Tiga Perusahaan Telekomunikasi China Minta NYSE Tinjau Ulang Delisting

Menyusul kepergian Donald Trump dari Gedung Putih, ketiga perusahaan China itu kini telah meminta NYSE meninjau kembali rencana delisting.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 23 Jan 2021, 21:00 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2021, 21:00 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis David Haubner (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, Jakarta - Tiga raksasa telekomunikasi China, meminta Bursa Efek New York (NYSE) meninjau kembali keputusan untuk melakukan delisting atau penghapusan pencatatan saham mereka. Ketiga perusahaan tersebut yaitu China Unicom, China Mobile dan China Telecom.

Mereka juga memohon untuk diberikan penundaan penangguhan perdagangan selama masa peninjauan dilakukan. Peninjauan rencananya akan dijadwalkan setidaknya 25 hari kerja sejak tanggal permintaan diajukan, tulis pernyataan itu.  

Adapun aksi penghapusan tersebut merupakan perintah eksekutif yang dikeluarkan Presiden AS ke-45 Donald Trump. Dalam perintah tersebut, Trump melarang orang Amerika berinvestasi di perusahaan publik yang dianggap memiliki hubungan dengan militer China.

Larangan investasi AS telah memicu dampak yang lebih luas bagi perusahaan. Ketiga perusahaan itu sudah kehilangan valuasi pasar lebih dari USD 30 miliar pada minggu-minggu terakhir 2020. Lantaran seluruh investor menarik kembali saham mereka setelah perintah Trump keluar pada November 2020.

Menyusul kepergian Donald Trump dari Gedung Putih, ketiga perusahaan China itu kini telah meminta NYSE meninjau kembali rencana delisting.

Dilansir dari laman Bloomberg, Sabtu (23/1/2021), ketiga perusahaan telekomunikasi China tersebut menyatakan mereka telah mematuhi hukum maupun aturan pasar secara ketat. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Wall Street Bervariasi, Indeks Saham Nasdaq Cetak Rekor

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Director of Trading Floor Operations Fernando Munoz (kanan) saat bekerja dengan pialang Robert Oswald di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street jatuh ke zona bearish setelah indeks Dow Jones turun 20,3% dari level tertingginya bulan lalu. (AP Photo/Richard Drew)

Bursa saham Amerika Serikat atau wall street bervariasi pada perdagangan saham Jumat waktu setempat. Hal ini ditunjukkan dengan indeks saham Nasdaq kembali cetak rekor, sedangkan indeks saham S&P 500 dan Dow Jones tertekan.

Di wall street pada Jumat, 22 Januari 2021 waktu setempat, indeks saham S&P 500 melemah 0,3 persen menjadi 3.841,47 setelah sentuh rekor pada sesi sebelumnya. Indeks saham Nasdaq naik 0,1 persen ke posisi 13.543,06, didorong saham teknologi. Indeks saham Dow Jones tergelincir 179,03 poin atau 0,6 persen ke posisi 30.996,98.

Saham IBM melemah 9,9 persen setelah perusahaan melaporkan kinerja kuartal IV di bawah harapan. Pendapatan turun enam persen. Saham Intel melemah 9,3 persen setelah menguat enam persen pada perdagangan Kamis, 21 Januari 2021 yang didorong pendapatan lebih baik dari perkiraan.

Harapan untuk musim pendapatan yang kuat dari perusahaan komunikasi dan teknologi memicu reli saham kapitalisasi besar selama sepekan. Hal tersebut berdampak positif terhadap indeks saham acuan. Indeks saham Nasdaq menguat 4,2 persen selama sepekan, indeks saham S&P 500 dan Dow Jones masing-masing naik 1,9 persen dan 0,6 persen.

Saham Apple naik 1,6 persen sehingga  mendorong kenaikan harga sahamnya selama sepekan menjadi 9,4 persen. Saham Facebook dan Microsoft masing-masing naik 9,2 persen dan 6,3 persen pada pekan ini. Perusahaan teknologi besar dijadwalkan akan melaporkan pendapatan pada pekan depan.

“Tidak seperti awal bulan ini, reli minggu ini telah dipimpin oleh growth stocks and saham teknologi berkapitalisasi besar,” ujar Chief Investment Officer UBS, Mark Haefele, seperti dilansir dari CNBC, Sabtu, 23 Januari 2021.

Rencana Stimulus COVID-19

Joe Biden dan Kamala Harris Resmi Pimpin Amerika Serikat
Presiden Joe Biden berbicara selama Pelantikan di US Capitol di Washington, Rabu (20/1/2021). Joe Biden mengalahkan Donald Trump di pemilu AS 2020 dengan perolehan 81 juta suara. (AP Photo/Patrick Semansky, Pool)

Investor menilai kembali prospek rencana stimulus COVID-19 Presiden AS Joe Biden. Semakin banyak anggota Partai Republik menyatakan keraguan atas perlunya RUU stimulu terutama senilai USD 1,9 triliun yang diusulkan Biden.

Sementara itu, Senator Demokrat Joe Manchin telah kritik pemeriksaan stimulus yang diusulkan. Perbedaan pendapat dari salah satu partai menjadi beban bagi Biden.

Realitas politik Washington mulai mempengaruhi pasar, dan semakin tidak jelas kapan tujuan stimulus ambisius Demokrat akan menjadi undang-undang,” ujar Pendiri Sevens Report Tom Essaye.

Sektor siklikal atau sektor paling diuntungkan dari stimulus tambahan telah memberikan tekanan kepada pasar. Sektor saham energi, keuangan dan material penghambat terbesar setidaknya melemah satu persen pada pekan ini.

Sementara itu, dengan indeks saham S&P 500 naik 2,3 persen pada 2021, beberapa investor percaya pasar mungkin akan menguat seiring distribusi vaksin dan pemulihan ekonomi masih mungkin terjadi.

“Pendulum COVID-19 yang biasanya menekankan optimism vaksin atas kenyataan jangka pendek yang keras, beralih kembali terutama bursa saham terpukul di Eropa,” ujar Pendiri Vital Knowledge Adam Crisafulli.

Sementara itu, Komite Senat sangat mendukung mantan ketua The Federal Reserve (the Fed) Janet Yellen sebagai Menteri Keuangan di pemerintahan Joe Biden.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya