Liputan6.com, Jakarta Ford Motor Co. bakal memiliki secara langsung saham pabrik baterai nikel yang sedang dibangun di Indonesia.
Melansir Yahoo Finance, ditulis Rabu (6/12/2023), produsen mobil AS tersebut bergabung dengan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan Zhejiang Huayou Cobalt Co. dari Tiongkok sebagai investor dalam proyek pembuatan 120,000 ton bahan kimia nikel untuk baterai kendaraan listrik setiap tahunnya.
Pabrik yang terletak di Pomalaa tersebut diharapkan mulai berproduksi komersial pada 2026, dengan total investasi sebesar Rp 67,5 triliun rupiah atau sekitar USD 4,5 miliar. Meski demikian, para investor ini tidak menjelaskan bagian investasi masing-masing perusahaan.
Advertisement
Produsen mobil global berlomba untuk memastikan aliran bahan-bahan seperti litium, kobalt, dan nikel dalam jangka panjang seiring dengan meningkatnya permintaan.
Meskipun investasi langsung di pertambangan atau kilang masih jarang, General Motors Co. telah berinvestasi di penambang litium AS, sementara Tesla Inc. tertarik membeli produsen litium.
Indonesia Jadi Sumber Utama Nikel
Indonesia menjadi sumber utama nikel siap pakai baterai menyusul gelombang investasi kilang di negara kaya mineral tersebut, yang sebagian besar dilakukan oleh perusahaan Tiongkok.
Ford, yang berencana memproduksi 2 juta EV per tahun pada akhir 2026, telah memiliki kesepakatan dengan Huayou untuk mengambil bahan baterai yang berasal dari pabrik Pomalaa.
“Kerangka kerja ini memberi Ford kendali langsung untuk mendapatkan nikel yang kami perlukan dengan salah satu cara berbiaya terendah di industri dan memungkinkan kami memastikan nikel ditambang sesuai dengan target keberlanjutan perusahaan kami,” Wakil Presiden Ford Model e Industrialisasi EV, Lisa Drake.
Teknologi High-Pressure Acid Leacuing
Pomalaa adalah proyek yang telah lama tertunda, dan merupakan contoh upaya sebelumnya dalam menggunakan teknologi high-pressure acid leacuing atau HPAL dalam membuat bahan kimia nikel dari bijih kadar rendah.
Saat ini terdapat sejumlah pabrik HPAL yang mulai bermunculan di negara Asia Tenggara ini, namun masih ada kekhawatiran mengenai kredibilitas lingkungannya.
“Teknologi ini masih sulit untuk dikembangkan, ditingkatkan, dan dikelola, dibandingkan dengan metode dan proses produksi nikel konvensional lainnya,” kata Analis BloombergNEF, Allan Ray Restauro.
Advertisement