Liputan6.com, Jakarta Siapa yang tak kenal dengan salah satu Keajaiban Dunia, yakni The Great Wall alias Tembok Besar di Tiongkok? Pelajaran geografi di sekolah mana pun, memperkenalkan tembok dengan panjang 8 ribu kilometer ini sebagai penangkal serangan musuh ke wilayah Tiongkok.
“Tapi musuh seperti apa yang kalian hadapi hingga membangun tembok seperti ini?” tanya Wiliam Garin (Matt Damon), seorang tentara bayaran yang tengah ditawan oleh pasukan Tiongkok yang berjaga di tembok tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Jawaban atas pertanyaan William ini, ternyata adalah mimpi buruk bagi masyarakat Tiongkok. Yakni puluhan ribu monster yang berniat merangsek ke tengah kota dan melahap segala hal yang ada di hadapannya.
Pengalaman William dan rekan kerjanya, Pero Tovar (Pedro Pascal) sebagai tentara bayaran, terbukti berguna dalam pertempuran ini. Dari tawanan, keduanya lantas naik kelas menjadi tamu yang kerap diminta pendapat soal pertarungan melawan monster ini.
Namun, perhatian William terbelah menjadi dua. Pero memaksanya untuk mengeksekusi tujuan awal mereka, yakni mencuri rahasia mesiu milik para pejuang di Tiongkok. Diam-diam, William juga terpanggil untuk membantu jenderal cantik nan pemberani, Lin (Tian Jing), dalam melawan monster bengis tersebut.
Keadaan makin genting karena monster mengerikan tersebut ternyata berevolusi makin pintar. Sementara Pero, memaksa William mencuri persediaan mesiu pasukan Tiongkok. Jalan mana yang dipilih William?
Barat bertemu Timur
Berbagai hal yang langsung terlihat dari film The Great Wall, adalah desain dunia dan karakter yang dibangun dalam film ini lebih mirip dengan tampilan di game online. Pasalnya, ketimbang menampilkan secara realistis, aspek visual dalam film ini kelihatannya lebih bertujuan untuk memanjakan mata dan fantasi penonton.
Sebagian terasa mengasyikkan, seperti pasukan wanita penombak yang terjun dari atas Tembok Besar sambil melakukan atraksi mirip bungee jumping atau senjata catapult berpeluru api. Tapi sebagian lagi terasa agak menggelikan, salah satunya poni Jenderal Lin yang selalu tergerai cantik meski tengah berada dalam pertempuran melawan monster.
Ada pun filmnya, mengingat film soal pertempuran yang dihadapi pasukan non-kulit putih ini mendudukkan Matt Damon sebagai bintang, rasanya mudah saja muncul syak wasangka. Yakni, bahwa film ini makin mempertegas kecenderungan di sejumlah film Hollywood sebelumnya, bahwa bangsa kulit putih selalu menjadi tokoh penyelamat.
Di beberapa bagian awal, harus diakui, kecenderungan ini memang terasa cukup kuat. Bagaimana William beberapa kali menyelamatkan pasukan Tiongkok di sela keadaan genting, terasa cukup klise.
Namun, untungnya, sutradara Zhang Yi Mou tak jatuh terlalu dalam ke lubang ini. Semakin lama film berjalan, porsi tokoh Asia dan Hollywood dalam film semakin seimbang. Terutama lewat karakter pengatur strategi Wang yang dimainkan oleh Andy Lau dan prajurit muda yang diperankan oleh mantan personel EXO, Luhan.
Hal lain yang membuat film ini cukup asyik untuk dinikmati adalah dua sekawan William dan Pero. Terutama karena Pedro Pascal—yang selama ini lebih dikenal sebagai Oberyn Martell dalam serial populer Game of Thrones—sukses memerankan karakter sinis bermulut nyinyir. Dinamika keduanya, memberikan nafas segar dalam cerita film yang sebetulnya sangat sederhana ini.
Secara garis besar, film yang kini tengah tayang di Indonesia ini mungkin bukanlah film dahsyat yang bakal membuat penonton terkenang-kenang saat sudah berada di luar bioskop. Namun selama dua jam lebih durasinya, The Great Wall mampu memberikan tontonan yang menghibur penontonnya.
Advertisement