Peter Gontha Beberkan Chairul Tanjung Rugi Rp 11 Triliun di Garuda Indonesia

Komisaris PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) Peter Gontha mengungkapkan mengenai kerugian pengusaha Chairul Tanjung di Garuda Indonesia.

oleh Agustina Melani diperbarui 06 Jun 2021, 17:48 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2021, 13:21 WIB
Garuda Indonesia kembali meluncurkan pesawat bermasker bermotif batik Tambal khas dari Yogyakarta
Garuda Indonesia kembali meluncurkan pesawat bermasker bermotif batik Tambal khas dari Yogyakarta (dok: Humas)

Liputan6.com, Jakarta - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kini menjadi perhatian lantaran kinerja keuangan yang tertekan. Kali ini Komisaris PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) Peter F.Gontha menyebutkan kerugian  yang dialami salah satu pemegang saham minoritas yaitu Chairul Tanjung (CT) di Garuda Indonesia.

Melalui akun Instagram @petergontha, Peter F. Gontha menyampaikan surat terbuka merespons  pernyataan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga.

"Kepada mas Arya Sinulingga, Mhon maaf saya kasih penjelasan dikit yah melalui surat terbuka,” tulis dia.

Ia mengatakan, pihaknya mewakili pemegang saham minoritas yaitu Chairul Tanjung.

Berdasarkan data RTI per 31 Mei 2021, Chairul Tanjung melalui PT Trans Airways mengenggam 28,27 persen saham Garuda Indonesia atau setara 7,31 miliar saham. Selain PT Trans Airways, pemerintah mengenggam 60,54 persen saham GIAA dan masyarakat dengan kepemilikan di bawah lima persen sebesar 11,19 persen.

"Memang saya mewakili orang yang memegang saham minoritas, artinya dikitlah cuman 28 persen, yaitu Chairul Tanjung (CT). Tapi si minoritas yang sudah rugi Rp 11 triliun,” tulis dia.

Peter Gontha pun memaparkan mengenai perhitungan kerugian tersebut. Pertama, ketika Chairul Tanjung diminta tolong untuk menyerap saham GIAA. Saat itu, Chairul Tanjung menyetor USD 250 juta dengan kurs dolar AS diperkirakan Rp 8.000 per dolar AS. Saat ini, kurs dolar AS mencapai Rp 14.500.

"Waktu CT diminta tolong karena para underwriter gagal total, CT setor USD 250 juta, waktu itu $ masih sekitaran Rp 8.000. Sekarang $ sudah Rp 14.500,” tulis dia.

Kedua, Peter Gontha menyebutkan saat itu harga saham GIAA Rp 625. Harga saham GIAA pun kini merosot menjadi Rp 256 per saham.

"Harga saham waktu itu Rp 625 sekarang sudah Rp 256. Silahkan hitung tapi menurut saya, dalam kurun waktu 9 tahun kerugian CT saya hitung sudah Rp 11,2 triliun termasuk bunga belum hitung inflasi, banyak juga yah Mas Arya?,” tulis dia.

Peter menyebutkan, kalau orang yang tidak setor apa-apa bikin aturan dan strategi tanpa melibatkan Chairul Tanjung. “Sementara orang yang tidak setor apa2 bikin aturan2 dan strategi tanpa libatkan pihak pak CT. Sedih kan?(Bukan marah lho),” tulis dia.

Peter menulis, pihak yang paling sakit adalah Chairul Tanjung yang disebut sebagai pemegang saham minoritas atau ece-ece. Oleh karena itu, ua mendapatkan amanah untuk mewakilinya.

"Jadi karena saya mendapat amanah untuk mewakili beliau ya saya harus menyuarakan kegalauan orang yang percaya kepada saya. Menurut saya Rp 11,2  triliun banyak juga yah?,” kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Dirut Garuda Indonesia Irfan Setiaputra: Kami Sedang Fokus Pulihkan Kinerja

Komut dan Dirut Paparkan Semangat Baru Garuda Indonesia
Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) Irfan Setiaputra saat berkenalan kepada media di Jakarta, Jumat (24/1/2020). Dalam perkenalan tersebut Triawan dan Irfan memaparkan program program baru untuk pembenahan Garuda Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra, mengatakan bahwa belum bisa banyak mengomentari berbagai pertanyaan mengenai kondisi perusahaan. Saat ini, perseroan tengah fokus memulihkan kinerja.

"Saat ini, kami jajaran manajemen Garuda Indonesia berkeinginan untuk fokus dan memaksimalkan upaya dalam upaya pemulihan kinerja serta berbagai program strategis yang tengah dijalankan perusahaan," jelas Irfan dalam keterangannya pada Kamis, 3 Juni 2021.

Ia menyadari, saat ini banyak pendapat yang dikemukakan oleh berbagai pihak mengenai kondisi Garuda Indonesia. Menurutnya itu adalah sebuah keniscayaan di era keterbukaan informasi seperti saat ini.

Sedari awal, katanya, jajaran manajemen Garuda Indonesia berkomitmen penuh untuk selalu memprioritaskan transparansi kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk media sebagai mitra strategis perusahaan.

"Namun saya juga meminta pemakluman bilamana saya belum dapat menyampaikan tanggapan lebih lanjut atas opini yang mengemuka saat ini, untuk juga tidak menciptakan polemik-polemik baru," jelasnya.

Seperti diketahui, Garuda Indonesia tengah mengalami kesulitan keuangan imbas berbagai masalah dan dampak pandemi Covid-19. Utang perseroan hingga kini terus menumpuk mencapai Rp 70 triliun, dan diperkirakan terus bertambah Rp 1 triliun tiap bulannya.

Berbagai siasat pun dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan, mulai dari pensiun dini karyawan hingga penangguhan gaji komisaris.

 

Erick Thohir soal Garuda Indonesia, Masalah Lessor hingga Salah Model Bisnis

Maskapai nasional Garuda Indonesia pada Jumat (15/1) meluncurkan livery khusus dalam rangka mendukung program vaksinasi Covid-19 nasional. (Dok Garuda)
Maskapai nasional Garuda Indonesia pada Jumat (15/1) meluncurkan livery khusus dalam rangka mendukung program vaksinasi Covid-19 nasional. (Dok Garuda)

Sebelumnya, Menteri BUMN, Erick Thohir, mengungkapkan masalah terbesar yang dihadapi Garuda Indonesia saat ini. Hal ini berkaitan dengan penyewaan pesawat (lessor).

"Garis besar seperti ini, sejak awal kami di kementerian meyakini bahwa memang salah satu masalah terbesar di Garuda Indonesia mengenai lessor. Di situ ada 36 lessor memang harus kami petakan ulang, mana lessor yang masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif," ungkap Erick dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Kamis, 3 Juni 2021.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa ada lessor yang tidak terkait dengan kasus tersebut. "Tetapi pada hari ini kemahalan karena ya kondisi, nah itu yang kita juga harus negosiasi ulang. Beban terberat saya rasa itu," lanjutnya.

Beban berat kedua yaitu harus berani mengubah model bisnis. Dalam hal ini tidak hanya Garuda Indonesia, tapi banyak perusahaan BUMN setelah pasca Covid-19. Berdasarkan data, dari total perjalanan yang ada sebanyak 78 persen adalah domestik dan hanya 22 persen perjalanan ke luar negeri.

Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan, Erick pun menilai Garuda Indonesia semestinya lebih baik fokus di pasar domestik. Sementara untuk perjalanan ke luar negeri disarankan menggunakan sistem cost sharing.

"Untuk ke luar negerinya, kita cost sharing saja karena memang banyak negara yang pasti harus melakukan ekspansi internasional karena negaranya hanya sepulau atau setitik," tuturnya.

Oleh sebab itu, Erick menilai Garuda Indonesia tidak perlu meniru strategi tersebut karena perbedaan model bisnis.

Kementerian BUMN pun telah berbicara dengan Menteri Perhubungan dan memberikan dukungan jika nanti tidak semua bandara terbuka untuk maskapai asing. Terlebih lagi di tengah pandemi Covid-19, sehingga ini merupakan kesempatan bagi maskapai domestik untuk memperbaiki kinerjanya.

"Ini kesempatan kita sinkronisasi dengan kementerian lain, jika airport titik yang dibuka maka dari airport titik itu, Garuda bisa menyebar ke 20 kota. Titik airport dibuka, tapi dari titik ke dalam domestik hanya Garuda ataupun misalnya penerbangan swasta," kata Erick.

Hal itu menurut Erick yang harus dilakukan oleh Garuda Indonesia. Terlebih lagi, bebarapa negara seperti China dan Amerika Serikat (AS) juga melakukan hal serupa.

"Kita mau ke AS juga hanya beberapa airport bisa di mendarati, tidak bisa semua kota. China juga seperti itu," jelasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya