Liputan6.com, Jakarta - BYD membuat terobosan dengan memperkenalkan teknologi Megawatt Flash Charging. Teknologi ini memungkinkan pengisian daya baterai mobil listrik mencapai 1.000 kW hanya dengan satu konektor.
Bahkan, kapasitasnya bisa meningkat hingga 1.360 kW bila menggunakan dua konektor sekaligus, menyalip kemampuan Tesla V4 Supercharger yang sebelumnya hanya mampu mencapai 500 kW.
Baca Juga
Namun, langkah BYD ini tidak berlangsung tanpa tantangan, karena memancing persaingan dari pemain besar lain dalam industri. Huawei, misalnya, memperkenalkan charger berdaya 1,5 MW yang dirancang khusus untuk kendaraan komersial, seperti truk.
Advertisement
Tesla juga tidak tinggal diam, dengan inovasi Supercharger 750 kW untuk kendaraan berat. Zeekr turut beraksi dengan stasiun pengisian daya canggih yang berpendingin cairan, mampu menghasilkan daya hingga 1,2 MW.
Di sisi lain, startup seperti Gotion High-Tech mencoba mengambil peluang dengan menciptakan sistem baterai 5C, yang mendukung pengisian daya super cepat hanya dalam waktu 10 menit. Semua inovasi ini menunjukkan bahwa ekosistem kendaraan listrik kian kompetitif.
Antara Klaim dan Realita di LapanganMeski spesifikasi angka dari produsen sangat mengagumkan, kenyataan di lapangan justru sering kali berbeda.
Pengguna kendaraan listrik sering melaporkan bahwa waktu pengisian tidak secepat yang dijanjikan. Contohnya, mobil yang diklaim dapat mengisi daya hingga 80 persen dalam 15 menit, pada kenyataannya membutuhkan waktu dua kali lipat lebih lama.
Mengapa hal ini terjadi? Ternyata, banyak faktor teknis yang memengaruhi kinerja pengisian daya. Output daya tergantung pada stabilitas tegangan dan arus listrik yang tersedia di stasiun pengisian.
Untuk mencapai daya sebesar 1 MW, diperlukan tegangan 1.000 volt dan arus 1.000 ampere secara konsisten. Namun, mempertahankan stabilitas sebesar itu bukanlah hal yang mudah.
Biaya Pembangunan Mahal
Selain itu, proses pengisian juga dipengaruhi oleh desain platform baterai kendaraan, peningkatan tegangan selama pengisian, dan tahap akhir yang dikenal sebagai trickle-charging.
Tantangan lain yang muncul adalah tingginya biaya pembangunan stasiun pengisian ultra-cepat. Teknologi ini membutuhkan charger berpendingin cair, yang harganya berkisar antara 80.000 hingga 120.000 yuan (sekitar Rp180 juta hingga Rp270 juta). Jumlah ini tiga hingga lima kali lebih mahal dibandingkan dengan charger berpendingin udara biasa.
Tak hanya itu, sistem pendingin cair memerlukan perawatan rutin, termasuk penggantian cairan secara berkala, yang semakin menambah beban operasional. Akibatnya, jumlah stasiun pengisian daya ultra-cepat masih sangat terbatas dan sulit diakses oleh pengguna.
BYD menyadari tantangan besar yang dihadapi, khususnya beban berat pada jaringan listrik. Sebagai solusi, mereka memperkenalkan sistem penyimpanan energi internal di stasiun pengisian.
Teknologi ini memungkinkan stasiun untuk menyimpan energi pada saat beban jaringan rendah, yang kemudian disalurkan dalam jumlah besar ketika pengisian daya diperlukan.
Sistem penyimpanan ini memiliki kapasitas hingga 1,5 MWh, didukung oleh platform berbasis cloud yang dapat memantau beban jaringan secara real-time.
Namun, solusi ini tetap memiliki keterbatasan. Ketika energi dalam sistem penyimpanan habis, pengisian daya ultra-cepat tidak lagi tersedia hingga sistem terisi ulang.
Advertisement
Ajak Pihak Swasta Berinvestasi
Di sisi lain, inovasi ini juga memberikan keuntungan finansial bagi operator karena membantu menghindari biaya puncak dari penyedia listrik, sekaligus memungkinkan biaya operasional yang lebih efisien.
Para pengamat industri percaya bahwa pengisian daya ultra-cepat hanya diperlukan di lokasi-lokasi strategis, seperti rest area di jalan tol atau SPBU konvensional, di mana waktu pengisian menjadi faktor krusial.
Sementara itu, lokasi seperti pusat perbelanjaan, restoran, atau bioskop dinilai cukup dengan pengisian daya lambat karena kendaraan biasanya diparkir untuk waktu yang cukup lama.
Dalam rangka mempercepat adopsi teknologi ini, BYD telah mengajak pihak swasta untuk berinvestasi bersama dalam membangun infrastruktur pengisian daya berskala megawatt.
Pemerintah Tiongkok juga turut mendukung melalui subsidi untuk infrastruktur dan pengaturan regulasi standar. Ini membuka peluang besar untuk kolaborasi antara sektor publik dan swasta guna mempercepat transisi energi dan membangun ekosistem yang mendukung.
Sumber: Oto.com
