Liputan6.com, Jakarta CEO PT Vale Indonesia, Febriany Eddy, menegaskan bahwa fluktuasi harga nikel tidak akan menghambat investasi jangka panjang perusahaan. Menurutnya, dalam industri yang volatil seperti nikel, ada dua faktor utama yang menjadi kunci keberlanjutan investasi: efisiensi biaya serta komitmen terhadap aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
“Selama 17 tahun saya di industri ini, harga nikel tidak pernah stabil. Saat saya menjabat sebagai CFO, harga nikel pernah menyentuh titik terendah, yakni 9.000 dolar per ton. Bahkan, di tahun 2007, harga sempat turun hingga 5.000 dolar per ton. Ini membuktikan bahwa harga nikel sangat fluktuatif, sehingga keputusan investasi tidak bisa hanya bergantung pada harga,” ujar Febriany dalam sebuah diskusi, ditulis Rabu (19/3/2025).
Baca Juga
Menurutnya, agar investasi tetap kompetitif dalam jangka panjang, proyek yang dikembangkan harus memiliki efisiensi biaya yang optimal.
Advertisement
Dalam industri nikel, terdapat indikator yang disebut Global Cost Curve, yang menunjukkan posisi biaya produksi suatu perusahaan dibandingkan dengan pemain lain di dunia.
“Kami selalu memastikan bahwa proyek Vale berada di kuartal 1 atau 2 dalam Global Cost Curve. Jika suatu proyek berada di kuartal 3 atau 4, kami tidak akan berinvestasi, karena saat harga nikel turun, perusahaan yang tidak efisien akan terdampak lebih dulu. Efisiensi biaya dan investasi sangat krusial agar bisnis tetap berkelanjutan,” jelasnya.
Berkelanjutan
Selain efisiensi, faktor kedua yang tak kalah penting adalah reputasi dan keberlanjutan. Vale Indonesia telah lama berkomitmen terhadap prinsip ESG, bahkan sebelum isu ini menjadi perhatian utama industri.
“Reputasi sangat berpengaruh, terutama untuk pasar tertentu yang hanya menerima reputable nickel. Saat ini, memang belum ada harga premium untuk nikel yang berkelanjutan (sustainable nickel), tapi ke depan, pasar akan bergerak ke arah sana. Jika kita memiliki nikel yang berkelanjutan, kita akan menjadi pilihan utama,” tambah Febriany.
Strategi Keuangan yang Konservatif
Febriany juga menyoroti pentingnya pengelolaan keuangan yang konservatif di tengah volatilitas harga komoditas. Hingga saat ini, PT Vale Indonesia masih belum memiliki utang, sebagai bagian dari strategi mitigasi risiko keuangan.
“Ada dua alasan utama mengapa kami menjaga balance sheet tetap konservatif. Pertama, agar kami memiliki kapasitas pendanaan untuk proyek-proyek yang sedang berkembang. Kedua, untuk menghadapi volatilitas harga nikel. Dua tahun lalu, harga nikel mencapai 23.000 dolar per ton, tahun lalu turun ke 17.000 dolar, dan hari ini menjadi 15.000 dolar. Setiap penurunan 1.000 dolar berdampak signifikan pada bottom line. Dengan balance sheet yang sehat, kami lebih siap menghadapi fluktuasi ini,” jelasnya.
Advertisement
Optimisme Perseroan
Dengan strategi ini, Vale Indonesia tetap optimistis dalam menghadapi dinamika pasar nikel dan terus berkomitmen untuk menjadi pemain global yang kompetitif dan berkelanjutan.
“Indonesia memiliki banyak sumber daya nikel. Namun, yang lebih penting bukan hanya menjadi produsen terbesar, tetapi juga yang paling kompetitif dan memiliki reputasi terbaik. Kami ingin memastikan bahwa ketika industri membutuhkan nikel, mereka akan mencari dari Indonesia terlebih dahulu,” pungkasnya.
