Jelang Pelantikan Donald Trump, Bagaimana Prospek Pasar Saham dan Obligasi?

Ada beberapa katalis jangka menengah dan panjang yang bisa dicermati investor untuk saat ini. Tapi memang harapannya kebijakan Trump 2.0 tidak menimbulkan disrupsi global semenakutkan yang diperkirakan.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 13 Jan 2025, 07:10 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2025, 07:10 WIB
Terjebak di Zona Merah, IHSG Ditutup Naik 3,34 Poin
Pekerja bercengkerama di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). IHSG ditutup naik 3,34 poin atau 0,05 persen ke 5.841,46. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Jelang pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), pasar keuangan global menunjukkan dinamika yang beragam. Investor di seluruh dunia tengah memantau arah kebijakan ekonomi dan geopolitik yang akan diambil pemerintahan baru ini.

Dengan retorika Donald Trump yang kerap menentang status quo, mulai dari kebijakan perdagangan hingga hubungan internasional, sentimen pasar terpecah antara optimisme pertumbuhan ekonomi dan kekhawatiran atas potensi konflik dagang.

Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Freddy Tedjame mencermati, beberapa media asing sempat memberitakan adanya perdebatan mengenai kebijakan visa untuk skilled immigrant (imigran terampil) dan besaran tarif perdagangan.

Diberitakan bahwa kalangan dunia usaha yang merupakan pendukung utama kampanye kepresidenan Trump, membujuk Donald Trump agar kemudahan visa bagi imigran terampil tetap dipertahankan, sehubungan dengan remunerasi yang lebih murah dibandingkan SDM lokal.

Hal ini ditentang oleh kalangan konservatif basis utama pemilih Trump yang berargumen tenaga kerja asing ‘merebut’ peluang kerja masyarakat. Perkembangan terbaru lainnya adalah wacana bahwa tarif perdagangan universal hanya akan diimplementasikan secara terarah dan spesifik untuk barang dan jasa tertentu.

"Sampai saat kita tidak tahu secara pasti kebijakan sesungguhnya, namun jika memang berita-berita ini benar adanya, seharusnya dampaknya bagus karena dapat mengurangi tekanan inflasi, dan mempermudah The Fed untuk meneruskan pemangkasan suku bunga dengan lebih leluasa," kata Freddy dalam keterangannya, Senin (13/1/2025).

 

Kebijakan Perdagangan

Perdagangan Saham dan Bursa
Ilustrasi Foto Perdagangan Saham dan Bursa (iStockphoto)

Dari sisi keseimbangan perdagangan, mau tidak mau pengenaan tarif akan berdampak pada neraca perdagangan. Tetapi jika ditelaah, Freddy mengatakan secara relatif Indonesia adalah salah satu negara yang terkena dampak minim atas potensi pengenaan tarif pemerintahan baru AS.

Pada 2023, defisit perdagangan AS terhadap Indonesia hanya USD15 miliar, 1% dari total defisit perdagangan AS. "Bandingkan misalnya dengan defisit perdagangan AS ke China yang mencapai USD 260 miliar, 26% dari total defisit perdagangannya. Seharusnya Indonesia tidak terlalu masuk dalam ‘radar’ target AS," ulas Freddy.

Hal lain, sedikit banyak Indonesia juga dapat diuntungkan oleh potensi diversifikasi basis produksi, terutama setelah beberapa negara masuk dalam perhatian AS karena posisi defisit perdagangan yang terus meningkat berada di belakang China, yaitu Meksiko, Kanada, dan juga Vietnam.

"Terakhir, fakta bahwa Indonesia memiliki perekonomian berorientasi domestik, sehingga dampak negatif dari perdagangan global lebih terbatas, walaupun tidak bisa dihilangkan," kata Freddy.

 

Katalis Jangka Menengah

Secara umum ada beberapa katalis jangka menengah dan panjang yang bisa dicermati untuk saat ini. Seperti pemangkasan Fed Funds Rate dan BI Rate yang masih berlanjut, potensi perbaikan daya beli masyarakat jika didukung implementasi kebijakan yang tepat sasaran, dan harapan kebijakan-kebijakan Trump 2.0 yang tidak menimbulkan disrupsi global semenakutkan yang diperkirakan sebelumnya.

"Kesemuanya ini dapat menjadi katalis baik bagi pasar saham maupun pasar obligasi," tandas Freddy.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya