Liputan6.com, Jakarta Mendengar respons Mas Budi, sebenarnya aku agak kecewa. Kesannya, kok rating dan share yang lagi turun lebih penting dariku. Lagipula seturun-turunnya Satu Cinta Dua Pilihan, masih dua digit, kok. Mendengar jawaban itu, aku beringsut mengambil naskah lalu membacanya dengan hati gondok.
Sepanjang hari itu, aku berakting sekenanya. Mas Budi tampak kesal tapi diam saja. Masa bodohlah. Jam 11 malam, Adinda Arahma dan Krisna Baginda pamit dari lokasi syuting. Aku dan Nadea masih ada beberapa adegan. Batinku seketika mendidih.
Advertisement
Baca Juga
SHOWBIZ BLAK-BLAKAN: Aku Didepak Produser Sinetron Karena Minta Pulang Syuting Lebih Awal (bagian 1)
SHOWBIZ BLAK-BLAKAN: Aku Didepak Produser Sinetron Karena Minta Pulang Syuting Lebih Awal (bagian 2)
SHOWBIZ BLAK-BLAKAN: Aku Didepak Produser Sinetron Karena Minta Pulang Syuting Lebih Awal (bagian 3)
Sempat, ia mendekat dan mengabari, “Eh Kak, tadi siang Pak Hadi Sasongko datang, lo.” Aku tak merespons. Nadea yang menyadari aku lagi bad mood kemudian diam. Jam 12 lewat, aku duduk di teras rumah yang menjadi set lokasi rumah Baruno.
Gagal Memperbaiki Mood
Aku mendengar lagu-lagu favorit dari YouTube berlangganan. Apes, lagu-lagu di daftar putar akun YouTube-ku tak bisa memperbaiki mood. Saat dipanggil untuk mengeksekusi adegan puncak, yakni pertengkaran Baruno dan Amarta hingga saling tampar, aku lakukan sebisanya. Jam 3 dini hari, syuting selesai.
Aku pulang begitu saja, tanpa pamit ke Budi, Nadea, dan pemain lain. Tiba di rumah, aku tidur. Tanpa mandi, cuci muka maupun sikat gigi. Sekusut itu perasaanku. Jam 6 pagi aku terbangun karena Mbak Dania menelepon, memintaku ke kantor Motion Pictures sebelum ke lokasi syuting. Aku sanggupi.
Sampai di kantor, aku masuk ke ruangan Mbak Dania. Ruangan bersejarah saat aku teken kontrak tanpa membaca detail pasal demi pasal karena lagi butuh uang. Alangkah syok, saat mendapati di ruangan itu tak ada Mbak Dania. Yang ada Hadi Sasongko. Untuk sesaat aku terdiam. Ia mempersilakan aku duduk.
Advertisement
Akting Terburuk Sepanjang Masa
“Selamat pagi, Baruno. Pagi kemarin saya membatalkan acara keluarga karena Budi mengabari saya. Katanya, kamu minta pulang jam 11 malam kayak dua pemeran utama. Saya sanggupi dengan catatan saya harus ke lokasi syuting dulu,” kata Pak Hadi tanpa basa-basi.
Aku yang baru saja duduk usai menjabat tangan Pak Hadi terpaku. Belum sempat kujawab sapa Pak Hadi, dia meletakkan bungkus rokok dan kembali memecah keheningan di ruangan itu.
“Kamu tahu bagaimana perasaan saya melihat gestur dan dialog Baruno sepanjang hari kemarin? Selama 20 tahun saya menjadi produser sinetron, film, dan FTV, itu adalah akting paling buruk yang pernah saya lihat,” lanjut Pak Hadi, dengan mata memerah.
“Benar, saya pernah memproduksi film receh Arwah Seorang Janda. Tapi jangan lupa, akting pemeran pendukungnya dinominasikan di beberapa festival film di negara ini. Cerita kadang masih bisa saya kompromikan, selama itu dibawakan dengan keren oleh pemain,” ujarnya.
Seperti Disiram Air Panas
Mendengar rentetan kalimat Pak Hadi, mukaku seperti disiram air panas. Terasa perih dan ingin segera keluar dari ruangan Mbak Dania tapi tak bisa. Pak Hadi bercerita, usai syuting semalam, ia memaki-maki Mas Budi selama setengah jam di depan para pemain dan para kru.
Mas Budi dituding tidak becus mengendalikan pemain. Melakukan pembiaran sehingga akting jelek bisa lolos dari kamera. Itu berujung pada surat peringatan yang terbit subuh tadi. Entah kenapa tiba-tiba muncul penyesalan dalam hati.
Di saat bersamaan muncul tanya, apa guna penyesalan? Bukankah penyesalan datang persis setelah semua hal menyakitkan terjadi. Aku memberanikan diri menatap wajah Pak Hadi yang memerah. Belum sempat aku menjelaskan, dia lagi-lagi menyemburkan kalimat-kalimat baru.
Advertisement
Pak Hadi, Saya Minta Maaf
“Kamu tahu kenapa saya sampai terjun ke lokasi syuting dan membatalkan acara keluarga? Karena saya paham betul, yang protes adalah Baruno, karakter krusial yang rencananya akan saya buatkan dunia sendiri nanti,” kata Pak Hadi.
Ia melanjutkan, “Saya datang untuk menyampaikan kabar bahwa permintaanmu dikabulkan. Tapi begitu melihat aktingmu lebih buruk dari perkiraan dan kamu pulang begitu saja padahal saya harap adegan yang diambil terakhir diulang, saat itu saya sadar kamu enggak punya etika. Padahal kamu tahu, kan saya ada di situ.”
“Pak Hadi, saya minta maaf. Saya menyesal berlaku tidak sopan. Apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki kesalahan saya?” aku langsung menyela.
Pak Hadi menyodorkan salah satu halaman kontrak kerja yang ditandai dengan tinta merah kepadaku. “Satu-satunya yang bisa kamu lakukan untuk memperbaiki kesalahan, mulai hari ini kamu kursus etika sampai lulus. Tidak perlu syuting lagi,” tegasnya.
Untuk Karyawan Tak Beretika
Aku shock bukan kepalang. “Pak, mana bisa begitu?” protesku dengan nada tinggi. “Untuk karyawan tak beretika, tentu bisa. Kamu lupa, kalau saya produser di sini? Setelah ini kamu ke bagian keuangan, honormu sudah ditransfer semalam langsung dari rekening saya,” jawabnya sambil meninggalkan ruangan.
Aku menyusul sambil memegangi tangannya. Aku mengingatkan bahwa penting untuk menjaga kontinuitas adegan. Setidaknya, biarkan aku menyelesaikan episode penting dalam hidup Baruno yang akan dieksekusi hari ini. Setelah itu, aku ditendang dari produksi ini tak masalah.
Aku juga ingin menyampaikan salam perpisahan kepada pemain dan kru, termasuk minta maaf kepada Mas Budi yang dibantai habis-habisan semalam. Pak Hadi hanya memandangiku, menggelengkan kepala, dan mengibaskan lengannya. Ia kemudian masuk ke lift dan naik ke lantai 5.
Pengin menangis rasanya, tapi aku tahan sebisanya. Usai mengambil tanda terima honor dan urusan administrasi lainnya, barulah aku sadar ada pasal yang mengatur soal pemain yang menghambat kinerja di lokasi syuting termasuk tata krama dalam bekerja.
Advertisement
Baruno Baru Habis Oplas?
Aku pulang dengan hati galau. Belum pernah aku segalau ini seumur hidup. Tiba di rumah, aku membuka Instagram. Nadea mengunggah foto dengan seorang cowok. “Baruno baru? Habis oplas?” tulisnya menerangkan foto itu sambil menge-tag aku yang tak kukenal. Aku klik akun yang di-tag Nadea.
Cowok ini bernama Christino Sembada. Aku cari di Wikipedia, tak ada rekam jejaknya. “Anak kemarin sore mau gantiin gue? Ha ha ha, kelar riwayat Baruno!” ucapku dalam hati. Lalu aku tidur selama belasan jam. Keesokan harinya, galauku makin parah. Aku menangis di kamar.
Mau menelepon Papa dan Mama di Denpasar, tapi malu. Aku buka Instagram. Kucermati lagi foto Nadea dan Sembada yang diunggah kemarin. Ada seribuan komentar masuk. Yang membuatku tertampar, warganet memuji Sembada. Seketika kulemparkan ponsel ke dinding.
“Baruno fresh banget. Aktingnya keren. Apalagi pas habis nampar Amarta lalu cuci muka di wastafel sambil nangis,” celetuk warganet sambil menyebut akun Christino Sembada.
“Terakhir itu liat Baruno versi lama aktingnya bikin eneg. Nangis enggak ada rasanya. Marah juga asal teriak. Emak gue di depan TV ngedumel. Yang ini lebih gereget,” kata yang lain. “Aturan mah sejak awal si Sembada aja. Daripada yang lama diceritain kecelakaan terus oplas,” opini yang lain.
Amarah Sanny
Ponsel retak. Tapi masih terlihat jelas notifikasi pesan Sanny di WhatsApp. Bunyinya, “Buka pintu, gue di luar, nih!” Aku bergegas membuka pintu. Lagi-lagi Sanny memasang ekspresi sedatar televisi layar plasma. Tanpa dipersilakan, dia duduk lalu meletakkan beberapa barang untuk di-endorse di Instagram.
“Kemarin gue ke lokasi syuting seperti biasa dan melihat Nadea PDKT dengan anak baru yang dipanggil Baruno. Saat itu gue sadar nasihat gue ke lo soal jangan cepat puas atau merasa di atas itu enggak guna. Jadi, gue enggak akan bilang sukurin atau so sorry. Gue cuma mau motret lo dengan barang-barang ini lalu pulang. Jangan alasan lagi enggak mood karena itu memperburuk keadaan,” cerocosnya tanpa melihat mukaku.
Aku memeluk Sanny lalu menangis sekenanya. Dia diam. Setelah aku selesai menangis, Sanny merias mataku yang sembap lalu memintaku berpose dengan produk pembersih wajah, kaus, sandal, sepatu, celana pendek, lalu yang terakhir kacamata. Satu produk bisa 20 kali jepretan dan dua kali ganti tempat.
Jelang jam 6 petang, barulah berakhir sesi pemotretan. Aku tak berani mengeluh karena Sanny benar-benar tak mau mengobrol apapun selain pekerjaan.
Advertisement
Sembada Rencana Cadangan
Baru kali ini aku melihat Sanny sejengkel ini. Usai pemotretan, aku memeluknya lagi dan minta maaf. Aku mengajaknya ke kedai kopi langganan. Dalam perjalanan di mobil pun dia diam. Tiba di kedai, aku memesan minuman dan kue. Usai menyeruput Caramel Machiato, barulah mood-nya membaik.
Ia menatapku lalu memulai pembicaraan. “Bukannya lo, tuh pencinta film dari kelas 3 SD, ya? Harusnya lo tahu, dong ada karakter yang biasa saja tapi karena dibawakan dengan penuh effort oleh pemain jadi terlihat menonjol di depan kamera. Dan ada karakter yang dari sejak awal kita baca skrip saja, ia sudah menonjol. Sekarang jawab pertanyaan gue, Baruno ini karakter yang mana?” tanya Sanny. Aku diam.
“Sembada itu aktor kedua yang lolos audisi untuk peran Baruno setelah lo. Dia lulusan sekolah akting di Inggris. Dialah rencana cadangan yang sewaktu-waktu bisa masuk ke dalam cerita. Harusnya dia menjadi Ardian, dokter fresh graduate yang memulihkan kejiwaan Amarta setelah cerai dari Baruno.”
“Lo tahu dari mana, Sanny?”
“Ada, deh. By the way Sembada itu sudah syuting 2 film bareng 2 rumah produksi besar tapi belum rilis.” (Tamat)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.