pendek. Tiba-tiba terjadi, sehingga harus cepat tanggap rebalancing sebagainya," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya