Menakar Prospek Saham Emiten Tambang di Tengah Kenaikan Harga Batu Bara

Harga batu bara acuan (HBA) naik ke posisi USD 100,33 per ton pada Juni 2021. HBA naik USD 10,59 per ton dibandingkan Mei 2021 yang sebesar USD 89,74 per ton.

oleh Agustina MelaniDian Tami Kosasih diperbarui 16 Jun 2021, 08:18 WIB
Diterbitkan 16 Jun 2021, 08:18 WIB
Pergerakan IHSG Turun Tajam
Pengunjung melintas di papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Sektor saham emiten tambang terutama batu bara dinilai masih menarik hingga akhir 2021. Hal ini seiring potensi pemulihan ekonomi sehingga mendorong harga batu bara menguat.

Harga batu bara acuan (HBA) naik ke posisi USD 100,33 per ton pada Juni 2021. HBA naik USD 10,59 per ton dibandingkan Mei 2021 yang sebesar USD 89,74 per ton. HBA itu tertinggi sejak November 2018 USD 97,90 ton.

Sementara itu, berdasarkan data trading economic, harga batu bara berjangka naik menjadi USD 119 per ton pada Juni 2021, dan tertinggi sejak Oktober 2011. Sementara itu, harga batu bara ICE Newcastle di posisi USD 124 per ton pada Senin 14 Juni 2021.

Analis PT Sucor Sekuritas Hendriko Gani menuturkan, sektor saham emiten tambang batu bara masih menarik dalam jangka menengah seiring harga batu bara tinggi. Hal itu dipicu ada gangguan hubungan antara China dan Australia sehingga mendorong kenaikan harga batu bara.

Hubungan Australia-China yang terganggu itu lantaran saat Canberra menyatakan penyelidikan internasional tentang asal usul pandemi COVID-19 pada April 2020. "Jadi China tidak bisa impor dari Australia,” ujar Hendriko saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, kenaikan harga batu menjadi sentimen positif dengan harapan kinerja emiten batu bara ikut terdongkrak hingga akhir 2021.

Meski demikian, ia menuturkan, ada sentimen yang tekan  emiten batu bara yaitu penerapan manajemen lingkungan, sosial dan corporate atau ESG (environmental, social and corporate governance). Hal ini seiring langkah global mendorong pemakaian energi hijau atau green energy yang ramah lingkungan. Namun, Hendriko menilai investasi di batu bara masih akan terbuka mengingat sejumlah negara masih membutuhkan batu bara seperti China dan Indonesia.

Direktur Riset dan Investasi PT Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus menuturkan, kenaikan harga batu bara seiring komoditas masuk sektor saham siklikal. Sektor saham tersebut bergantung pada pemulihan ekonomi. Salah satunya ditunjukkan dari permintaan naik seiring pemulihan ekonomi mendorong harga minyak menjadi USD 70 per barel.

"Komoditas termasuk cylical stock ketika pemulihan ekonomi terjadi sehingga pergerakan naik. Pemulihan ekonomi dorong pergerakan komoditas, properti dan otomotif,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, China alami pemulihan ekonomi dapat berdampak positif untuk Indonesia. Hal ini seiring China termasuk mitra dagang sehingga menguntungkan Indonesia. Dengan demikian diharapkan ada permintaan batu bara dari Indonesia. Selain pemulihan ekonomi China, hubungan dengan Australia juga menjadi sentimen harga batu bara

“Hubungan China dan Australia juga tetap harus diperhatikan. Australia sudah bersedia duduk bersama. Australia butuh China karena termasuk mitra dagang utama juga,” kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Sentimen yang Bayangi Saham Emiten Batu Bara

IHSG Dibuka di Dua Arah
Pekerja melintas di dekat layar digital pergerakan saham di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (14/10/2020). Pada pembukaan perdagangan pukul 09.00 WIB, IHSG masih naik, namun tak lama kemudian, IHSG melemah 2,3 poin atau 0,05 persen ke level 5.130, 18. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, Head of Research PT Samuel Sekuritas, Suria Dharma menegaskan, investasi di sektor batu bara masih cukup baik untuk jangka pendek.

"Untuk jangka pendek masih bagus ya karena harganya tinggi ya. Kalau jangka panjang ada beberapa sentimen negatif, salah satunya pemerintah rencananya mau mengganti power plant batu bara setelah yang 35 ribu mega watt selesai. Jadi itu sentimennya negatif," katanya kepada Liputan6.com.

Hal ini menjadikan investasi pada sektor batu baru dinilai kurang menarik untuk.jangka panjang. Meski demikian, Suria mengaku, kebijakan ini belum tentu terlaksana dalam waktu dekat.

"Memang untuk jangka panjang itukan kurang bagus, tapikan itu pelaksanaannya belum tentu bisa juga, karena menggunakan new energi itukan lebih mahal. Sedangkan negara seperti, India, Indonesia, China tetap perlu listrik, jadi masih perlu batu bara," ujarnya.

Tak hanya itu, kebijakan mengenai pajak untuk batu bara juga menjadikan sektor ini memiliki sentimen negatif tambahan. "Kalau pajak juga sentimen negatif karena kalau ada pajak, marjinnya bisa kena juga kan," tuturnya. 

 

Saham Pilihan

IHSG Menguat
Seorang pria mengambil gambar layar yang menampilkan informasi pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (8/6/2020). Seiring berjalannya perdangan, penguatan IHSG terus bertambah tebal hingga nyaris mencapai 1,50 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Untuk pilihan saham yang dapat dicermati, Nico memilih saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Harum Energy Tbk (HRUM), dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).

 "Mereka punya fundamental dan prospek yang bagus dilihat dari laporan keuangan, dan nilai valuasi,” kata dia.

Sedangkan Hendriko memili saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dalam jangka menengah.Harga saham ADRO berpotensi menguat di 1.350.

"Berhasil tembus area itu, potensi menguat ke 1.500. Sedangkan area beli untuk buy on weakness di 1.240-1.260,” ujar dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya