Liputan6.com, Jakarta Tak hanya harum di negeri sendiri, Christine Hakim juga dikagumi di mancanegara. Buktinya, pertengahan Juni silam aktris ini diundang bertemu Kaisar Jepang Hironomiya Naruhito dan Permaisuri Masako bersama tokoh dan pejabat Indonesia lainnya saat pemimpin Jepang itu berkunjung ke Indonesia.
Tak banyak yang tahu, Christine Hakim pernah mendapatkan penghargaan "The Order of the Rising Sun, Gold Rays with Rosette" dari pemerintah Jepang berkat peran dan kontribusinya dalam mempererat hubungan kedua negara, khususnya di bidang pertukaran budaya dan kesenian. Bahkan, peran itu sudah terjalin sejak tahun 1976, ketika Christine menjadi delegasi Indonesia dalam Asia Pacific Film Festival di Jepang.
Pada 1982, Christine datang lagi ke Jepang guna memenuhi undangan Japan Foundation sebagai tamu pada JF South Asia Film Festival dan diundang oleh PM Shinzo Abe untuk berdiskusi tentang kebudayaan. Lantas, apa saja sepak terjang Christine sehingga dirinya menjadi legenda perfilman nasional?
Advertisement
Wanita bernama lengkap Herlina Christine Natalia Hakim ini lahir di Kuala Tungkal, Jambi pada 25 Desember 1956. Uniknya, Christine adalah keturunan campuran, dengan kerabatnya berasal dari Padang, Aceh, Banten, Pekalongan, Madiun, dan Timur Tengah. Dan bisa ditebak, meskipun berasal dari keluarga Muslim, dia dinamai Christine dan Natalia karena lahir pada Hari Natal.
Sejak kecil, Christine sudah menancapkan cita-cita untuk menjadi seorang arsitek atau psikolog. Namun, takdir berkata lain. Pertemuannya dengan sutradara kondang Teguh Karya pada tahun 1973 membuat Christine tampil sebagai pemeran utama dalam film Cinta Pertama. Film perdana ini pula yang mengantarkan Christine meraih Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik di Festival Film Indonesia.
Sejak saat itu Christine tak terbendung lagi. Sejumlah film menancapkan namanya sebagai aktris dengan kualitas tinggi. Antara lain Atheis (1974), Ranjang Pengantin (1974), Bandung Lautan Api (1974), Kawin Lari (1975), Badai Pasti Berlalu (1976), Si Doel Anak Modern (1976), Pengemis dan Tukang Becak (1978), Di Balik Kelambu (1982), Ponirah Terpidana (1984), Kerikil-Kerikil Tajam (1984), Tjoet Nja' Dhien (1988), Daun di Atas Bantal (1998), Pasir Berbisik (2001), Jamila Dan Sang Presiden (2009), Eat Pray Love (2010), Sang Kiai (2013) dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015).
Tak mau perfilman nasional hanya dikenal publik Tanah Air, dia menampilkan 14 film Indonesia dalam Festival Tiga Benua Nantes pada November 1983 di mana dia berperan dalam setengah dari film-film tersebut. Dua tahun kemudian ia menjadi pengamat di Festival Film Cannes di Prancis.
Tak sekadar jadi pengamat, Christine membawa film Tjoet Nja' Dhien (1988) karya Eris Djarot, di mana Christine berperan sebagai pemimpin gerilya Aceh, Cut Nyak Dhien. Film ini memenangkan penghargaan pada Festival Film Cannes 1989 sebagai Best International Film. Film ini kemudian menjadi perwakilan Indonesia pada Academy Awards ke-62 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik.
Tak puas hanya sebagai aktris, Christine mulai melebarkan sayapnya pada tahun 1998 dengan menjadi produser film Daun di Atas Bantal dan Pasir Berbisik (2001). Setahun kemudian ia ditunjuk menjadi juri Festival Film Cannes, bersama dengan David Lynch, Sharon Stone dan Michelle Yeoh. Dan pada tahun 2005 ia menerima penghargaan khusus pada upacara pembukaan Festival Film Asia Deauville ke-7.
Pengalaman menjajal Hollywood pertama Christine datang pada tahun 2010, ketika berperan sebagai Wayan, seorang penjual jamu asal Bali, bersama Julia Roberts dalam film Eat Pray Love.
Dalam rentang perjalanan karier yang begitu panjang, Christine telah mendapatkan 5 Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik, menerima penghargaan seumur hidup dari Festival Film Indonesia, Indonesian Movie Actors Awards dan Festival Film Internasional Cinemanila.
Christine juga seorang pembuat film dokumenter, yang antara lain melahirkan film tentang Situs Warisan Dunia UNESCO di Indonesia dan pada tahun 2011 menghasilkan film dokumenter tentang autisme yang dirilis bertepatan dengan Hari Kesadaran Autisme Sedunia.
Ia kemudian mendirikan Christine Hakim Foundation, sebuah yayasan untuk mempromosikan pendidikan publik tentang autisme. Ia telah mendesak pemerintah untuk menghilangkan kesalahpahaman mengenai autisme, menyebut penolakan untuk menerima siswa autis di sekolah umum merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Christine menikah dengan Jeroen Lezer, seorang produser film, penulis dan aktor asal Belanda. Mereka tinggal di Cibubur, Jakarta Timur, bersama putri adopsinya, Shena.
Lantas, bagaimana Christine melihat perjalanan kariernya di dunia perfilman nasional? Berikut petikan wawancara dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.
Â
Semuanya karena Teguh Karya
Apakah cita-cita Ibu sejak kecil memang ingin jadi aktris?
Nggak. Jujur saja, kalau bicara dari kecil hanya ingin jadi orang baik yang bisa bermanfaat buat banyak orang, buat keluarga. Tetapi setelah menginjak remaja, kok orang punya cita-cita, kok aku nggak punya cita-cita ya? Apakah menjadi orang baik itu nggak boleh, bukan cita-cita gitu kan ya?
Akhirnya, ya umumnya cita-cita ingin menjadi apa ya, harus specialities-nya di bidang apa gitu kan? Mungkin karena terinspirasi dari Kakek yang bekerja sebagai juru gambar di perusahaan arsitek PT Markam dulu di zaman Bung Karno. Aku juga belum terlalu tahu kan, umur baru berapa, 7 tahun 6 tahun, tahun 1962 masih SD.
Terus kebetulan Ibu setelah anak-anak besar juga menjadi kontraktor gitu ya, jadi wah hebat betul ya Ibu sebagai ibu rumah tangga yang ngurusin anak-anak waktu kecil-kecil, masak, bikin kue, jahit baju buat anak-anaknya, tiba-tiba bisa bikin rumah gitu ya. Wah luar biasa hebat ya perempuan. Jadi ya mulailah terus terinspirasi, barangkali menarik untuk jadi seorang arsitek atau psikolog, karena dari kecil senang sekali mengamati perilaku dari orang lain.
Kalau sekarang masih suka mengamati perilaku orang lain?
Iya, harus. Kalau sekarang kan karena tuntutan profesi memang harus mempelajari untuk observasi, mempelajari setiap karakter manusia yang kebetulan Ibu harus perankan latar belakangnya, pendidikannya, keluarganya, latar belakang sosialnya, latar belakang budaya dan semuanya segala macam.
Sebanyak itu yang harus dipelajari?
Sebanyak itu. Dan memang kebetulan waktu mulai dari SD pun senangnya dengan berhitung, terus di SMP dan SMA ya ilmu ukur dan aljabar. Senangnya ilmu pasti. Tidak suka kesenian, tidak suka sejarah, karena apa? Metode pengajarannya itu kan dulu di SD hanya suruh menghafal saja, is not challenging gitu lho kayanya.
Sementara kalau itu matematika kita harus mikir gitu ya, dikasih rumus, harus mencari hasilnya ya, sudah dikasih soalnya, ada rumusnya, lalu jawabannya apa? Dan ternyata itu dalam kehidupan juga seperti itu ya. Ada rumus yang memang harus kita cari untuk dapat menyelesaikan segala masalah-masalah kehidupan, jadi so interesting.
Dan waktu Ibu pertama kali justru terjun di dunia film itu kan tahun 73, usianya baru 16 tahun. Bayangkan, nggak suka kesenian ya? Jadi di keluarga kalau kita ada family gathering itu, Ayah main piano, Kakak main gitar atau kibor, yang laki-laki ya, Kakak yang perempuan nyanyi. Ibu di pojok, hanya mengamati.
Karena apa, nggak suka, jadi lebih sering lihat, nanti kalau sudah boring masuk kamar tidur. Anak yang pemalu dan agak diam, anak yang introvert, bukan extrovert. SMP begitu masuk ke sekolah Santa Theresia yang waktu itu masih perempuan semua, mulai ya perempuan semua, mungkin kebebasan yang lebih di dalam berinteraksi kan?
Sudah mulai nggak pemalu lagi?
Nah, itu baru mulai sedikit-sedikit terbuka gitu, mulai berekspresi dan bahkan yang tidak, masih tetap tidak suka kesenian, tapi sering sekali ditunjuk untuk mewakili sekolah. Kalau ada malam kesenian bersama dengan sekolah-sekolah yang lain gitu kan, perfom mau tidak mau gitu ya.
Kalau di sekolah yang perintah guru kan kita nggak bisa menolak ya? Mulai waktu itu menari, tapi kebetulan ikut grup drumband di sekolah juga gitu, yang main drum. Kemudian mulai juga di dunia model, bukan keinginan pribadi juga ingin terjun ke dunia modeling, tapi dari pergaulan banyak teman-teman yang mereka fotografer ataupun desainer dan juga dari majalah fashion. Nah, waktu itu agak termasuk remaja gaul juga, dulu kalau kumpul remaja-remaja di ice skating.
Di mana itu tempat main ice skating-nya kalau boleh tahu?
Sekarang jadi lapangan sepak bola kalau nggak salah, lapangan sepak bola di depan Taman Ria Senayan, depan TVRI, nah seberangnya. Jadi seberang-seberangan juga sama Basket Hall ya? Di ice skating itulah tempat anak-anak Jakarta kumpul, nongkrong ya.
Terus dari ice skating itu rupanya ya kenalan-kenalan sama teman, mulai lebih luas pergaulannya karena kebetulan rumah orangtua dekat kan. Rumah kami di Bendungan Hilir, jadi sebenarnya tinggal jalan kaki nyebrang aja ke ice skating. Terus dari situ mulai diminta untuk foto, untuk fashion, majalah fashion, majalah Mode waktu itu ada namanya.
Rupanya melalui teman satu sekolah di SMA, namanya Maria. Maria itu anaknya Wim Umboh, almarhum sutradara film. Ketemulah Teguh Karya, Teguh Karya tanya Maria. Kamu punya teman nggak? Om lagi cari nih untuk peran utama di film Om, Cinta Pertama.
Teman saya bilang, coba Om lihat deh ada temanku di majalah, Om lihat saja itu di majalah film, namanya Christine Hakim. Bapak Teguh sama Mas Slamet lihat aku di situ, datang ke rumah tapi nggak ketemu juga. Pak Teguh datang sama Mas Slamet datang dua kali ke rumah nggak ketemu, waktu itu soalnya lagi liburan di Bandung kan masih SMA.
Lantas, bagaimana akhirnya bisa ketemu sama Teguh Karya?
Kembali ke rumah terus Mama menyampaikan bahwa ada sutradara teater sama Teguh Karya, mereka terkenal dan bagus gitu ya, mau minta kamu. Ibu bilang, Mama tahu kan saya nggak suka itu, jadi bilang saja nggak.
Karena dia sudah dua kali datang, jadi Mama itu sebetulnya hanya mengajarkan untuk beretika dan sopan santun ya. Dan Mama sudah janji karena nggak enak sudah dua kali ke rumah. Kata Mam, jadi kalau kamu menolak kamu datang saja, Mama sudah janji nanti biar Christine yang gantian ke kantornya Pak Teguh. Waktu itu Ibu minta ditemenin sama Abang untuk say no ke Pak Teguh.
Jadi niat bertemu Pak Teguh untuk menolak ajakan Beliau?
Untuk menolak sebetulnya. Tapi begitu sampai di kantor Jelajah Film waktu itu. Ada dua perusahaan film atau PH yang memproduksi itu ya, Far Eastern Film punya Pak Hatoek Soebroto yang kemudian juga menyewakan peralatan-peralatan film yang namanya Elang Perkasa Film yang kemudian menjadi Elang Perkasa. Terus satu lagi Jelajah Film.
Jadi pertama ke kantor Jelajah Film, Pak Teguh sudah ada di situ sama semua tim. Begitu masuk di halaman sudah langsung disambut sama Pak Teguh dan yang lain-lain dengan tangan terbuka, "Nah ini dia calon pemain Om, ayo masuk-masuk."
Sudah gitu saya cuma senyum saja ya. Anak umur 16 tahun masih oon, belum ngerti apa-apa kan. Jadi saya ikut aja gitu kan, karena belum ada kesempatan untuk menolak. Pintar juga Pak Teguh, mungkin sudah dapat info dari Mama kali ya bahwa mau ditolak. Jadi sudah mengubah strategi ya.
Sampai di kantor itu juga tuh Pak Teguh masuk ke kantor produsernya, terus keluar bersama-sama Pak Hatoek waktu itu dan Pak Wiryo, inget sekali saya dan kami dikenalkan. Terus Pak Teguh bilang lagi, besok kamu dijemput Mas Slamet (Rahardjo) ya pulang sekolah, terus main-main ke sanggar Om.
Jadi terus besoknya Mas Slamet itu sudah tunggu di depan sekolah, dulu SMA-nya SMA 6 Jakarta kan, terus diajak jalan-jalan sama Mas Slamet di hutan kota Barito situ. Terus diajak makan di restoran. Dari situ diajak ke Sanggar Teater Populer yang sudah kumpul semua timnya untuk mempersiapkan produksi film Cinta Pertama.
Jadi intinya memang nggak ada kesempatan atau nggak dikasih kesempatan untuk ngomong. Mungkin kalau waktu itu Pak Teguh bilang, 'kamu mau nggak main film Om?' Diajak ngobrol gitu dan ditanyakan pasti saya nolak.
Pintar banget Pak Teguhnya ya, Bu?
Iya, jadi kaya sudah dihipnotis sama Pak Teguh. Jadi rupanya efek cara-cara ini, bagaimana menguasai jalur pikiran anak muda gitu ya. Jadi ya memang barangkali juga karena itu kan grup Teater Populer sudah seperti keluarga, jadi mereka sangat familiar sekali.
Satu minggu setelah pertemuan itu terus langsung syuting. Nggak ada proses latihan. Mungkin juga Pak Teguh sudah begitu yakin karena rupanya Mas Slamet itu ngajak makan, ngajak ngobrol gitu kan, hadi langsung akrab gitu ya, langsung klik mungkin ya. Ibu juga nggak ngerti itu klik apa langsung chemistry kan.
Satu minggu setelah syuting dan selama proses syuting pun Ibu sudah bilang juga sama Mama, aku rasa ini bukan dunia yang aku idamkan dan aku mau, jadi after this dah stop gitu ya. Eh dapet Piala Citra di Festival Film Indonesia.
Jadi itu kan prosesnya pembuatan tahun 73, tahun 74 film itu diikutsertakan di Festival Film Indonesia di Surabaya. Terpilihlah jadi best actress, waktu itu istilahnya Pemeran Wanita Terbaik dengan Pujian. Wah bingung kan? Akting saja nggak ngerti kok, bagusnya di mana ini saya main juga nggak ngerti kan.
Ya sudah semenjak itu, next day sudah langsung headline-headline di media cetak. Jadi seperti satu kaki tuh dia sudah di dalam dunia film, satu kaki ditarik keluar, sudah siap mau lari keluar gitu loh. Sementara aku mau keluar, ini lumpur sudah semakin dalam, rasanya seperti itu barangkali.
Â
Advertisement
Cerita di Balik Serial The Last of Us
Tapi sebenarnya itu juga yang membuka jalan ke depan ya, Bu?
Iya benar. Kebetulan film kedua itu yang minta almarhum Sjumandjaja, judulnya Atheis. Sebagai remaja yang pada saat itu Ibu juga lagi tertarik-tertariknya untuk mendalami agama. Jadi sudah ikut pengajian dengan Keenan Nasution dan Ida Royani waktu itu ya, membedah Alquran dan Hadis gitu ya.
Jadi bayangkan, lagi tertarik itu sementara di dunia film juga terus ditarik gitu kan. Itu dua hal yang sangat berbeda. Waktu itu Ibu berpikirnya seperti itu, tapi ya berbeda sekarang ya. Justru banyak sekali teori-teori yang Ibu dapatkan dari pelajaran agama itu ada di dalam dunia film ataupun juga melalui cerita yang ada di dalam film di mana Ibu terlibat.
Contohnya yang terakhir saja mungkin masih fresh ya di masyarakat, bagaimana dalam 3 tahun selama pandemi waktu Ibu syuting Perempuan Tanah Jahanam itu beberapa bulan kemudian terus itu terjadi pandemi kan ya? Terus Perempuan Tanah Jahanam yang Ibu jadi hantu itu kan, film horor, thriller.
Terus 2022 ditawari itu The Last of Us, zombie itu ya? Dan itu dua-duanya, kalau Perempuan Tanah Jahanam itu prosesnya kurang lebih seperti Cinta Pertama yang aku tidak menemukan alasan untuk menolak. Karena Joko Anwar kita tahu salah satu sutradara yang baik, terbaik di Indonesia, walaupun genrenya dia sudah memilih itu thriller dan horor gitu ya.
Shanty Harmayn juga sebagai produser, apalagi pernah juga terlibat dalam satu produksi, sama-sama memproduksi film Pasir Berbisik. Nggak ada alasan untuk Ibu menolak dua orang itu ya, hanya karena genrenya kali ini adalah horor gitu ya?
Tapi Ibu tahu mereka nggak mungkin bikin film sembarangan. Ya sudah, akhirnya waktu waktu itu kebetulan Ibu lagi di Amerika, bilang sama manajer, sudah terserah kamulah, kamu tahu standar Ibu gitu ya, kamu tentukan saja karena aku belum menemukan alasan untuk menolak.
Tapi rasanya kalau tidak ada alasan pun agak kurang etis juga gitu ya, kok agak sombong gitu ya tidak menghargai, nih anak-anakku atau sahabatku yang juga adik-adikku yang memang sudah percaya gitu ya terhadap Ibu kan? Jadi akhirnya manajer itu oke kayanya.
Begitu Ibu baca, hah kaget! Sumpah aku jadi hantu? Sampai bertanya sama Tuhan. Tuhan, setelah 40 tahun lebih ini pembelajaran apa yang Tuhan mau berikan kepada saya melalui film ini? Karena kok jalurnya berbeda dengan selama 40 tahun ini gitu ya?
Karena kenapa Ibu bilang pembelajaran apa, Ibu percaya dari awal film Cinta Pertama sampai detik ini pun setiap film yang Ibu terlibat itu ada pembelajaran yang hebat, apakah itu sebagai seorang aktris ataupun sebagai manusia, ataupun juga sebagai orang Indonesia, terutama sebagai manusia. Jadi saya selalu bertanya, pembelajaran apa?
Kalau The Last of Us?
Pertama Ibu tolak. Ibu bilang ke Reza (Rahadian), aduh malas, karena sudah tua gini lagi suruh ngafalin dialognya bahasa Inggris. Mending bahasa Inggris Ibu bagus gitu. Terus, nggak kok Ibu, kata Reza. Kan satu manajemen sama Reza kan. Nggak kok Bu, nggak bahasa Inggris, Ibu berbahasa Indonesia.
Yaelah, nggak kena nih alasan, jadi sebenarnya karena malas lagi pandemi kan? Kebayang tidak bisa bawa asisten, tidak bisa bawa manajer, tidak bisa bawa family gitu untuk mendampingi, harus sendiri dalam kondisi pandemi, karantina seorang diri di negeri yang Ibu belum pernah ke sana, ya kan?
Perjalanan 24 jam lebih, tidak muda lagi, aduh miris, malas bener ya mikirinnya ya? Ibu bilang lagi, sudah nggak usah, kamu tahu dari dulu juga dari muda Ibu nggak pernah kepikiran jadi bintang Hollywood, karena aku tahu jiwa aku, hati aku, rasa aku, pikiran aku adalah orang Indonesia, anak Indonesia. Aku nggak bisa jadi orang lain.
Reza bilang, nggak Ibu, di film ini Ibu jadi orang Indonesia, pakai bahasa Indonesia. Ya, tapi pandemi ini gimana? Ibu nggak boleh egois loh, tidak boleh melupakan kewajiban Ibu yang utama sebagai seorang anak, yang dikasih amanat sama Tuhan untuk merawat Mama yang usianya sudah 86 tahun waktu itu, takut ada komorbid pula jantung.
Begitu juga suami yang ada komorbid, ada diabetes, ada jantung. gitu kan ya. Kalau sampai ada apa-apa sama mereka atau sama Ibu, kan bukan kaya syuting di Jogja yang hanya satu jam, terbang langsung sampai. Belum lagi masih karantinanya lagi balik ke sini, sudah nggak usah.
Sampai sebulan kemudian, Reza bilang lagi, ya sudah casting saja deh Bu, mereka kepengin, Bu. Ya sudah, casting-casting deh. Tapi Ibu mikir, gelisah, karena khawatir gitu ya.
Nah, sampai suatu malam suami sebelum tidur itu dia bicara. Chris, I think you have to go. Dia melihat Ibu gelisah ya. Don't worry about me, don't worry about Oma, I will take care myself, I will take care Oma, gitu ya. Everything will be alright because, karena ini nggak hanya bagus untuk kamu saja, tapi juga buat Indonesia, dunia film Indonesia, juga buat Asia.
Begitu suami bilang itu, tuh beban langsung hilang, ringan. And the next morning aku telepon langsung Reza dan manajer Arya. Nak, oke Ibu berangkat, mereka berteriak. Tapi Ibu tetap berangkat sendiri.
Apa pembelajaran yang Ibu dapatkan dari film ini?
Ada pasti pembelajaran dan pengalaman bekerja sama untuk serial HBO dengan tim Hollywood gitu kan ya, walaupun syutingnya di Kanada. Jadi waktu itu diundang ke premier, setelah melihat episode pertama, saya bilang ini metaphor nih. Sama sepertinya pesan moralnya yang saya dapatkan juga di Perempuan Tanah Jahanam. Cuma bedanya Perempuan Tanah Jahanam yang buat orang Indonesia, jadi pendekatannya mistis dan relijius.
The Last of Us yang buat adalah orang Barat, pendekatannya ilmiah dan sains. Tapi intinya adalah bahwa kalau The Last of Us itu metaphor yang disampaikan bahwa otak manusia itu organ tubuh manusia yang paling kuat, itu yang mengontrol diri kita, bahkan juga hati kita.
Kalau di dalam film itu sangat saintis, jadi ada virus cordyceps yang merusak otak. Dan itu mereka sudah riset bahwa memang cordyceps ini bisa merusak otak juga. Walaupun tidak menjadi zombie, tapi artinya merusak otak. Kalau otak sudah rusak ya fungsinya akan hilang dong, gitu ya.
Dan itu langsung Ibu juga konfirmasi sama director-nya, sama produser dan penulis skripnya juga. Ini metafor ya? Mereka lihat-lihatan antara produser dan writers-nya sama director-nya, terus yes gitu ya senyum-senyum. Jadi pesan moral yang mau sampaikan bahwa kalau otak manusia itu sudah terkena virus-virus sosial ya berpikiran negatif gitu, semua yang jeleklah.
Rela Nggak Dibayar saat Membintangi Tjoet Nja' Dhien
Kapan Ibu mulai merasa bahwa dunia film adalah karier dan masa depan Ibu?
Ibu baru mulai mencintai dunia film itu tahun kedua di film, saat membintangi film Kawin Lari. Setelah Ibu menyadari bahwa film ini sarat dengan ilmu pengetahuan ya? Coba, ilmu apa yang ada di situ? Psikologi pasti ada, sosiologi, politik, budaya, seni, produk gitu ya, teknologi, semua ipoleksosbud ada di situ.
Lalu Ibu berpikir, bodoh sekali ya kalau tidak bisa menjadikan dunia film itu juga untuk menggali, menambah wawasan dan juga menambah ilmu. Saya harus mensyukuri karena kalau saya masuk fakultas psikologi ataupun arsitek, saya hanya menguasai satu bidang ilmu.
Nah, sejak itu, tahun 1975 itu Ibu menyadari, maka Ibu berkomitmen pada diri sendiri, saya akan menjadikan dunia film ini sebagai pengganti bangku kuliah. Ini adalah bangku sekolah saya. Itu komitmen, karena manusia juga harus tahu mau apa dia dalam hidupnya.
Nggak ada keinginan jadi arsitek atau psikolog lagi, Bu?
Nggak jadi arsitek, nggak jadi psikolog, jadinya main film gitu kan ya? Apa iya artis itu cuma bisanya yang ha ha hi hi kehidupan glamor gitu? Terus nanti kehidupannya disorot jadi gosip di media. Itu bukan kehidupan yang sesuai juga dengan Ibu.
Setelah mengetahui film itu sarat ilmu pengetahuan, sudut pandang awam pada saat itu melihat dunia film itu kan ya kaya sekarang saja, artis ini kawin cerai. Lebih banyak kali yang bukan di dunia film yang kawin cerai, iya kan?
Nah, sudut pandang yang stereotip dari masyarakat itu sebetulnya tidak seperti yang saya alami. Dunia film itu atau kehidupan sebagai pekerja film dituntut keahliannya juga kok, dituntut kerja keras, dituntut riset, dia dituntut juga totalitas dan semua.
Bahkan jiwa raganya itu sebagai seorang pemain ya itu yang dia harus eksplor terus untuk bisa memerankan berbagai karakter manusia, kan gila. Jangan heran kalau banyak aktor dan aktris yang gila di dunia atau di Indonesia.
Jadi apa yang harus dilakukan seorang aktris atau aktor?
Artinya dia harus punya kecerdasan tersendiri untuk bisa memisahkan antara diri kamu dan orang yang kamu perankan dan orang lain. Kalau nggak ya sinting saja sudah. Karena apa, kamu harus menciptakan sebuah peran dengan kehidupan latar belakang dari si tokoh-tokoh itu yang artinya dunia yang berbeda dengan dunia kamu.
Bayangkan saya usia berapa ya? Waktu di film saya berusia 26 tahun dan harus memainkan peran menjadi mantan pelacur yang punya anak gadis satu dan membesarkan anaknya di kompleks lokalisasi. Jauh bener dari kehidupan si anak kota ini. Yang dimanjakan oleh fasilitas oleh orangtua.
Orangtua Ibu bukan konglomerat, tapi Ibu bersyukur bahwa pada saat itu tidak dibebani menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga keinginan Ibu untuk menjadikan dunia film adalah sebagai bangku kuliah, pengganti bangku kuliah untuk belajar, apa lagi tidak mengeluarkan biaya.
Makanya Ibu kadang-kadang nggak apa-apa kok nggak dibayar. Seperti di film Mas Slamet, Tjoet Nja' Dhien, nggak apa-apa nggak dibayar. Bahkan aku dapat honor dari film lain, nih Mas kurang ya duit? Aku sama Mas Slamet dan Mas Eros itu suka nggak dibayar, bahkan kita pada nombok, tapi senang.
Karena banyak pembelajaran hidup yang kita bisa dapatkan dan pengetahuan yang tak perlu biaya. Sementara film sendiri butuh biaya. Bagaimana mau nyari duit, 3 tahun syuting mau duit dari mana? Nggak ada produser yang gila, cuma Eros Djarot sama Slamet Rahardjo saja yang gila tuh. Mau menyelesaikan film selama 3 tahun, stop dulu nggak ada duit gitu ya, nyari duit lagi.
Selama tiga tahun produksi Tjoet Nja' Dhien ternyata tak selalu mulus ya?
Bayangin antara 2 shoot bedanya 3 tahun. Makanya Ibu menyesal sekali tuh Ibu punya buku pintar ya, walaupun semua waktu itu kan ada pencatat skrip dan mencatat continuity. Kalau sekarang kan hanya lihat di monitor saja, diputar ulang lagi, dulu kan nggak ada mengontrol gitu.
Paling dari Polaroid itu ya itu untuk fisik. Tapi kalau moodnya, Ibu punya catatan yang Ibu bikin sendiri kolom-kolomnya. Adegan ini nih per ada 3 fase, Tjoet Nja' Dhien muda, Tjoet Nja' Dhien baru ditinggal Teuku Umar, Tjoet Nja' Dhien gerilya.
Itu secara fisik sudah berbeda, makeup-nya juga pasti berbeda, moodnya juga berbeda, tantangannya juga berbeda, emosinya berbeda. Semua Ibu punya catat detail. Sayang, Ibu sia-siakan itu catatan, kalau nggak mungkin bisa menjadi sebuah catatan untuk pembelajaran buat artis-artis yang masih muda juga ya.
Dan nggak gampang lho harus menjaga itu tadi, kita kan ya continuity, entah itu tiba-tiba moodnya apa, terus jarak setahun atau berapa bulan gitu kan harus mengembalikan emosi yang sama.
Segitu detailnya ya, Bu?
Persis. Makanya itu Ibu punya catatan emosi juga. Di catatan grafik dari emosinya, oh ini intensitasnya segini ini, ini rambut putihnya hanya satu senti gitu ya, oh yang ini sudah lebih 10 senti atau beberapa senti gitu kan ya.
Sedetail itu Ibu punya catatannya. Jadi itu yang Ibu bilang memerlukan skill sendiri untuk menjadi seorang pemain gitu itu. Oh enak benar, kalau cuma mau marah nggak pakai persiapan kok. Tapi marahnya siapa? Marah aku sama marah kamu beda.
Nah, ini kan semua harus dipelajari. Oh perankan antagonis, dia sudah begitu bangga bisa menjadi antagonis, saya bilang ya nggak usah gitu kalau cuma sekadar hanya bisa merepet marah gitu ya. Atau berteriak oh sudah hebat, no way. Nggak seperti itu.
Advertisement
Jangan Pernah Menyebut Film Itu Haram
Apakah kalau di sinetron, misalnya, apakah observasi dan persiapannya juga harus sedetail itu?
Sebetulnya tuntutannya sama, juga diperlukan persiapan. Cuma karena memang, apalagi kalau yang kejar tayang ya, stripping. Kadang menyangkut budget juga, menyangkut waktu juga gitu kan. Jadi ya boleh dikatakan pemain nggak punya waktu, bukan cuma pemain, kadang-kadang bagian kostum juga nggak punya waktu untuk mempersiapkan sebagaimana mestinya. Dan itu pasti akan mempengaruhi kualitas.
Hanya saja kalau di serial itu orang tuh gini. Nontonnya di layar kecil, iya kan. Terus pakai ke toilet dulu, ambil makanan dulu ke kulkas, nanti ini, nanti ngobrol dulu. Jadi mereka nggak perlu detail. Yang penting adalah penonton penasaran dengan ceritanya, dengan konfliknya.
Tapi kembali lagi, karena Ibu sudah biasa, Ibu sudah ada 3 sinetron. Kemarin juga main serial, ada film satu, serial satu 6 episode. Tetap gitu ya karena terbiasa sudah memang dituntut untuk detail gitu kan.
Karena apa? Contoh untuk memainkan karakter utama di Tjoet Nja' Dhien, nggak pernah ke Aceh sebelum itu, tak bisa bahasa Aceh, tapi saya harus menjadi orang Aceh yang Aceh, bukan Aceh yang tinggal di luar Aceh.
Untuk Tjoet Nja' Dhien kabarnya Ibu sempat tinggal di Aceh ya untuk mendalami karakter?
Nggak ada latihan yang dipersiapkan oleh Mas Eros. Lu pergi sekarang ke Aceh ya, tinggal sama orang Aceh, belajar bahasanya, lihat ini semuanya. Satu setengah tahun selama dari persiapan sampai syuting yang di Aceh karena syutingya ada juga yang di Jawa kan. Setelah kehabisan uang itu pindah syutingnya ke Jawa, terus satu setengah tahun enggak pernah pulang, satu setengah tahun di Aceh sebelum film dimulai.
Sudah kaya merantau di sana ya, Bu?
Merantau, betul. Karena pulang hanya sekali waktu Ibunya Mas Slamet dan Mas Eros meninggal. Itu pulang hanya satu malam, terus balik lagi. Ini harus dipelajari karena Indonesia begitu beragam. Ada berapa, lebih dari 1.000 etnik grup. More than 700 languages. Jadi kalau harus jadi orang Aceh atau jadi orang Papua, ya harus belajar bahasanya, logatnya, semua dan perilakunya, intonasinya.
Bahasa Indonesianya orang Padang, bahasa Indonesianya orang Aceh sama bahasa Indonesianya orang Papua beda, atau orang Maluku beda. Jadi kalau skrip kadang-kadang, jadi harus ditranskrip lagi gitu, harus dialih bahasa.
Di Tjoet Nja' Dhien, bahasa Indonesianya juga bukan bahasa Indonesia saat film itu dibuat tahun 85. Mas Eros berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang bukan tahun 85. Karena berbeda, sampai sedetail itu seharusnya. Ya tuntutan karena film bayangkan layarnya segede tembok, jadi detail sekali penonton juga iya, kita harus menyuguhkan sedetail mungkin itu semua, supaya ya betul-betul penonton terasa ya ada di dalam dunia yang diciptakan ini gitu lho.
Detail seperti apa lagi yang pernah Ibu pelajari?
Contohnya lagi waktu Perempuan Tanah Jahanam. Itu kan hanya dipakai kebaya, kebaya bunga-bunga. Ibu bukan baru sekali pakai kebaya bunga-bunga. Jadi istrinya Hasyim Asy'ari (Sang Kiai) juga pakai kebaya, jadi ibunya Kartini juga pakai kebaya, saat memerankan Trindil juga pakai kebaya di film Ponirah Terpidana, sudah seringlah gitu ya.
Cuma bagaimana membedakan si perempuan berkebaya Jawa yang ini dengan latar belakang yang berbeda. Perempuan ini apalagi nih? Ini perempuan Jawa berkebaya tapi hatinya iblis nih. Nanti salah-salah dia kelihatan anggun, gitu kan?
Jadi akhirnya ya aku bilang sama Joko, kalau Nyi Misni ini pincang gimana ya? Pincangnya kenapa, Bu? Nggak usah dijelasin. Tapi dengan dia pincang itu sudah tergambar bahwa Nyi Misni sudah menjalani perjalanan hidup, dinamika perjalanan hidup dia luar biasa. Bisa juga dia kena stroke, bisa jadi dia juga jatuh, bisa juga dia whatever.
Nak, Ibu aja nih yang rasanya nih yang nggak sejahat karakter Nyi Misni gitu ya hati dan pikirannya masih suka kepentok-kepentok jatuh juga. Apalagi ini manusia jahat gini, nggak mungkin kehidupannya smooth.
Yang jelas, semua yang Ibu dapatkan di film, semua itu ada di dalam Alquran dan hadis yang Ibu pelajari. Nah makanya jadi buat Ibu, syiar itu sebetulnya kan intinya menyebarkan kebaikan, jadi nggak usah harus selalu bertakbir. Ntar malah orang takut kalau kebanyakan atau kekencangan takbirnya, iya kan?
Demikian pula yang mengatakan film itu haram, haramnya di mana? Saya tidak menjual diri, saya bekerja dengan mengeluarkan keringat dan ini ada hasilnya. Itu para kru juga kasihan dia kerja, dia datang duluan, pulang paling lama, harus ngeberesin lighting, ini segala macam, kerja setengah mati, kenapa dibilang haram?
Ayo kita cari profesi apa yang menurutmu tidak haram? Dokter? Oh dia bisa saja ngebohongin pasiennya, dikasih obat sampai itu pasiennya mati, itu haram tuh. Kalau dia nerima uang dari produsen hanya untuk jualan obat. Atau anggota DPR korupsi, haram. Jadi bukan profesinya.
Ini juga waktu Ibu main menjadi pelacur di kompleks lokalisasi tiga bulan. Ibu tanya, sehari bisa dapat tamu berapa, Mba? 15. Bayarannya cuma 5.000 perak, zaman itu ya, tahun 83. Tapi Mba, soalnya adik saya masih ada yang kuliah kedokteran. Beli motor buat adiknya kuliah kedokteran, masya Allah saya bilang.
Dia mengorbankan hidupnya buat orang lain, jadi jangan kita bicara moral. Tapi kalau kita bicara kemanusiaan, jangan pula kita merasa lebih baik dari dia. Apakah kita sudah mengorbankan hidup buat orang lain seperti dia?
Â
Dibecandain Sharon Stone saat Jadi Juri di Festival Cannes
Akhir Juni lalu Ibu diundang bertemu dengan Kaisar dan Permaisuri Jepang yang tengah berkunjung ke Indonesia. Ada agenda apa?
Iya, saya kebetulan sudah diinfokan sebulan sebelum kedatangan Beliau di Jakarta. Sejak tahun 1982 saya memang sudah berkomitmen bahwa penting menjalin persahabatan human to human contact-nya manusia Indonesia dan Jepang.
Karena ini dua negara yang penting di kawasan Asia, Jepang sebagai negara maju tapi tetap juga mempunyai kebudayaan yang tua dan tinggi gitu ya, Indonesia dengan negara ASEAN yang berpenduduk besar gitu ya, negara kepulauan dan juga penting posisi Indonesia di ASEAN.
Kalau dari sejarah yang kita pelajari, hubungan diplomatik Indonesia-Jepang itu kan ada dinamikanya juga, sampai akhirnya kedua bangsa bisa menemukan solusi yang win-win solution gitu lho. Dan ini ke depannya tetap hubungan kedua negara ini penting gitu ya. Kita bisa saling mendukung, saling belajar, saling berbagi.
Itulah sebabnya melalui dunia film, melalui seni budaya, ibaratnya Ibu meningkatkan persahabatan Indonesia-Jepang, sampai akhirnya peran Ibu dianggap juga penting oleh pihak Jepang dan akhirnya Ibu mendapat penghargaan dari Kaisar Jepang, beberapa tahun yang lalu.
Itu sebabnya mungkin jadi pada saat Kaisar Jepang datang berkunjung ke sini, Ibu juga diundang untuk itu.
Ibu sering berkunjung ke Jepang?
Sudah sering, hampir setiap tahun sih sebelum pandemi ya, hampir setiap tahun selalu ada saja acara. Karena juga ada Tokyo International Film Festival, ada juga Tokyo International Women's Film Festival yang sering sekali mengundang Ibu, bahkan sampai Ibu juga punya Ibu angkat di sana.
Terus bagaimana saat Ibu jadi juri di Festival Film Cannes?
Jadi juri itu tahun 2002 di Cannes. Itu juga karena biasanya kan Cannes selalu menjaga keseimbangan antara juri atau film-filmnya itu misalnya ada film-film Asia juga, ada film dari Prancis sendiri, lalu dari Eropa dan Amerika. Jadi begitu juga dalam mereka meng-compositioning juri-jurinya selalu ada yang dari Asia, ada bintang Asia juga.
Nah mungkin apa namanya, film Ibu sebelum menjadi juri itu sudah ada dua yang diputar di Cannes Film Festival. Tjoet Nja' Dhien di Selection de la Semaine de la Critique dan juga Daun di Atas Bantal di Un Certain Regard. Un Certain Regard itu di bawah dari main competition, jadi waktu itu bukan competition, tapi sekarang ada juga dikompetisikan.
Jadi kalau main competition itu red carpet, Un Certain Regard itu blue carpet. Tapi, Ibu dengar dari Reza, tahun ini kan Mei kemarin juga ke sana kan sama Pak Menteri, Mas Menteri Nadiem Makarim dan Pak Dirjen Hilmar, ke Cannes itu bahkan sekarang Un Certain Regard juga sudah red carpet gitu lho.
Kalau dari kacamata Ibu waktu jadi juri di Cannes, film yang bagus dan berkualitas itu seperti apa?
Yang Ibu bersyukurnya bahwa Festival Cannes itu boleh dikatakan prestigious, salah satu festival film yang prestisius di dunia ya, di samping tentunya Oscar. Tapi kalau Oscar kan memang khusus film-film Amerika, produksi Amerika, meski ada juga foreign film, tapi itu kan kategorinya berbeda gitu kan ya dikompetisikannya.
Jadi kalau untuk yang di luar daripada Oscar memang Cannes ini yang salah satu yang prestisius. Jadi yang Ibu bersyukur menjadi juri di banyak festival, karena sebelum festival Ibu sudah mulai dari tahun 1985 jadi juri di festival film di Hawaii, di Shanghai, dan di belahan dunia lainnya ya festival yang di Eropa, di Asia.
Itu kesempatan untuk melihat film-film yang non-Hollywood. Nah inilah banyak sekali justru film-film yang bagus yang menarik sekali dan juga menawarkan tema-tema yang bervariasi. Dan juga kita sekaligus juga bisa melihat bagaimana kehidupan dari negara yang bersangkutan di mana film itu diproduksi gitu ya, pasti ini akan menambah wawasan kita juga gitu.
Nah di situlah juga kemudian yang Ibu manfaatkan untuk mempromosikan bukan hanya film Indonesia, tapi juga budaya Indonesia yang sangat kaya dan yang sangat indah. Jadi memang pada saat tampil di sebuah festival ada kesempatan untuk itu, sebetulnya Ibu belajar juga.
Bagaimana India, misalnya, negara yang berkembang tapi budayanya begitu dikagumi oleh dunia gitu ya. Indonesia pun sebenarnya lebih kaya gitu, Indonesia bukan monokultur gitu kan ya? Nah ini yang membuat terpacu juga untuk mempromosikan Indonesia.
Bahkan barangkali sudah sempat mendengar gitu ya, waktu Ibu jadi juri Cannes itu Ibu spesial bawa batik sampai satu koper. Bagi-bagi terus sampai Sharon Stone bilang, 'are you batik dealer?' katanya gitu kan, karena gue bagi-bagi batik gitu ya dan dia pakai ikat kepala waktu premiere filmnya gitu.
Bagaimana bangganya gitu lho kita dengan batik gitu ya, produk budaya bangsa kita, mau ditiru oleh bangsa lain juga nggak bisa gitu. Ibu ingat sekali waktu membuat dokumenter dengan Mas Iwan Tirta almarhum gitu ya, bagaimana Mas Iwan itu membatik itu buat Beliau, buat almarhum seperti meditasi.
Jadi pada saat dia menggaris menarik garis lurus itu, dia tarik napas dulu dalam-dalam, sehingga garisnya itu tidak putus. Itu sebabnya kalau kita melihat batiknya originally dari Iwan Tirta itu hidup gitu lho. Ya pasti batik tulis beda dengan cetak gitu ya, tapi ya different.
Kan itu produk budaya, jadi ada roh di dalam hasil karyanya, lukisannya. Ibaratnya lukisan kita kan bisa, lukisan itu begitu hebat itu kan karena memang ada roh dari si pelukisnya, dari si penciptanya gitu lho.
Â
Advertisement
Film Dokumenter, Sesuatu untuk Anak-Anak Berkebutuhan Khusus
Kabarnya Ibu sangat concern dengan anak-anak berkebutuhan khusus seperti autism?
Benar. Pada satu periode Ibu tertarik dengan permasalahan-permasalahan sosial. Ya, itu tentu saja terinspirasi dari sutradara-sutradara Indonesia juga yang mengangkat permasalahan sosial itu ke dalam filmnya gitu ya, seperti Teguh karya almarhum, Sjumandjaja gitu ya, lalu Wim Umboh juga yang membuat Pengemis dan Tukang Becak
Untuk bisa berbagi dengan mereka nggak cukup hanya dengan membagi-bagi uang saja gitu ya, tapi membuat masyarakat kita juga peduli, itu juga penting, sehingga mau berbagi dengan yang kurang gitu ya atau memberikan perhatian.
Nah, itu sejak Ibu juga terlibat di film Kawin Lari, lalu Si Doel Anak Modern gitu ya, itu Sjumandjaja bercerita bagaimana tentang sinisme Beliau tentang orang yang tiba-tiba OKB, itu istilahnya waktu itu, Orang Kaya Baru gitu ya, lifestyle mereka gitu.
Terus lalu ada Kerikil-Kerikil Tajam yang bagaimana dampak dari modernisasi dan teknologi masuk desa di tahun 80-an gitu ya, sehingga terjadilah perubahan nilai-nilai kehidupan dari masyarakat desa juga gitu ya.
Kemudian, itu sampai akhirnya pada satu saat ada sahabat Ibu yang dosen di IPB, dia the ecotourism dan membuat program untuk anak-anak autis dan juga terus bertemu dengan dokter spesialis saraf. Waktu itu dokter Andreas Harry dan sahabat Ibu ini Doktor Ricky Avenzora, pengajar di IPB. Mereka berdua yang mengajak Ibu untuk membuat film dokumenter tentang anak-anak berkebutuhan khusus ini.
Dari mulai research sampai syutingnya, kebetulan Ibu yang membawakan documentary itu menjadi host-nya. Di situlah Ibu bertambah ya knowledge-nya, pengetahuannya tentang autism ini ya. Dan pertumbuhan anak-anak autis waktu itu juga sangat cepat sekali, karena ini sudah 15 tahun yang lalu ya dibuatnya film ini.
Apa pandangan masyarakat yang salah tentang anak-anak autis?
Sebetulnya ini anak-anak luar biasa, sementara masyarakat ada yang mengklaim bahwa mereka anak gila, mereka anak kutukan gitu ya, ini yang Ibu tidak setuju. Mereka yang jelas adalah anak titipan Tuhan, yang mengajarkan kita juga melatih kesabaran kita, keikhlasan kita, dan juga kepedulian kita.
Mereka anak-anak yang luar biasa, seperti kita tahu bahwa setiap manusia dikasih kelebihan dan kekurangan, begitu juga anak anak ini, kelebihan yang mereka punya ini melebihi rata-rata manusia normal.
Nah, kalau orangtua atau keluarga yang mereka paham bahwa ini anak-anak yang titipan Tuhan ya sehingga akan memberikan justru pembelajaran hidup dan berkah buat keluarga sendiri, dididik dengan penuh cinta kasih, maka anak itu benar-benar akan memberikan kebahagiaan dan berkah tersendiri buat keluarga ya.
Tapi sering sekali masyarakat menge-judge mereka gitu ya. Inilah ada ketidakadilan yang selalu terjadi, padahal betapa beratnya orangtua, karena ini membutuhkan effort yang luar biasa, membutuhkan upaya yang luar biasa, membutuhkan tenaga, pikiran dan juga biaya yang tidak kecil untuk itu.
Dengan terlibat di dalam edukasi ini, apa harapan Ibu?
Yang membuat Ibu sampai sekarang ya berusaha, karena kadang-kadang mereka bukan hanya membutuhkan biaya, bahkan tidak perlu, tapi yang dibutuhkan adalah empati dari kita, untuk mau memahami sehingga bisa mengubah sudut pandang dan sikap hidup juga dalam benak mereka.
Misalnya yang tadinya mungkin takut gitu ya, bahkan waktu syuting dokumenter itu, terlihat kekurangannya hanya di dalam masalah komunikasi, dia nggak bisa menyampaikan apa yang dia tidak suka gitu ya.
Mungkin pada saat kamera mengikuti dia masuk ke kamar itu, dia nggak suka, sampai Ibu yang dekat dengan si anak ini direnggut gitu lho. Tenaganya kuat sekali kan ya. Tapi intinya pada saat kita mendekati dengan kasih sayang pasti gitu ya, mereka juga akan berbeda sikapnya.
Jadi itu juga yang mengubah attitude dan sikap hidup Ibu di dalam melihat atau bertemu dengan mereka, apakah langsung atau tidak langsung gitu ya.
Inilah yang bahkan akhir-akhir ini Ibu juga bersyukur sekali karena diminta untuk terlibat terus untuk mendampingi komunitas dari keluarga anak-anak autis ini. Kebetulan ada sahabat Ibu dan ayahnya itu salah satu CEO di Panasonic, dia punya anak berkebutuhan khusus tapi anak ini kuliah sudah selesai di London School.
Dia kuliah bagian marketing, lulus terus dia ingin menjadi barista. Sama orangtuanya dimasukkanlah sekolah barista. Akhirnya orangtuanya membuatkan cafe buat anak-anak ini. Dan anak ini sekarang sudah mengajar teman-temannya yang juga berkebutuhan khusus dan sudah menjadi barista di cafe itu sudah ada 6 orang.
Bahkan, juga ada satu perusahaan Jepang yang meng-hire mereka untuk mengelola coffee shop di Jakarta dan mereka dapat gaji di atas UMR. Bahkan mereka sudah ada yang sangat mandiri sekali, rumahnya di Bintaro dan sudah bisa naik kendaraan umum. Itu diajarin juga sama temannya yang autis, yang sudah mandiri.
Nah, inilah yang paling tidak tujuan dari orangtua itu, tujuan dari kita semua juga pada saat orangtuanya sudah tidak ada lagi, mereka sudah bisa hidup sendiri. Mandiri, gitu lho. Paling tidak mengurusi diri mereka.
Ini juga ada layar lebar yang sudah dipersiapkan, bahkan ada 3, trilogi ya, yang skripnya masih diproses, digodok terus yang diharapkan bahwa ini akan bisa memberikan informasi atau pengetahuan, menambah wawasan masyarakat tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Karena diperlukan sih ya, dukungan dari masyarakat luas.
Definisi bahagia menurut Ibu?
Bahagia itu relatif kalau buat Ibu ya. Sulit diukur. Ada yang orang berpikir wah saya banyak duit bisa bahagia. Ternyata Ibu melihat di sekeliling Ibu juga yang punya segalanya, tapi nangisnya lebih banyak dari Ibu, gitu ya? Jadi kan ternyata uang itu bukan segalanya.
Dari pengalaman Ibu, justru dalam situasi dan kondisi apa pun, kalau kita bisa menerima bahkan hal yang paling pahit atau yang tidak kita senang, tapi kita bisa tertawa dalam kondisi seperti itu, artinya sudah ada keiklasan dan kesabaran, itu memberikan kebahagiaan tersendiri buat kita juga.
Intinya adalah apa pun situasi dan kondisinya, kalau kita sudah bisa bersyukur, kita sudah bisa ikhlas, kita sudah bisa menjadi orang yang sabar, itu akan memberikan ketenteraman hati dan that's the real happiness.
Ibu lihat sama suami, kita masih bisa tersenyum, kita masih bisa merasa happy, peluk-pelukan gitu ya. Jadi, padahal kalau mau dilihat pada saat momen itu mungkin uangnya tidak lebih banyak dari orang lain. Jadi ya ukuran itu sulit sekali, yang jelas saat kita selalu bersyukur dalam kondisi apa pun, lalu ikhlas dan sabar, rasanya itu ada kebahagiaan terselip di situ.
Yang Ibu yakini pada akhirnya, setiap manusia itu diberikan amanat masing-masing dan juga tugasnya masing-masing, kewajibannya masing-masing. Ada yang dikasih peran besar, peran sedang, peran kecil tapi ada yang dikasih tanggung jawab berat, tanggung jawab ringan, yang sedang.
Tapi apa pun itu, yang penting adalah kita menjalankannya dengan semaksimal mungkin, dengan ikhlas, dengan penuh kesabaran, tawakal. Insya Allah, kita juga mau berusaha dan kerja keras menjalankan dengan maksimal, pasti akan ada kebahagiaan dan berkah yang kita dapatkan.
Â