Liputan6.com, Ponorogo - Sebanyak 44 siswa kurang mampu di SMK 1 Pemda Ponorogo, di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo, tak perlu membayar biaya pendidikan. Namun, mereka bisa mengganti biaya tersebut dengan menyetorkan kotoran sapi.
Kebijakan tersebut, menurut Ketua Yayasan SMK 1 Pemda Ponorogo Imam Subaweh, diambil untuk mengakomodasi siswa dari keluarga kurang mampu di wilayahnya.
"Kebanyakan peserta didik yang sekolah di sini sebenarnya adalah siswa putus sekolah karena berbagai alasan, salah satunya karena faktor ekonomi. Kami tampung ulang dengan biaya gratis. Siswa hanya diminta membantu sekolah mengumpulkan kotoran sapi dari kandang lalu disetor sebagai pengganti SPP," katanya di Ponorogo, Senin, 27 September 2021, dilansir dari Antara.
Advertisement
Baca Juga
Tidak ada patokan volume kotoran yang boleh dibawa siswa ke sekolah. Selain bersifat sukarela, kebijakan itu bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dan siswa untuk peduli dengan masalah pecemaran lingkungan.
Oleh karena itu, siswa yang tidak punya ternak sapi didorong untuk mencari kotoran sapi di kandang milik tetangganya, untuk kemudian disetor setiap hari bersamaan dengan jadwal masuk sekolah.
"Alhamdulillah, program sekolah gratis dengan membayar kotoran sapi ini sangat membantu siswa untuk terus melanjutkan sekolah," kata salah satu siswa SMK 1 Pemda Ponorogo Agung Cahaya Ilham.
Saban hari, ia sedikitnya membawa dua karung kotoran sapi untuk disetor ke koperasi sekolah. Kotoran sapi yang sudah terkumpul kemudian akan dijemur untuk pengeringan dan selanjutnya diambil oleh pengepul sebagai bahan baku pupuk yang akan disetor ke pabrik pupuk organik di Madiun.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Alasan Putus Sekolah
Menurut Imam Subaweh, metode pembelajaran berwawasan lingkungan ini sudah berjalan beberapa tahun terakhir. Selain juga kendala mendapat peserta didik di setiap awal tahun ajaran baru, pihaknya melihat banyak siswa putus sekolah di wilayah Kecamatan Pudak.
Imam menjelaskan rata-rata siswa putus sekolah itu dari keluarga kurang mampu, namun memiliki ternak sapi atau bekerja di kandang-kandang ternak sapi perah.
"Mereka berasal dari keluarga dengan latar pendidikan rendah. Terlebih wilayah tinggal mereka berada di lereng pegunungan, sehingga banyak siswa yang memiliki rutinitas mencari rumput setiap pagi atau sore harinya. Belum lagi akses ke lembaga pendidikan yang sangat jauh memaksa mereka untuk putus sekolah," katanya.
Secara kebetulan, menurut dia, SMK 1 Pemda Ponorogo juga jurusan peternakan, sehingga sistem dan teknis pengolahan limbah bisa langsung menjadi pembelajaran langsung siswa dengan menjadikannya sebagai bahan baku pupuk kompos.
"Maka dari itu kami menghimpun sekitar 44 siswa didik yang aktif untuk mengolah limbah tersebut sesuai bidang jurusannya," kata Imam.
Advertisement
Pencemaran Lingkungan
Menurut dia, dengan respons yang baik ini, program sekolah tersebut mendapat apresiasi dari masyarakat agar ke depan lebih besar lagi dan lebih hebat lagi.
Dia mengatakan, untuk legal formal SMK 1 Pemda Ponorogo dengan akreditasi B yang hingga saat ini sudah meluluskan enam angkatan.
Untuk mengakomodasi mereka agar bisa menyelesaikan kewajiban belajar hingga jenjang SMA/SMK, Yayasan SMK 1 Pemda Ponorogo berinisiatif membuat terobosan kebijakan yang mengedepankan visi lingkungan sehat.
"Sekolah gratis ini mempunyai niatan karena menghadapi tantangan pencemaran lingkungan karena produksi kotoran limbah sapi perah," ujarnya.